Petunjuk Kehidupan Manusia
Petunjuk Kehidupan Manusia |
Manusia mungkin saja menemukan kebenaran dengan akalnya, namun akal bukan petunjuk aman yang selalu benar menunjukan jalan. Akal manusia bisa salah, sedangkan Al-Quran tidak akan pernah salah. Karena itu tidak ada alasan sedikit pun bagi seorang muslim untuk sekedar berfikir bahwa akal adalah segalanya, apa yang tidak dijangkau akal adalah tidak ada.
Selama ini kita sudah terjebak oleh kata-kata "Terjangkau akal". Darwin menafikan "Pencipta" dan memilih mereka-reka teori yang terbukti bualan belaka, sebabnya karena Tuhan tak terjangkau oleh akal. Apa benar Tuhan tak mampu terjangkau akal atau akal "yang berusaha menjangkaunya" tak mampu? Darwin bukan satu-satunya ilmuwan di muka bumi ini, jika Darwin mengatakan bahwa pencipta tidak ada, mengapa ilmuwan lain mengatakan bahwa pencipta ada? Lantas apa yang membedakan Darwin dan ilmuwan lain yang mengakui adanya Pencipta? Akal! itulah yang membedakan dirinya dan ilmuwan lainnya.
Karena manusia punya akal, dan karena akal manusia itu berbeda-beda, maka terjadilah perbedaan, yang satu menyatakan "ini benar", yang lain menyatakan "ini salah". Akhirnya yang terjadi adalah membuat jalan tengah dengan mengatakan "Kebenaran itu relatif", yang mengatakan bahwa "Pencipta tidak ada" sah, yang mengatakan sebaliknya pun sah karena "Kebenaran itu relatif". Mereka yang belum "dewasa pemikirannya" mungkin menerima, tapi sesaat setelah pemikiran mereka dewasa, akal mereka sendiri yang akan menolaknya, Insya Allah.
Sebagaimana akal bisa benar dalam menentukan mana yang salah, akal juga bisa salah dalam menentukan mana yang benar. Begitulah selamanya sifat akal! selalu relatif dan karenanya tidak aneh jika ada yang mengatakan "Kebenaran itu relatif", karena akal manusia relatif (berbeda-beda). Jadi, layak kah akal dijadikan standar kebenaran? Apa yang menurut akal benar adalah benar, dan apa yang menurut akal salah adalah salah? Biarkan fakta sejarah yang menjawab.
Sesungguhnya sejarah telah mencatat, bagaimana nasib sebuah peradaban yang salah dalam menentukan mana yang benar. Tahun 487 M di Iran, muncul sebuah ajaran yang bernama Mazdak. Ajaran ini mempropagandakan bahwa semua manusia dilahirkan sama tanpa perbedaan apapun juga. Oleh karena itu, manusia harus hidup secara sama dan tidak boleh ada perbedaan. Mengingat bahwa kekayaan dan wanita membuat manusia mengutamakan diri sendiri dan menjadi sumber perbedaan sosial, menurut Mazdak dua hal itu merupakan persoalan terpenting yang harus dipersamakan dan dikolektifkan.
Seruan tersebut mendapat sambutan dan persetujuan dari kalangan pemuda, kaum hartawan dan golongan-golongan yang hidup berfoya-foya, karena sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka. Ajaran Mazdak ini beruntung juga karena mendapat perlindungan dari istana (pemerintah). Raja Persia ketika itu ikut andil dalam mendukung aktif, dan menyebarluaskannya.
Mengenai hal ini At-Thabari mengatakan:
"Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh rakyat lapisan bawah untuk berhimpun di sekitar Mazdak dan kawan-kawannya. Mereka menjadi bertambah kuat dan membahayakan orang banyak, karena mereka berani masuk menyerbu ke dalam rumah orang lain dan bertindak sewenang-wenang, merampas apa yang ada di dalam rumah dan menggagahi wanita-wanita yang dijumpainya, dalam keadaan penghuni rumah tidak berdaya menghadapi mereka. Mereka terus mendorong Qubads (raja Persia) supaya mendorong dan membagus-baguskan tindakan mereka, dan mengancam akan menurunkannya dari tahta kerajaan bila ia tak mau memenuhi tuntutan mereka. Dalam waktu singkat di Iran banyak orang yang tak mengenal anaknya dan anak tidak mengenal siapa ayahnya, dan banyak pula orang-orang yang tidak bisa memiliki sesuatu untuk dapat hidup berkecukupan."
Lebih jauh Thabari mengatakan: "sebelum itu, Qubads sebenarnya termasuk raja Persia yang terbaik, tapi setelah melibatkan diri dalam kerjasama dengan Mazdak, kekacauan merajalela dan ketentraman menjadi rusak."
Maha benar Alloh dengan segala Firman-Nya:
"Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan/hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu." (Qs. Al-Muminun:71)
Demikianlah sejarah telah berbicara tentang akal ketika ia dijadikan "Segalanya", apa yang menurutnya benar adalah benar, dan yang menurutnya salah adalah salah.
Bagaimanakah seharusnya seorang muslim berfikir? bagaimanakah seharusnya seorang muslim mencari kebenaran? dalam konteks ini, sejatinya cara berfikir seorang muslim adalah tidak berhenti begitu saja pada kesimpulan akalnya, kenapa? karena Allah telah menciptakan perangkat untuk mencari "Kebenaran". Manusia terlahir include dengan perangkat ini, sepatutnya kita bersyukur atas apa yang telah Allah ciptakan dalam diri kita, dan salah satu bentuk syukur kita kepadaNya atas nikmat perangkat yang Allah berikan ini adalah dengan memergunakan dan memfungsikannya sebaik mungkin.
Perangkat-perangkat tersebut adalah akal, hati dan wahyu. Perangkat akal terbatas fungsinya, karena itu Allah memberikan hati. Rasulullah saw menjelaskan dalam sabanya:
Nawwas bin Sam'an r.a. berkata; Nabi saw bersabda:
"Kebajikan adalah akhlak terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan jiwamu serta engkau tidak suka apabila masalah itu diketahui orang lain." (HR Bukhori)
Dalam hadits lain yang disampaikan oleh Wabishoh bin Ma'bad r.a., ia berkata, Aku mendatangi Rosululloh saw, beliau bertanya; "Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan? Aku menjawab 'Ya benar'. Beliau bersabda:
"Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebajikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu tenang dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu" (Hadits hasan diriwayatkan dari dua imam; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan).
Jika akal mungkin salah dalam berfikir, jika hati/nurani mungkin tertutup nafsu, maka, keduanya adalah jalan yang kurang aman untuk sampai kepada kebenaran. Jadi, wahyu/syariat lah satu-satunya jalan yang aman untuk sampai kepada kebenaran, karena Allah lah yang menciptakannya. Karenanya, sekalipun akal dan hati nurani dikombinasikan, tetap saja belum cukup mampu untuk mendeteksi kebenaran ketika wahyu tidak disertakan.
Dalam praktek kehidupan nyata, wahyu/syariat pun pun tidak berjalan sendiri, agar tidak diterjemahkan secara leterlek (zahir). Karena itulah kita mengenal apa yang disebut dengan istinbath atau istidlal (mengeluarkan dalil) dari teks/matan wahyu tersebut, dan sudah barang tentu ini memerlukan kerja akal.
Imam Ghazali berkata yang maknanya "Permumpamaan Akal yang sehat (akal yang benar) adalah seperti mata yang bebas dari penyakit, dan kerusakan. Adapun perumpamaan Al-Quran adalah seperti Matahari yang cahayanya terpancar".
"Jika demikian perumpamaan keduannya, maka adalah hal yang keliru ketika kita mencukupkan dengan salah satu dari keduanya, akal saja, atau Quran saja. Orang yang mencukupkan diri dengan Al-Quran dan menolak akal, seperti orang yang memejamkan mata, walaupun matahari terang cahayanya, tetap saja gelap pandangannya. Sama halnya dengan orang yang mencukupkan diri dengan akal dan menolak Al-Quran, maka ia seperti orang yang sehat penglihatannya, tapi gelap di sekitarnya membuat ia tak dapat melihat apa-apa. Kedua-duanya tidak ada beda dengan orang buta."
Intinya, akal, hati, dan wahyu tidak berjalan sendiri-sendiri. Sebenarnya hubungan ketiganya harmonis, sampai manusia sendiri yang mencerai-beraikannya. Muncul lah wacana “Wahyu VS akal”, dan ini semestinya tidak perlu muncul jika wahyu yang dimaksud terjamin keotentikannya, ini juga tak perlu muncul jika penggunaan akal sesuai porsinya, tidak berlebihan dalam lebih, dan tidak berlebihan dalam kurang. Jadi jika suatu waktu muncul isu "Al-Quran bertentangan dengan akal", maka ketahulilah bahwa kesalahan tidak terletak pada Al-Qurannya, tapi pada "orang yang membawa" Al-Qurannya.
Dapat disimpulkan bahwa seorang muslim tidak hanya dituntut untuk benar dalam berfikir, tapi juga memahami Al-Quran sebagai petunjuk hidupnya, karena Al-Quran bukan semata-mata perkataan tanpa maksud dan tujuan. Setiap perkataan dimaksudkan untuk dipahami makna-maknanya, bukan untuk sekedar dihafal, dan Al-Quran lebih utama untuk difahami (ditadabburi) makna ayat-ayatnya sebelum perkataan lainnya, oleh karena itu, mentadabburi ayat-ayat Al-Quran sama pentingnya dengan menghafalnya. Begitulah cara Sahabat Rhadiyallahu anhum menghafal Al-Quran, yakni dengan mentadabburinya juga. Demikianlah agar Al-Quran benar-benar menjadi petunjuk kehidupan kita. Wallahualam bis shawab.