Benarkah kebenaran itu relatif?
Benarkah kebenaran itu relatif? Sebelum diteruskan, untuk sementara, saya ingin membatasi pemicaraan hanya dalam konteks yang berkaitan dengan Prilaku manusia, seperti budaya seks bebas anak muda, pencurian, penipuan, pembunuhan, perampokan, memberi sedekah dan lain sebagainya. Sehingga apa yang saya maksud dengan kebenaran menjadi tergambar dan jelas di benak.
Lawan kata dari kebenaran adalah kebatilan atau kejahatan. Bagaimana halnya dengan kebatilan, apakah dia juga relatif? Kita cukup mencari tahu tentang relatif atau tidaknya kebenaran, karena keduanya terikat oleh ikatan antonim, saling berlawanan satu sama lain, sama halnya seperti kata bergerak dan diam, ada dan tiada, dan sebagainya.
Perhatikan contoh berikut!
"Sepatu itu boleh jadi benda mati, atau boleh jadi benda hidup".
Kalimat di atas, dalam kaidah ilmu mantiq (logika), tidak dibenarkan dua-duanya, tapi juga "Memustahilkan". Tidak dibenarkan dua-duanya maksudnya, kita tidak membenarkan kalau sepatu itu benda mati, karena boleh jadi benda hidup, pun kita tidak membenarkan kalau sepatu itu benda hidup, tapi juga memustahilkan sepatu itu benda lain di luar benda hidup atau mati (benda yang hidup sekaligus mati dalam satu waktu misalkan). Dengan demikian yang benar mustilah salah satu diantara keduanya, atau dengan kata lain sepatu itu mustilah hidup atau mati.
Imam Syahrastani mengatakan dalam bukunya al milal wan nihal tentang kaidah mantiq ini, "Tidak diperbolehkan adanya dua qhodiyyah (kalimat) yang saling bertentangan satu sama lain di dalam kaidah/hukum pertentangan (qhodiyyah hamliyyah), kecuali jika masing-masing dari dua kalimat tersebut (qhodiyyah tersebut) dipisahkan/dibagi dengan benar dan salah, maka sudah barang tentu yang benar akan jatuh kepada salah satunya tanpa yang lainnya. Adalah hal yang mustahil, dan tidak masuk akal, jika ada dua hal yang bertentangan dan berlawanan satu sama lain dikatakan dua-duanya benar dan atau dua-duanya dibenarkan.
Sekarang, bagaimana caranya agar kita tahu kalau sepatu itu hidup atau mati? Hal ini mudah, yang perlu kita lakukan hanya mencari tahu apa standar atau kriteria sebuah benda dikatakan hidup? Tumbuh dan berkembang misalkan. Bagaimana halnya dengan sepatu? Apakah tumbuh dan berkembang? Dari sini kita sepakat kalau sepatu bukan benda hidup.
Ini sama halnya dengan kebenaran dan kebatilan, kedua-duanya tak dapat terkumpul dalam waktu bersamaan di obyek yang sama, karena akal menolak dan merancukan hal yang demikian.
Yang benar adalah kebenaran itu sendiri, yang batil adalah kebatilan itu sendiri, sesuatu itu tidak bisa benar dan batil dalam satu waktu, pun begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, kebenaran tidak dapat dikatakan relatif, sama halnya dengan kebatilan.
Muncul pertanyaan lain, “Kalau memang kebenaran itu tidak relatif, lantas standar sebuah kebenaran itu sendiri seperti apa?” Bagaimana sebuah kebenaran pantas disebut benar dan kebatilan pantas disebut batil?
Saya yakin anda tahu, bahwa pandangan publik tentang kebenaran, sampai saat ini belum berubah. Yang benar adalah benar menurut mereka, yang batil/salah adalah batil. Bila kita berbicara publik, sudah barang tentu yang dimaksud adalah orang banyak, bukan satu atau dua gelintir orang.
Sebagai contoh: kita lihat bagaimana sikap dan reaksi masyarakat terhadap pencuri, resah dan ingin segera menangkap kemudian menghukumnya, ini menunjukan kalau mencuri dinilai sebagai kebatilan/kejahatan. Contoh lain: kita lihat bagaimana sikap dan reaksi umumnya para orang tua ketika mendapati anak gadisnya tengah hamil diluar nikah, gusar, takut aib keluarga tersebar dan berusaha untuk segera menikahkan anak gadisnya, lagi-lagi ini menunjukan kalau seks bebas yang kebanyakan berujung pada kehamilan, dinilai sebagai prilaku yang menyalahi kebenaran (baca: perbuatan salah).
Kemudian juga, kita lihat dari sudut pandang pelaku kebatilan/kejahatan itu sendiri. Mengapa hampir semua tindakan pencurian dilakukan secara diam-diam, jauh dari pandangan mata banyak orang, atau berusaha untuk tidak terlihat walaupun dilakukan di keramaian? Itu karena para pencuri sadar bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan kejahatan/kebatilan yang bertolak belakang dengan kebenaran, sedangkan kita tahu kalau konsekuensi dari berbuat jahat/batil adalah dikenakan sanksi atau hukuman, dan seseorang dijatuhi hukuman hanya ketika orang tersebut melakukan kejahatan/kebatilan. Begitu pula perilaku seks bebas, kebanyakan dilakukan jauh dari pandangan mata banyak orang, karena si pelaku sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah aib dan kebatilan yang tak suka kalau aibnya itu diketahui orang lain.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik dua fakta yang tak terbantahkan:
Pertama: fakta bahwa pandangan publik tentang kebenaran dan kebatilan sangat jelas, tidak abu-abu, tapi hitam dan putih. Yang benar adalah benar, yang batil adalah batil.
Kedua: fakta bahwa si pelaku kebatilan sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa kebatilan adalah kebatilan dan kebenaran adalah kebenaran, dengan kenyataan rasa malu si pelaku kalau-kalau apa yang dilakukannya diketahui banyak orang.
Al-quran mengisyaratkan fakta pertama dalam ayat:
وَلواتبع الحق أهـواء هم لفسدت السموات والأرض ومن فيهنّ, بل أتينهم بذكرهم فهم عن ذكرهم معرضون. (سورة المؤمنون: 71)
Artinya: "Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan/hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu".
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan: Mujahid berkata: "kalau Alloh memenuhi keinginan mereka (kaum musyrik makkah) atas apa yang ada dalam diri mereka berupa hawa nafsu, dan menjadikan syariat (hukum) setiap perkara sesuai dengannya (hawa nafsu mereka), maka pasti rusak dan binasalah langit dan bumi, beserta semua yang ada di dalamnya."
Jika kita perhatikan ayat di atas lekat-lekat, terlihat jelas adanya hubungan kausalitas (sebab akibat) antara pemenuhan hawa nafsu dan kerusakan alam semesta.
Untuk lebih jelas perhatikan contoh berikut:
PU : Jika Hamid rajin, maka dia sukses
PK : Hamid tidak sukses
K : Hamid tidak rajin
Logis bukan? Sekarang kita perhatikan lagi ayat tersebut dengan sudut pandang logika:
PU : Jika kebenaran menuruti hawa nafsu, maka binasalah langit dan bumi, dan beserta isinya.
PK : langit dan bumi dan beserta isinya tidak binasa/hancur.
K : kebenaran tidak menuruti hawa nafsu.
Dengan demikian, fakta pertama semakin kokoh dengan adanya argumen ini.
Alam semesta ini tidak akan rusak/binasa selagi penghuninya mengakui bahwa yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, tanpa berusaha untuk mencampuri keduanya dengan hawa nafsu atau keinginan pribadi. Bila kebatilan sudah diklaim sebagai kebenaran, atau sebaliknya, maka kehancuran dan kesemerawutan pasti terjadi. Contoh sederhana, bila prilaku pernikahan lawan jenis dan seks bebas misalkan, dilegalkan di seluruh dunia dan dianggap wajar, bukankah hal ini memutus keturunan dan merusak nasab keluarga???
Sesungguhnya sejarah telah mencatat, bagaimana nasib sebuah peradaban yang menafikan kebenaran dan meneguhkan kebatilan sebagai kebenaran.
Tahun 487 M di Iran, muncul sebuah ajaran yang bernama Mazdak. Ajaran ini mempropagandakan bahwa semua manusia dilahirkan sama tanpa perbedaan apapun juga. Oleh karena itu, manusia harus hidup secara sama dan tidak boleh ada perbedaan. Mengingat bahwa kekayaan dan wanita membuat manusia mengutamakan diri sendiri dan menjadi sumber perbedaan sosial, menurut Mazdak dua hal itu merupakan persoalan terpenting yang harus dipersamakan dan dikolektifkan.
Seruan tersebut mendapat sambutan dan persetujuan dari kalangan pemuda, kaum hartawan dan golongan-golongan yang hidup berfoya-foya, karena sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka. Ajaran Mazdak ini beruntung juga karena mendapat perlindungan dari istana (pemerintah). Raja Persia ketika itu ikut andil dalam mendukung aktif, dan menyebarluaskannya.
Mengenai hal ini At-Thabari mengatakan:
"Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh rakyat lapisan bawah untuk berhimpun disekitar Mazdak dan kawan-kawannya. Mereka menjadi bertambah kuat dan membahayakan orang banyak, karena mereka berani masuk menyerbu ke dalam rumah orang lain dan bertindak sewenang-wenang, merampas apa yang ada di dalam rumah dan menggagahi wanita-wanita yang dijumpainya, dalam keadaan penghuni rumah tidak berdaya menghadapi mereka. Mereka terus mendorong Qubads (raja Persia) supaya mendorong dan membagus-baguskan tindakan mereka, dan mengancam akan menurunkannya dari tahta kerajaan bila ia tak mau memenuhi tuntutan mereka. Dalam waktu singkat di Iran banyak orang yang tak mengenal anaknya dan anak tidak mengenal siapa ayahnya, dan banyak pula orang-orang yang tidak bisa memiliki sesuatu untuk dapat hidup berkecukupan."
Lebih jauh Thabari mengatakan: "sebelum itu, Qubads sebenarnya termasuk raja Persia yang terbaik, tapi setelah melibatkan diri dalam kerjasama dengan Mazdak, kekacauan merajalela dan ketentraman menjadi rusak."
Maha benar Alloh dengan segala Firman-Nya:
"Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan/hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu" (Qs. Al-Muminun:71)
Adapun Fakta Kedua, maka Rosululloh saw menjelaskan dalam sabdanya:
Nawwas bin Sam'an r.a. berkata; Nabi saw bersabda:
"Kebajikan adalah akhlak terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan jiwamu serta engkau tidak suka apabila masalah itu diketahui orang lain." (HR Bukhori)
Dalam hadits lain yang disampaikan oleh Wabishoh bin Ma'bad r.a., ia berkata, Aku mendatangi Rosululloh saw, beliau bertanya; "Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan? Aku menjawab 'Ya benar'. Beliau bersabda:
"Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebajikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu" (Hadits hasan diriwayatkan dari dua imam; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan).
Kesimpulan dan tambahan-tambahan:
A. Kebenaran tidak relatif, yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, keduanya jelas sejelas mentari saat hendak terbenam dan rembulan pada malam hari.
جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ, إنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا (القرآن)
"Telah datang kebenaran dan binasalah kebatilan, sesungguhnya kebatilan itu pasti binasa".(Al-Quran)
B. Sesuatu itu dikatakan kebenaran – dalam konteks yang sudah disebutkan di awal – ketika memenuhi seluruh syarat ini:
1. Tidak didasarkan pada hawa nafsu yang tidak diridhai Alloh .
2. Tidak merugikan orang lain atau diri sendiri dan tidak menyebabkan kerusakan.
3. Tidak bertentangan dengan suara hati (hati nurani).
4. Tidak malu jika sesuatu itu diketahui orang lain.
Contoh: Mencuri. Boleh jadi seseorang mencuri bukan karena hawa nafsu, tapi karena kebutuhan mendesak, untuk berobat orang tua misalkan, ya, dia memenuhi satu syarat, tapi bagaimana dengan syarat lainnya? Merugikan orang? Jelas merugikan!! Bertentangan tidak dengan suara hati? Coba tanyakan! Pasti bertentangan , malu atau tidak jika ketahuan orang sekampung?
C. Kebenaran dan kebatilan tentunya bukan hanya dalam konteks perbuatan manusia saja, dalam konteks aliran/paham pemikiran pun kita bisa memilih dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Apakah Atheisme dikatakan benar? Kalau benar kenapa? Kalau salah kenapa? Apa standar sebuah aliran pemikiran dikatakan benar dan salah? Berfikirlah! Karena hanya orang yang mau berfikir sungguh-sungguh yang sukses dunia akherat. Jangan lupa sertakan Al-Quran dan Sunnah sebagai referensi utama yang orsinalitasnya terjaga.
D. Apa yang dipropagandakan pemikir barat (baca: orientalis) mengenai relativitas kebenaran sesungguhnya hanya akal-akalan mereka, dengan kenyataan bahwa mereka pun sebenarnya berpegang kepada satu ideologi tertentu yang mereka 'Anggap' benar, dan bahkan ideologi tersebut dengan segala daya upaya berusaha didoktrinkan kepada siapapun terutama kepada Umat Islam. Kalaulah mereka meyakini akan adanya relatifitas kebenaran, lantas kenapa dibanyak kesempatan, usaha-usaha 'tuk menyelipkan ideologi mereka selalu dilakukan?
E. Konsekuensi dari mengakui adanya relativitas kebenaran adalah harus mengakui apa yang orang lain anggap benar – walaupun misalkan ternyata salah – tanpa berusaha 'tuk mengusik dan mengganggu apa yang dianggapnya benar.
F. Bila setiap individu, masyarakat, atau sebuah bangsa hidup berdasar atas kebenaran yang mereka klaim masing masing, kesemerawutan (chaos) dan kekacauan pasti terjadi. Mungkinkah kedamaian akan tersemai? Sejarah aliran Mazdak di Iran cukup untuk menjadi bukti nyata akan hal ini.
G. Jika standar kebenaran adalah akal, maka sesungguhnya setiap akal manusia berbeda, akal si A beda dengan si B. hal ini seperti apa yang diisyaratkan Jalaluddin Rumi dalam sajaknya, intinya sebagai berikut:
Ada orang bekerja keras untuk mencari harta sebanyak-banyaknya.
Ada orang berfoya - foya untuk menikmati kehidupan duniawi
Ada orang beribadah dengan tekunnya setiap hari.
Ketika ketiga orang itu bertemu mereka semua berpandangan satu sama lain dan berkata dalam hati mereka masing masing “Sia -sia yang mereka lakukan”.
H. Standar kebenaran adalah Al-Quran dan Sunnah. Apa yang sesuai dengan keduanya, itulah kebenaran, adapun yang bertolak belakang dengan keduanya, berarti kebatilan.
I. Diantara bahaya mengakui adanya relativitas kebenaran adalah, permisif dalam hal-hal yang sebenarnya menyalahi kebenaran (baca: menyalahi ajaran Islam).
J. Naluri (fitrah) manusia sebenarnya selalu condong kepada kebenaran, intervensi hawa nafsu, kerakusan dan keserakahan lah yang membuatnya berbalik condong kepada kebatilan.
(( إِنَّ النَّفْسَ لَآمَرَةٌ بِالسُّوْءِ ))
"sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh manusia pada kejelekan".(QS. Yusuf: 53).
(( فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا ))
"Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan".(QS. As-Syams: 8)
K. PU : Jika kebenaran itu relatif, maka kita mengakui semua yang orang lain 'anggap' benar tanpa berusaha 'tuk mengintervensi, mengusik dan merubah anggapannya.
PK : Kita tidak mengakui semua yang orang lain 'anggap' benar dengan berusaha 'tuk mengintervensi, mengusik dan merubah anggapannya.
K : Kebenaran itu tidak relatif.
Epilog
Bagi mereka yang memandang
Kebenaran dan kebatilan itu sama
Ketahuilah keduanya berbeda
Seperti perbedaan dekat dan jauh
Seperti perbedaan pendek dan panjang
Kalau hari ini kebenaran sama dengan kebatilan
Maka hari ini pula pendek sama dengan panjang
Jauh tiada beda dengan dekat
Pikirkan lah kawan!!
Untuk apa ada Al-Quran?
Yang sering kita sebut-sebut sebagai Al-Furqan (pembeda antara yang benar dan batil)
Kalau ternyata kebatilan harus sama dengan kebenaran?
"Jika Kebenaran itu relatif, kenapa musti ada kata tersebut? Jika memang kebatilan bisa dipandang sebagai kebenaran dan bisa mewakilinya"
Sandy Legia
Cairo, 10 Februari 2010
Wallohu'alam Bis Showab
Referensi Tafsir dan Hadits:
1. Tafsir Ibnu katsir
2. Hadits Arba'in Imam Nawawi
Referensi Buku:
1. Dhawabithul Fikri (Perangkat berfikir)
2. Madza khasirul 'Alam bin hithathil muslimin? (Apa kerugian manusia dengan kemerosotan Ummat Islam?"
3. At-Tatslîts bainal watsaniyyah wal masîhiyyah (Konsep Trinitas, antara keberhalaan dan Agama Nasrani)
Lawan kata dari kebenaran adalah kebatilan atau kejahatan. Bagaimana halnya dengan kebatilan, apakah dia juga relatif? Kita cukup mencari tahu tentang relatif atau tidaknya kebenaran, karena keduanya terikat oleh ikatan antonim, saling berlawanan satu sama lain, sama halnya seperti kata bergerak dan diam, ada dan tiada, dan sebagainya.
Perhatikan contoh berikut!
"Sepatu itu boleh jadi benda mati, atau boleh jadi benda hidup".
Kalimat di atas, dalam kaidah ilmu mantiq (logika), tidak dibenarkan dua-duanya, tapi juga "Memustahilkan". Tidak dibenarkan dua-duanya maksudnya, kita tidak membenarkan kalau sepatu itu benda mati, karena boleh jadi benda hidup, pun kita tidak membenarkan kalau sepatu itu benda hidup, tapi juga memustahilkan sepatu itu benda lain di luar benda hidup atau mati (benda yang hidup sekaligus mati dalam satu waktu misalkan). Dengan demikian yang benar mustilah salah satu diantara keduanya, atau dengan kata lain sepatu itu mustilah hidup atau mati.
Imam Syahrastani mengatakan dalam bukunya al milal wan nihal tentang kaidah mantiq ini, "Tidak diperbolehkan adanya dua qhodiyyah (kalimat) yang saling bertentangan satu sama lain di dalam kaidah/hukum pertentangan (qhodiyyah hamliyyah), kecuali jika masing-masing dari dua kalimat tersebut (qhodiyyah tersebut) dipisahkan/dibagi dengan benar dan salah, maka sudah barang tentu yang benar akan jatuh kepada salah satunya tanpa yang lainnya. Adalah hal yang mustahil, dan tidak masuk akal, jika ada dua hal yang bertentangan dan berlawanan satu sama lain dikatakan dua-duanya benar dan atau dua-duanya dibenarkan.
Sekarang, bagaimana caranya agar kita tahu kalau sepatu itu hidup atau mati? Hal ini mudah, yang perlu kita lakukan hanya mencari tahu apa standar atau kriteria sebuah benda dikatakan hidup? Tumbuh dan berkembang misalkan. Bagaimana halnya dengan sepatu? Apakah tumbuh dan berkembang? Dari sini kita sepakat kalau sepatu bukan benda hidup.
Ini sama halnya dengan kebenaran dan kebatilan, kedua-duanya tak dapat terkumpul dalam waktu bersamaan di obyek yang sama, karena akal menolak dan merancukan hal yang demikian.
Yang benar adalah kebenaran itu sendiri, yang batil adalah kebatilan itu sendiri, sesuatu itu tidak bisa benar dan batil dalam satu waktu, pun begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, kebenaran tidak dapat dikatakan relatif, sama halnya dengan kebatilan.
Muncul pertanyaan lain, “Kalau memang kebenaran itu tidak relatif, lantas standar sebuah kebenaran itu sendiri seperti apa?” Bagaimana sebuah kebenaran pantas disebut benar dan kebatilan pantas disebut batil?
Saya yakin anda tahu, bahwa pandangan publik tentang kebenaran, sampai saat ini belum berubah. Yang benar adalah benar menurut mereka, yang batil/salah adalah batil. Bila kita berbicara publik, sudah barang tentu yang dimaksud adalah orang banyak, bukan satu atau dua gelintir orang.
Sebagai contoh: kita lihat bagaimana sikap dan reaksi masyarakat terhadap pencuri, resah dan ingin segera menangkap kemudian menghukumnya, ini menunjukan kalau mencuri dinilai sebagai kebatilan/kejahatan. Contoh lain: kita lihat bagaimana sikap dan reaksi umumnya para orang tua ketika mendapati anak gadisnya tengah hamil diluar nikah, gusar, takut aib keluarga tersebar dan berusaha untuk segera menikahkan anak gadisnya, lagi-lagi ini menunjukan kalau seks bebas yang kebanyakan berujung pada kehamilan, dinilai sebagai prilaku yang menyalahi kebenaran (baca: perbuatan salah).
Kemudian juga, kita lihat dari sudut pandang pelaku kebatilan/kejahatan itu sendiri. Mengapa hampir semua tindakan pencurian dilakukan secara diam-diam, jauh dari pandangan mata banyak orang, atau berusaha untuk tidak terlihat walaupun dilakukan di keramaian? Itu karena para pencuri sadar bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan kejahatan/kebatilan yang bertolak belakang dengan kebenaran, sedangkan kita tahu kalau konsekuensi dari berbuat jahat/batil adalah dikenakan sanksi atau hukuman, dan seseorang dijatuhi hukuman hanya ketika orang tersebut melakukan kejahatan/kebatilan. Begitu pula perilaku seks bebas, kebanyakan dilakukan jauh dari pandangan mata banyak orang, karena si pelaku sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah aib dan kebatilan yang tak suka kalau aibnya itu diketahui orang lain.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik dua fakta yang tak terbantahkan:
Pertama: fakta bahwa pandangan publik tentang kebenaran dan kebatilan sangat jelas, tidak abu-abu, tapi hitam dan putih. Yang benar adalah benar, yang batil adalah batil.
Kedua: fakta bahwa si pelaku kebatilan sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa kebatilan adalah kebatilan dan kebenaran adalah kebenaran, dengan kenyataan rasa malu si pelaku kalau-kalau apa yang dilakukannya diketahui banyak orang.
Al-quran mengisyaratkan fakta pertama dalam ayat:
وَلواتبع الحق أهـواء هم لفسدت السموات والأرض ومن فيهنّ, بل أتينهم بذكرهم فهم عن ذكرهم معرضون. (سورة المؤمنون: 71)
Artinya: "Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan/hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu".
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan: Mujahid berkata: "kalau Alloh memenuhi keinginan mereka (kaum musyrik makkah) atas apa yang ada dalam diri mereka berupa hawa nafsu, dan menjadikan syariat (hukum) setiap perkara sesuai dengannya (hawa nafsu mereka), maka pasti rusak dan binasalah langit dan bumi, beserta semua yang ada di dalamnya."
Jika kita perhatikan ayat di atas lekat-lekat, terlihat jelas adanya hubungan kausalitas (sebab akibat) antara pemenuhan hawa nafsu dan kerusakan alam semesta.
Untuk lebih jelas perhatikan contoh berikut:
PU : Jika Hamid rajin, maka dia sukses
PK : Hamid tidak sukses
K : Hamid tidak rajin
Logis bukan? Sekarang kita perhatikan lagi ayat tersebut dengan sudut pandang logika:
PU : Jika kebenaran menuruti hawa nafsu, maka binasalah langit dan bumi, dan beserta isinya.
PK : langit dan bumi dan beserta isinya tidak binasa/hancur.
K : kebenaran tidak menuruti hawa nafsu.
Dengan demikian, fakta pertama semakin kokoh dengan adanya argumen ini.
Alam semesta ini tidak akan rusak/binasa selagi penghuninya mengakui bahwa yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, tanpa berusaha untuk mencampuri keduanya dengan hawa nafsu atau keinginan pribadi. Bila kebatilan sudah diklaim sebagai kebenaran, atau sebaliknya, maka kehancuran dan kesemerawutan pasti terjadi. Contoh sederhana, bila prilaku pernikahan lawan jenis dan seks bebas misalkan, dilegalkan di seluruh dunia dan dianggap wajar, bukankah hal ini memutus keturunan dan merusak nasab keluarga???
Sesungguhnya sejarah telah mencatat, bagaimana nasib sebuah peradaban yang menafikan kebenaran dan meneguhkan kebatilan sebagai kebenaran.
Tahun 487 M di Iran, muncul sebuah ajaran yang bernama Mazdak. Ajaran ini mempropagandakan bahwa semua manusia dilahirkan sama tanpa perbedaan apapun juga. Oleh karena itu, manusia harus hidup secara sama dan tidak boleh ada perbedaan. Mengingat bahwa kekayaan dan wanita membuat manusia mengutamakan diri sendiri dan menjadi sumber perbedaan sosial, menurut Mazdak dua hal itu merupakan persoalan terpenting yang harus dipersamakan dan dikolektifkan.
Seruan tersebut mendapat sambutan dan persetujuan dari kalangan pemuda, kaum hartawan dan golongan-golongan yang hidup berfoya-foya, karena sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka. Ajaran Mazdak ini beruntung juga karena mendapat perlindungan dari istana (pemerintah). Raja Persia ketika itu ikut andil dalam mendukung aktif, dan menyebarluaskannya.
Mengenai hal ini At-Thabari mengatakan:
"Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh rakyat lapisan bawah untuk berhimpun disekitar Mazdak dan kawan-kawannya. Mereka menjadi bertambah kuat dan membahayakan orang banyak, karena mereka berani masuk menyerbu ke dalam rumah orang lain dan bertindak sewenang-wenang, merampas apa yang ada di dalam rumah dan menggagahi wanita-wanita yang dijumpainya, dalam keadaan penghuni rumah tidak berdaya menghadapi mereka. Mereka terus mendorong Qubads (raja Persia) supaya mendorong dan membagus-baguskan tindakan mereka, dan mengancam akan menurunkannya dari tahta kerajaan bila ia tak mau memenuhi tuntutan mereka. Dalam waktu singkat di Iran banyak orang yang tak mengenal anaknya dan anak tidak mengenal siapa ayahnya, dan banyak pula orang-orang yang tidak bisa memiliki sesuatu untuk dapat hidup berkecukupan."
Lebih jauh Thabari mengatakan: "sebelum itu, Qubads sebenarnya termasuk raja Persia yang terbaik, tapi setelah melibatkan diri dalam kerjasama dengan Mazdak, kekacauan merajalela dan ketentraman menjadi rusak."
Maha benar Alloh dengan segala Firman-Nya:
"Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan/hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu" (Qs. Al-Muminun:71)
Adapun Fakta Kedua, maka Rosululloh saw menjelaskan dalam sabdanya:
Nawwas bin Sam'an r.a. berkata; Nabi saw bersabda:
"Kebajikan adalah akhlak terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan jiwamu serta engkau tidak suka apabila masalah itu diketahui orang lain." (HR Bukhori)
Dalam hadits lain yang disampaikan oleh Wabishoh bin Ma'bad r.a., ia berkata, Aku mendatangi Rosululloh saw, beliau bertanya; "Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan? Aku menjawab 'Ya benar'. Beliau bersabda:
"Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebajikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu" (Hadits hasan diriwayatkan dari dua imam; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan).
Kesimpulan dan tambahan-tambahan:
A. Kebenaran tidak relatif, yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, keduanya jelas sejelas mentari saat hendak terbenam dan rembulan pada malam hari.
جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ, إنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا (القرآن)
"Telah datang kebenaran dan binasalah kebatilan, sesungguhnya kebatilan itu pasti binasa".(Al-Quran)
B. Sesuatu itu dikatakan kebenaran – dalam konteks yang sudah disebutkan di awal – ketika memenuhi seluruh syarat ini:
1. Tidak didasarkan pada hawa nafsu yang tidak diridhai Alloh .
2. Tidak merugikan orang lain atau diri sendiri dan tidak menyebabkan kerusakan.
3. Tidak bertentangan dengan suara hati (hati nurani).
4. Tidak malu jika sesuatu itu diketahui orang lain.
Contoh: Mencuri. Boleh jadi seseorang mencuri bukan karena hawa nafsu, tapi karena kebutuhan mendesak, untuk berobat orang tua misalkan, ya, dia memenuhi satu syarat, tapi bagaimana dengan syarat lainnya? Merugikan orang? Jelas merugikan!! Bertentangan tidak dengan suara hati? Coba tanyakan! Pasti bertentangan , malu atau tidak jika ketahuan orang sekampung?
C. Kebenaran dan kebatilan tentunya bukan hanya dalam konteks perbuatan manusia saja, dalam konteks aliran/paham pemikiran pun kita bisa memilih dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Apakah Atheisme dikatakan benar? Kalau benar kenapa? Kalau salah kenapa? Apa standar sebuah aliran pemikiran dikatakan benar dan salah? Berfikirlah! Karena hanya orang yang mau berfikir sungguh-sungguh yang sukses dunia akherat. Jangan lupa sertakan Al-Quran dan Sunnah sebagai referensi utama yang orsinalitasnya terjaga.
D. Apa yang dipropagandakan pemikir barat (baca: orientalis) mengenai relativitas kebenaran sesungguhnya hanya akal-akalan mereka, dengan kenyataan bahwa mereka pun sebenarnya berpegang kepada satu ideologi tertentu yang mereka 'Anggap' benar, dan bahkan ideologi tersebut dengan segala daya upaya berusaha didoktrinkan kepada siapapun terutama kepada Umat Islam. Kalaulah mereka meyakini akan adanya relatifitas kebenaran, lantas kenapa dibanyak kesempatan, usaha-usaha 'tuk menyelipkan ideologi mereka selalu dilakukan?
E. Konsekuensi dari mengakui adanya relativitas kebenaran adalah harus mengakui apa yang orang lain anggap benar – walaupun misalkan ternyata salah – tanpa berusaha 'tuk mengusik dan mengganggu apa yang dianggapnya benar.
F. Bila setiap individu, masyarakat, atau sebuah bangsa hidup berdasar atas kebenaran yang mereka klaim masing masing, kesemerawutan (chaos) dan kekacauan pasti terjadi. Mungkinkah kedamaian akan tersemai? Sejarah aliran Mazdak di Iran cukup untuk menjadi bukti nyata akan hal ini.
G. Jika standar kebenaran adalah akal, maka sesungguhnya setiap akal manusia berbeda, akal si A beda dengan si B. hal ini seperti apa yang diisyaratkan Jalaluddin Rumi dalam sajaknya, intinya sebagai berikut:
Ada orang bekerja keras untuk mencari harta sebanyak-banyaknya.
Ada orang berfoya - foya untuk menikmati kehidupan duniawi
Ada orang beribadah dengan tekunnya setiap hari.
Ketika ketiga orang itu bertemu mereka semua berpandangan satu sama lain dan berkata dalam hati mereka masing masing “Sia -sia yang mereka lakukan”.
H. Standar kebenaran adalah Al-Quran dan Sunnah. Apa yang sesuai dengan keduanya, itulah kebenaran, adapun yang bertolak belakang dengan keduanya, berarti kebatilan.
I. Diantara bahaya mengakui adanya relativitas kebenaran adalah, permisif dalam hal-hal yang sebenarnya menyalahi kebenaran (baca: menyalahi ajaran Islam).
J. Naluri (fitrah) manusia sebenarnya selalu condong kepada kebenaran, intervensi hawa nafsu, kerakusan dan keserakahan lah yang membuatnya berbalik condong kepada kebatilan.
(( إِنَّ النَّفْسَ لَآمَرَةٌ بِالسُّوْءِ ))
"sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh manusia pada kejelekan".(QS. Yusuf: 53).
(( فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا ))
"Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan".(QS. As-Syams: 8)
K. PU : Jika kebenaran itu relatif, maka kita mengakui semua yang orang lain 'anggap' benar tanpa berusaha 'tuk mengintervensi, mengusik dan merubah anggapannya.
PK : Kita tidak mengakui semua yang orang lain 'anggap' benar dengan berusaha 'tuk mengintervensi, mengusik dan merubah anggapannya.
K : Kebenaran itu tidak relatif.
Epilog
Bagi mereka yang memandang
Kebenaran dan kebatilan itu sama
Ketahuilah keduanya berbeda
Seperti perbedaan dekat dan jauh
Seperti perbedaan pendek dan panjang
Kalau hari ini kebenaran sama dengan kebatilan
Maka hari ini pula pendek sama dengan panjang
Jauh tiada beda dengan dekat
Pikirkan lah kawan!!
Untuk apa ada Al-Quran?
Yang sering kita sebut-sebut sebagai Al-Furqan (pembeda antara yang benar dan batil)
Kalau ternyata kebatilan harus sama dengan kebenaran?
"Jika Kebenaran itu relatif, kenapa musti ada kata tersebut? Jika memang kebatilan bisa dipandang sebagai kebenaran dan bisa mewakilinya"
Sandy Legia
Cairo, 10 Februari 2010
Wallohu'alam Bis Showab
Referensi Tafsir dan Hadits:
1. Tafsir Ibnu katsir
2. Hadits Arba'in Imam Nawawi
Referensi Buku:
1. Dhawabithul Fikri (Perangkat berfikir)
2. Madza khasirul 'Alam bin hithathil muslimin? (Apa kerugian manusia dengan kemerosotan Ummat Islam?"
3. At-Tatslîts bainal watsaniyyah wal masîhiyyah (Konsep Trinitas, antara keberhalaan dan Agama Nasrani)