Demokrasi; Apa Yang Bisa Dipelajari Darinya Dan Adakah Kemaslahatannya?
Pemilu Pilpres Prancis 22 April lalu. Efesiensi Luar Biasa, Satu TPS bisa menampung 5 ribu, tidak perlu biaya super dari negara, tapi kualitasnya, partisipasi masyarakat 80% |
“Gak ada yg perlu di pelajari dari sistem demokrasi, karena islam tidak mengenal kata demokrasi, demokrasi itu datangnya dari orang kafir, jadi tdk mungkin islam harus belajar dari orang kafir, bukankah hadis nabi mengatakan barang siapa mengikuti suatu kaum maka ia termasuk kaum itu?”
“Jika sistem pemerintahannya saja sudah salah, maka akan sangat sulit menjadi baik... demokrasi sendiri sudah terbukti gagal menyejahterakan rakyat Indonesia selama 6 dekade. untuk apa masih dipertahankan?”
***
Setiap orang mempunyai cara pandang dan penyikapannya tersendiri tentang sesuatu. Di tengah perdebatan yang pro dan kontra tentang Demokrasi, mari kita sedikit berbincang tentangnya dengan perbincangan yang menghasilkan solusi, bukan sekedar keputusasaan yang diungkap dengan bentuk cacian.
Saya punya pandangan sendiri tentang sistem demokrasi. Harus dibedakan antara demokrasi sebagai ideologi/pemikiran dan demokrasi sebagai alat/nilai.
Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi sebagai pemikiran dan ideologi lahir di barat, tumbuh dengan akar ketidak imanan kepada yang Maha Kuasa. Kekuasan mutlak sepenuhnya pada rakyat, bukan pada Tuhan. Saya sepakat dengan siapapun yang kontra demokrasi dengan tinjauan "demokrasi sebagai ideologi/pemikiran".
Kita sudah melihat falsafah demokrasi yang ternyata tidak sesuai dengan islam, supaya adil, perlu dilihat juga demokrasi sebagai alat/nilai, adakah yang bertentangan dengan Islam? Demokrasi di dalam sebuah negara berdiri dengan ditopang dua pilar:
1. Pilar pertama: Kewajiban rakyat untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan (menundukan pemerintah di bawah pengawasan masyarakat), ini ditandai dengan adanya perwakilan rakyat. Pemerintah hanya bertugas untuk menjadi pelaksana saja, membat uu dan lain sebagainya. Semua itu terealisasi dengan pemilu yang dilakukan secara langsung oleh semua kalangan masyarakat.
2. Pilar kedua: Memberikan masyarakat hak asasi sepenuhnya; yaitu hak berpolitik dan hak kemanusiaan.
Tentang pilar pertama, sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan islam. Pemilihan hakim (penguasa) secara langsung pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu dengan membaiat (sumpah setia) seseorang yang hendak dijadikan pemimpin di depan khalayak. Penguasa (pemimpin) bersangkutan juga tunduk kepada pengawasan masyarakat, segala gerak gerik dan tingkah lakunya diperhatikan, jika dia salah, maka masyarakat menegurnya, jika dia benar, maka masyarakat menyokongnya. Baik penguasa (pemimpin) dan masyarakat semuanya tunduk kepada syariat islam. Ketundukan inilah yang sebenarnya dapat menjamin Demokrasi berjalan dengan semestinya.
Jadi masalah sebenarnya tidak pada demokrasi atau bukannya, tapi sejauh mana demokrasi sebagai alat/nilai ini difungsikan. Sistem khilafah dipercaya dapat membuat perubahan karena sistem tersebut mencakup apa yang tidak dicakup oleh demokrasi (sebagai alat), bahkan mencakup demokrasi itu sendiri (dengan tinjauan sebagai alat). Jika prinsip-prinsip dasar demokrasi terbatas hanya pada kebebasan, pengawasan, dan pemberian hak, maka mabadi asasisyah (prinsip-prinsip dasar) pemerintahan islam ada 5:
1. As-Syura (musyawarah pada hal sekecil apapun)
2. Al-'adalah (keadilan)
3. Al-musawa (kesamaan derajat)
4. Al-hurriyyah (kebebasan; meliputi kebebasan aspirasi pribadi, kebebasan berkeyakinan dll.)
5. Mas-uliyatul khalifah (Tanggung jawab khalifah atau pemimpin, bukan menyalahkan bawahannnya jika ada sesuatu yang salah dengan roda pemerintahan)
Jika kelima prinsip ini ada pada sebuah sistem, maka, apapun namanya tidak menjadi masalah. Dari sini dapat dipahami 'isti'jal (terburu-buru) menegakan khilafah boleh jadi malah tidak membawa kemaslahatan, kenapa? dikhawatirkan 5 prinsip dasar yang disebut di atas tidak difungsikan. Bukankah Utsmanisyyah adalah kekhilafahan? tapi kenapa diakhir kejayaannya petaka terjadi dimana-mana, pembantaian besar-besaran terjadi pada masyarakatnya. Setidaknya Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur: Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, salah menerapkan Islam. Tolong jangan disalah artikan, saya tidak meragukan sistem khilafah, yang saya ragukan adalah pemikul-pemikulnya! Banyak para cendikiawan dan ilmuwan Islam yang sepakat bahwa Sistem khilafah yang ada pada zaman Khulafaur-rasyidin adalah sistem yang terbaik yang pernah ada! dan tentunya saya tidak berhak mendebat mereka, karena memang benar begitu kenyataannya.
Permasalahannya adalah penerapan. Tidak mungkin kan kita menerapkan secara leterlek khilafah yang ada pada zaman khulafaur rasyidin ke zaman sekarang? tentunya perlu istinbath (penggalian nilai-nilai) yang ada pada khilafah zaman Khulafaur rasyidin itu, untuk kemudian diterapkan pada zaman sekarang dengan bentuk berbeda. Jadi jangan dibayangkan bahwa ketika khilafah ada, tidak ada parlemen! boleh jadi ada, tapi dengan mekanisme kerja dan aturan di dalamnya yang berbeda. Disinilah pentingnya mengetahui mana yang tsawabit (principle) dan mana yang mutaghayyirat (variable), contoh sederhananya adalah zakat! kita semua tahu bahwa zakat itu sudah ada pada zaman Nabi, dan kita semua sepakat bahwa zakat itu wajib, tak boleh dirubah-rubah jadi sunnah atau tidak wajib, namun apakah penerapannya (cara pembagian zakat misalkan) harus sama 100% dengan apa yang terjadi di zaman Nabi? pendataannya, pembagiannya, harus sama bentuknya kah? Bentuk boleh berubah, asalkan konten tetap! Jadi perlu ditanyakan ulang, sistem khilafah seperti apa yang kita inginkan? sudah kah diformulasikan? adakah kerja nyata untuk ke arah situ? atau hanya slogan-slogan (maaf saya tidak bermaksud menyindir, hanya mengingatkan). Satu lagi yang ingin saya ingatkan, khilafah itu bukan Visi umat islam, tapi Misi! Sekarang apa bedanya Visi dan Misi? Visi adalah "Tujuan akhir yang tidak ada sesuatu lagi setelahnya", sekarang saya tanya "Mau apa kalau klo khilafah sudah terwujud?" jawabannya inilah yang merupakan visi umat islam sebenarnya. Jawabannya "Persatuan umat islam", "Agar islam menjadi soko guru bagi alam semesta dan menjadi rahmatan lil alamin", jika Visi adalah pulau harapan, maka misi adalah lautan yang harus disebrangi untuk sampai ke pulau tersebut. Jadi, khilafah adalah sarana untuk mencapai Visi.
Sekarang kita hidup di alam nyata, masyarakat dunia menerima demokrasi, maka menentang arus bukanlah hal bijak; karena kita pasti kalah oleh arus, tunduk pada hal-hal yang bertentangan dengan Islam juga bukan hal bijak (terbawa arus), yang bijak adalah ikut arus tanpa terbawa arus, justeru memanfaatkan arus itu untuk kemaslahatan. contoh realnya adalah Erdogan PM Turki, beliau adalah sosok yang tidak terlalu dipusingkan dengan masalah penamaan dan sistem, selama sistem itu masih memuat nilai kebaikan, bismillah, dan hasilnya Turki lebih mapan kesejahteraannya dari pada Indonesia. Individu-individu masyarakatnya jauh lebih terdidik dari indonesia. Intinya, semua ada waktunya! apa yang tidak bisa diterapkan semua bukan berarti ditolak semua, lantas memilih membuat sistem yang lebih sempurna, ini sulit! Beberapa negara barat diklaim sebagai negara yang paling menerapkan Islam walau hanya pada permasalahan yang nampak (kebersihan, sopan santun dll), kenapa bisa begitu? karena apapun yang barat miliki dari secuil kebaikan, mereka langsung terapkan! Umat islam kaya dengan konsep perubahan dan perbaikan, tapi nihil aplikasi (penerapan). Sejuta konsep dan solusi dipaparkan namun terhenti pada tataran teori, entah karena tidak adanya orang yang mau menerapkan konsep itu atau tidak ada yang mampu?
Hasilnya? seorang ulama mesir berkunjung ke sebuah negara Eropa dan ia berkata "Disini saya melihat Islam, tp tidak melihat orang islam.. di mesir, saya melihat banyak orang Islam, tp tidak melihat Islam".
Yang lebih tepat sebenarnya, sekarang ini waktu bekerja dan membahas masalah strategi, bukan lagi berkutat dalam masalah "pemahaman"; Demokrasi boleh atau tidak? haram atau tidak? Eropa sudah jauh melangkah, kita hanya berbicara masalah haram atau tidak. Sudah lumrah dikalangan para ulama syariah, bahwa selama "sesuatu itu" tidak terkait dengan masalah yang jelas-jelas keharamannya atau jelas-jelas kehalalannya, maka boleh disesuaikan sesuai dengan situasi dan kondisi, dan boleh didiskusikan serta dikompromikan.
Demokrasi (dengan tinjauan sebagai alat) sama sekali tidak terkait masalah yang jelas-jelas haram, dan jelas-jelas halal, maka menggunakannya sebagai kemaslahatan adalah boleh, dan menolaknya juga adalah silahkan, tergantung situasi dan kondisi menuntut untuk menggunakannya atau tidak! Contoh nyata adalah apa yang terjadi di Mesir. Salafiy adalah golongan yang jelas-jelas tidak ikut turun ke jalan-jalan untuk menumbangkan rezim mubarok, alasannya adalah "khuruz 'an waliy amr" (tidak menaanti pemerintah dan itu berdosa dlm islam), namun apa yang terjadi setelah Revolusi usai? secara resmi Sebagian Salafiy mendirikan Hizb An-nur As Salafiy (Partai Nur Salafiy), bukan kah ini terkesan munafik? Namun yang tepat adalah "cerdas", bukan munafik! karena setiap kata harus ditempatkan pada tempatnya! tidak boleh dipermainkan! Munafik itu adalah golongan yang menampakan Islam secara penampilan dan penampakan, namun menyembunyikan loyalitas kepada musuh Islam, walaupun loyalitas itu sebenarnya adalah salah satu bentuk sifat oportunis (orang yang memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu), contohnya seperti orang-orang JIL (jaringan Islam Liberal).
Demikianlah pandangan ulama syariah; bahwa merubah fatwa terkait masalah yang masih khilaf (berbeda pendapat) bukanlah sebuah aib yang pantas dicela, jadi saya tidak mencela salafiy Mesir atas apa yang mereka lakukan, saya berhusnudzhan mereka paham akan hal ini (pandangan ulama syariah).
Imam Syafi'i pun pernah melakukan hal serupa, sebagian dari apa yang beliau fatwakan di Irak berbeda dengan di Mesir, dan inilah yang dikenal dengan istilah madzhab qodim (madzhab lama) dan madzhab jadid (madzhab baru), contohnya tentang permasalahan kesetaraan (sekufu) yang harus terjadi antara lelaki dan perempuan yang hendak menikah. Dalam madzhab qodim, beliau memfatwakan bahwa kesetaraan itu hanya dalam masalah agama (artinya kalau yg calon isterinya beragama, si calon suaminya juga harus beragama), ketika pindah ke Mesir, beliau merubah fatwanya terkait hal ini; kesetaraan itu pada hal-hal berikut: Agama, nasab, merdeka, kekayaan, skill, dan tidak ada cacat atau cela yang menghalangi terealisasinya tujuan dari menikah (contohnya impoten).
Lebih jauh lagi, Rasulullah saw pernah menyuruh seseorang berwudhu ketika orang tersebut bertanya "Apakah memegang kemaluan batal atau tidak?". Rasul menjawab "Batal" dan menyuruhnya berwudhu. Kasusnya sama dengan orang berbeda, namun Rasulullah saw malah tidak menyuruh orang tersebut berwudhu. Adapun pada orang yang pertama, Rasulullah menyuruhnya berwudhu karena orang tersebut berwajah kusut (kelihatan tidak pernah bersih-bersih), dan orang yang kedua tidak demikian. Jadi begitulah islam, tidak pernah mengabaikan konteks, dan inilah yang membuat Islam relevan di semua tempat dan pada semua zaman, flexibel seperti per, namun tidak terlalu elastis seperti karet yang bisa kendor lama-kelamaan.
Itulah yang saya dapatkan dari pemahaman para Ulama Islam sepanjang zaman tentang politik dan masalah yang terkait dengannya. Pernyataan "Politik itu kotor" perlu kembali ditinjau; jika yang dimaksud dengan politik adalah seperti apa yang digagas Machiavelli, maka saya sepakat bahwa politik itu memang kotor. Sebagai contoh pendapatnya yang paling populer yakni The end justifies the means yang artinya tujuan membenarkan atau menghalalkan segala cara dalam mempertahankan jabatan. Namun jika yang dimaksud dengan Politik adalah sesuai dengan apa yang digariskan Islam, maka apakah dapat dikatakan kotor? pertanyaannya adalah: apakah ada dalam Islam aturan-aturan yang mengurusi negara? adakah aturan-aturan yang mengurusi pemerintahan, ataukah Islam hanya sekedar agama dengan aturan-aturan yang terbatas pada ibadah ritual saja? Zakat, solat dan haji? saya yakin anda sudah tahu jawabannya.
Rasulullah bersabda:
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya: wahai Abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (HR. bukhari, muslim)
Dalam hadis lain rasul s.a.w juga pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah jabatan atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Dan masih banyak-banyak hadits lainnya, yang kita perlukan adalah istinbath (penggalian nilai-nilai) dari hadits tersebut sehingga bisa menjadi sebuah formula wajah politik dunia yang baru, dan mengalahkan politik konvensional lama yang biasa orang-orang panggil dengan sebutan "Politik itu kotor", demikian perbincangan kita yang melebar dan mudah-mudahan tidak dilebar-lebarkan lagi.
Akhirnya saya ajak semua kalangan aktivis dan pelajar (mahasiswa) untuk mencari solusi bersama jika memang demokrasi telah gagal, dan sudah barang tentu solusi tidak didapat hanya dengan mencerca "demokrasi gagal", "demokrasi sistem zalim". Jika memang demikian, perlu ada langkah untuk mengubahnya, dan perubahan tidak datang hanya dengan berbicara tanpa amal nyata. Wallahu'alam bis-shawab.