Kriteria Memilih Isteri Dalam Islam

عنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – عَنِ النَّبِيِّ – صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمْ – قَالَ: تُنْكَحُ المَرْأةُ لِأَرْبَعٍ: لمِالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكْ
Dari Abu Hurairah – rhadiyallahu anhu – dari Nabi Muhammad saw, beliau berkata: “Seorang perempuan dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau) karena agamanya. Pilihlah yang beragama, maka kau akan beruntung, (jika tidak, semoga kau) menjadi miskin”.[1]

Sekilas Tentang Periwayat hadits:
Beliau adalah salah seorang sahabat yang terpandang, masuk islam pada hari khaibar, ikut berperang bersama Nabi saw pada saat itu, kemudian sering menemani beliu saw untuk menuntut ilmu darinya.

Beliau dijuluki Abu Hurairah karena pada suatu siang, Rasulullah saw melihatnya tengah berjalan dengan membawa kucing di lengan bajunya, maka kemudian Rasulullah saw berkata padanya “Kamu adalah Abu Hurairah”.[2]

Ulama berbeda pendapat mengenai nama aslinya, karena beliau sudah terkenal dengan nama Abu Hurairah. Boleh jadi pada masa jahiliyyah dulu beliau punya nama jahiliyyah seperti Abdu-syams (Hamba matahari), maka kemudian Rasulullah saw menamainya dengan Abdullah atau Abdurrahman.

Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad saw. Riwayat darinya mencapai 5.374 hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari. Salah satu faktor yang membuat beliau banyak meriwayatkan dengan masa yang terbatas bersama Rasulullah adalah karena beliau meninggalkan segalanya semata-mata untuk menngambil hadits dari Rasulullah saw, karenanya Abu Hurairah senantiasa hadir di majlis Rasul saat yang lain tidak hadir, beliau juga mendengar saat yang lain tidak mendengar. Selain itu juga Rasulullah saw pernah mendoakannya supaya mudah dan cepat menghafal, maka kemudian doa Rasul pun dikabulkan Allah swt.

(تُنْكَحُ المَرْأةُ لِأَرْبَعٍ), Seorang perempuan dinikahi karena tiga perkara. An nikah dalam bahasa arab dapat berarti dua makna: Bersetubuh, atau akad. Namun dalam hadits ini makna yang tepat adalah kehendak untuk berakad (mengucapkan perjanjian), karena dengan akad tersebut semuanya menjadi halal (boleh bersetubuh).

(لِأَرْبَعٍ), karena empat perkara. Wanita itu ingin dinikahi oleh seorang pria karena empat alasan, jika tidak karena hartanya, pasti karena kedudukannya, atau karena kecantikannya, atau karena agamanya. Demikianlah pada umumnya, seseorang tidak terlepas dari keempat hal ini ketika hendak menikahi wanita, karena memang keempat hal ini adalah sesuatu yang memang dimaksudkan oleh setiap orang untuk diperoleh.

(لمِالِهَا), karena hartanya. Harta adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia, dan segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan dan juga bernilai, seperti emas, perak, mobil, kuda, hewan ternak dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada dari sebagian lelaki yang memilih pasangan dengan menempatkan harta sebagai kriterianya. Dia tidak ingin menikah kecuali dengan seorang wanita yang berpunya atau kaya raya. Lelaki seperti ini adalah lelaki yang kehilangan kegentleannya, dan hilang kemaskulinannya.

Memilih wanita dengan melihat kekayaannya saja adalah sebuah kesalahan besar, kenapa? Karena wanita kaya tersebut boleh jadi solehah atau tidak solehah. Jika solehah, beruntunglah lelaki yang memilihnya, namun pada umumnya yang terjadi tidak seperti itu, dalam kenyataan, berapa banyak seorang lelaki yang menikah dengan wanita kaya “tak beragama” kemudian wanita tersebut – karena merasa semua harta adalah miliknya – lantas menyepelekan sang suami, angkuh, dan tak mau taat kepada suaminya?

Di dalam Al-Quran jelas dinyatakan bahwa lelaki adalah qowwam atas perempuan yang berarti pelindung atau pemimpin. Status ini bagi laki-laki bukan sebuah kemuliaan tapi sebuah tanggung jawab, artinya setiap laki-laki bertanggung jawab untuk melindungi dan memimpin isterinya. Sekarang jika sang isteri sombong dan angkuh, tidak mau diperintah, dan sang suami lemah tidak berdaya menghadapi keangkuhan isterinya, ini berarti laki-laki tersebut tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang dipikulnya sebagai nahkoda bahtera rumah tangga. Pantaskah disebut lelaki? Atau banci?

Dari Ibnu Majah, dari Umar, hadits marfu’, bahwasannya Rasulullah saw pernah berkata: “Janganlah kalian menikahi perempuan karena keelokannya, karena boleh jadi keelokannya itu akan binasa, jangan pula kalian menikahi perempuan karena hartanya, karena boleh jadi hartanya itu akan membuatnya berlaku angkuh/sombong/melampaui batas, tapi nikahilah seorang wanita karena agamanya, dan (ketahuilah) bahwa budak wanita yang hitam legam namun beragama lebih baik.”[3]

(وَلِحَسَبِهَا), dan karena kedudukannya. Hasab adalah reputasi yang berpengaruh bagi seseorang atau orang tuanya, adapun yang terkait asal-usul keluarga dinamakan nasab. Ada yang mengatakan bahwa hasab adalah harta itu sendiri, namun ini keliru, karena harta telah disebutkan di dalam hadits. Jika hasab adalah harta, lantas apa fungsi huruh wau (huruh ‘athaf) yang berarti “dan”? Adanya pemisahan oleh huruf “dan” menunjukan perbedaan hakekat, seperti ketika kita berkata “Saya makan dan saya minum” dapat diketahui bahwa makan bukan minum begitu pula sebaliknya.

Para ulama memakruhkan seseorang untuk menikah dengan yang tidak dikenal asal-usulnya, tidak dikenal siapa ayahnya, dikhawatirkan asal-usulnya tidak baik, karena umumnya perangai seorang wanita tidak jauh dari induknya.

(جَمَالِهَا), karena kecantikannya. Manusia telah diciptakan dengan fitrah menyukai segala seuatu yang indah, elok dan cantik. Sebaik-baik perempuan adalah yang membuat suaminya bergembira ketika memandangnya karena keelokan dan pesona wajahnya.

Orang sering bilang kalau cantik itu relatif? Benarkah? Apa yang membuat cantik itu seakan relatif? Ada dua hal: yang pertama, standar setiap orang tentang cantik itu sendiri, kedua, tempat seorang wanita yang di klaim cantik tersebut berada. Yang pertama, setiap orang memiliki neraca atau timbangan dalam dirinya, dan karenanya terjadi perbedaan antara orang yang satu dan yang lainnya ketika menilai cantik atau tidaknya wanita yang mereka lihat. Yang kedua, wanita sudan yang paling cantik tentunya bila datang ke Mesir, tidak akan dikatakan cantik oleh orang Mesir.

Walaupun demikian, nyatanya, cantik tetaplah tidak relatif, dengan kenyataan bahwa ada seorang wanita yang dinilai cantik oleh seluruh yang memandang kepadanya, dan dengan janji Allah, bagi orang mukmin ada surga dan bidadari bermata jelita di dalamnya. Namun terkadang sebagian orang sulit membedakan antara “Tidak cantik” dan “Tidak suka”. Wanita yang tidak disukai oleh dirinya, bukan berarti benar-benar tidak cantik pada kenyataannya, karena boleh jadi seluruh kota memandangnya cantik, hanya ia yang memandangnya tidak cantik, itu karena dia tidak suka, sehingga muncul keseakanan bahwa wanita tersebut tidak cantik. Padahal kecantikannya diakui oleh seluruh kota misalkan. Jadi, “tidak suka” bagi sebagian orang terkadang membuat wanita yang dia lihat seolah nampak tidak cantik, walaupun seluruh dunia mengakui kecantikan wanita tersebut (misalkan).

Tidak mengapa seoseorang menyukai seorang wanita karena wanita tersebut cantik, yang tidak pantas adalah menyukai seorang wanita hanya karena kecantikannya. Dapat dibedakan? Jika yang pertama berarti kita menyukai wanita karena memang wanita itu cantik, namun kita juga memandangnya dari sisi lain; apakah wanita tersebut baik perangai dan akhlaknya? Apakah wanita tersebut berhijab? Dan lain sebagainya, sehingga pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi pertimbangan lain setelah kecantikan. Yang kedua, adalah ketika seseorang tidak memertimbangkan sesuatu dari seorang wanita selain kecantikan, bila ada kecantikan pada parasnya, maka itu sempurna, tanpa perlu menimbang agama dan lain sebagainya. Kondisi seperti inilah yang sangat tidak dianjurkan.

Memandang seorang wanita hanya dari kecantikannya adalah hal yang akan terasa tidak bergunanya dikemudian hari, karena boleh jadi wanita cantik tersebut malah menyusahkan kita, tidak dapat mendidik anak, menyebarkan aib suami, suka ghibah, dan boleh jadi kecantikannya tersebut dipergunakan untuk menggoda lelaki lainnya selain suaminya. Sungguh, kecantikan adalah fitnah jika tidak dibarengi dengan agama. Semakin jauh usia pernikahan melaju, kecantikan/kegantengan pun akan semakin ditinggalkan, yang tersisa dikemudian hari adalah perangai dan akhlak. Jika kecantikan habis dilekang zaman, maka agama dengan makna yang sebenarnya lah yang akan bertahan. Jika seorang wanita tidak memiliki agama, lalu apa yang dapat dibanggakan setelah kecantikan? Ternyata pernikahan bukan soal kesenangan dan kebanggaan belaka, dalam pandangan islam, pernikahan lebih ke rancangan masa depan yang gemilang. Kesenangan dan kebanggaan akan sirna seiring dengan sirnanya sesuatu yang dibanggakan dan disukai tersebut, karena itu, jadikanlah kesenangan dan kebanggan terhadap sesuatu yang tidak lekang dimakan zaman!

Masa depan yang gemilang adalah ketika pernikahan benar-benar menjadi berkah bagi sepasang anak manusia tersebut. Cinta tetap tersemi walau usia pernikahan sudah senja, anak-anak shaleh dan shalehah, dan hal indah lain yang dapat dibayangkan oleh setiap muslim.

Syaikh Khatib berkata:
Hati-hati dengan kecantikan
Ditempat penuh kejelekan
Kalaupun parasnya memesona
Pudarnya ada di perangainya
Apakah artinya kecantikan?
Kalau bergaun keburukan?


(وَلِدِيْنِهَا), karena agamanya. Agama disini maksudnya adalah ketaatan bukan sekedar penampilan luar, namun bukan berarti tidak berhijab juga tidak apa-apa asal solehah (baik perangainya). Berhijab merupakan setengah ketaatan, setenganya lagi adalah perilaku, artinya, seorang wanita yang tidak berhijab tidak dinilai beragama, karena ketaatannya kurang, walaupun wanita tersebut baik akhlak dan perilaku kesehariannya. (Lihat artikel terkait disini)

Shalehah

Kenapa penyebutan agama dalam hadits diakhirkan, padahal agama sendiri adalah sesuatu hal terpenting yang harus diutamakan ketika memilih calon isteri? Karena kenyataannya, sedikit saja orang yang memilih wanita lantaran agamanya.

Rasulullah saw bersabda “Tidak ada hal yang paling bermanfaat bagi seorang mukmin setelah taqwa kepada Allah selain wanita shalehah, jika diperintah, ia menaatinya, jika dipandang, ia membuatnya bahagia/senang, jika bersumpah, ia memenuhi sumpahnya, jika ditinggal suaminya, ia menjaga diri dan harta suaminya.”[4]

Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang Allah beri rizki wanita sholehah, maka sungguh Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan setengah agamanya, maka takutlah kepada Allah (dalam memenuhi) setengahnya lagi.”[5]

(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ), Pilihlah yang beragama, maka kau akan beruntung. Maknanya adalah, barang siapa yang menikah dengan seorang wanita yang beragama, maka sungguh ia telah beruntung, maka jagalah dia dengan baik. Kenapa dikatakan beruntung? Pertama, wanita yang beragama dengan makna yang sebenarnya tidak mungkin membangkang perintah suaminya (tentunya perintah yang tidak bertentangan dengan perintah Allah), dan karenanya suaminya merasa senang. Kedua, wanita yang beragama tidak mungkin berhias untuk selain suaminya, dan karenanya, ia akan senantiasa tampil menarik di rumah, dengan demikian sang suami akan tetap mencintainya. Dan masih banyak lagi keuntungan-keuntungan lainnya.

(تَرِبَتْ يَدَاكْ), (jika tidak, semoga kau) menjadi miskin. Makna dari تَرِبَتْ يَدَاكْ adalah ungkapan doa kefakiran terhadap seseorang yang menemukan wanita beragama namun lebih memilih wanita yang cantik atau dari keturunan ningrat, atau kaya raya walaupun tidak beragama. Ada yang mengatakan bahwa تَرِبَتْ يَدَاكْ doa agar seseorang diberi kekayaan, namun hal ini tidak dapat diterima, karena Rasulullah tidak menyetujui sikap yang demikian (seorang lelaki yang lebih memilih wanita kaya ketimbang beragama). Jadi makna yang tepat adalah makna awal.

Dengan adanya ungkapan ini seolah Rasulullah benar-benar memotivasi seseorang untuk memilih pasangan hidupnya dengan selalu meninjau agama sebelum yang lainnya.

Jika seorang lelaki memilih wanita karena empat perkara diatas, begitu pula semestinya seorang wanita ketika memilih lelaki, hendaknya agama selalu dijadikan hal utama yang perlu ditinjau.

Syarat Kafaah Menurut Para Imam Madzhab
Madzhab imam malik menyatakan bahwa kafaah (kecocokan atau kepantasan) itu dengan meninjau agama (ini juga merupakan salah satu pendapat dari dua pendapat imam syafi’i), bukan dengan meninjau selain itu. Artinya, seorang wanita yang beragama tidak pantas menikah dengan seorang lelaki yang fasiq (sering berbuat dosa).

Untuk lebih jelasnya, berikut letak perbedaan masing-masing dari pendapat imam madzhab:
Seperti yang telah disebutkan bahwa Imam Malik menjadikan agama sebagai hal yang perlu ditinjau dalam menentukan kafaah (kepantasan). Adapun Imam Ahmad menyatakan bahwa kafaah itu dalam hal agama dan kedudukan atau jabatan atau pekerjaan – dan dalam satu riwayat ditambahkan dengan hurriyyah (merdeka dari perbudakan), skill (keahlian), dan kekayaan.

Adapun menurut Imam Abu Hanifah, kafaah itu dalam hal jabatan/pekerjaan, merdeka, dan kekayaan.

Adapun Imam Syafi’I dalam pendapat barunya (ketika berada di Mesir), menyatakan bahwa kafaah itu dalam hal agama, nasab, merdeka, kekayaan, skill, dan tidak ada cacat atau cela yang menghalangi terealisasinya tujuan dari menikah .[6]

Fotenote:
[1]البخاري ج 3 ص 161 ومسلم ج 10 ص 51.
[2]Hurairah = Anak Kucing/kucing kecil. Abu Hurairah = Bapaknya Anak Kucing.
[3]Ibnu Majah Jilid 1 halaman 594.
[4]Ibnu Majah Jilid 1 Hal. 59 dengan sanad dhoif dan memiliki banyak syawahid yang memerkuatnya.
[5]Al mustadrak jilid 2 Hal. 162.
[6]Contohnya impoten, cela ini menghalangi salah satu tujuan penting dari menikah, yaitu memeroleh keturunan, contoh yang lain adalah penyakit kusta, atau vagina wanita terhalang oleh tulang atau semacamnya, sehingga menghalangi persetubuhan.

Cairo, 7 Februari 2012

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment