Bisakah Shaum Merubah Kita Menjadi Pribadi Bertaqwa?


Hai orang-orang  beriman, diwajibkan kepadamu shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (Al-Baqarah)

Allah telah memerintahkan umat islam untuk melaksanakan shaum, sebagaimana orang-orang terdahulu pun melaksanakannya. Siapakah umat terdahulu itu? Diriwayatkan bahwa Nabi Daud alaihissalam pernah melaksanakannya selang-seling; sehari saum, sehari berbuka.

Dari Daghfal bin hazhalah; bahwasannya keserupaan saum umat islam dan saum umat-umat sebelumnya ada pada kewajibannya bukan pada bentuk (sifat)nya dan berapa lamanya.

Diriwayatkan juga bahwasannya orang-orang yahudi terdahulu tidak sekedar menahan haus dan dahaga saat melakukan saum siang ke siang yang lain, namun juga menghabiskan waktu berpuasanya dengan berbaring di atas batu kerikil dan tanah dalam kesedihan yang mendalam. Dalam kitab keluaran dikatakan bahwa Musa, selama pergi menemui TuhanNya di bukit Tur Sina, melakukan puasa selama 40 hari 40 siang, tidak makan roti dan tidak minum. Di dalam injil matius dikatakan bahwa Isa Al-Masih melakukan saum selama 40 hari di padang gurun.

Demikian sekilas shaumnya umat terdahulu. Untuk apa sebenarnya shaum itu Allah syariatkan kepada manusia? Tentu Allah lah yang tahu alasan sebenarnya, yang dapat kita cari adalah hikmahnya.

Shaum merupakan salah satu sarana manusia untuk menempa dirinya menjadi pribadi unggul yang bertaqwa, dan bersyukur. Sarana yang cukup ampuh untuk menetaskan manusia-manusia unggul dari zaman ke zaman. Shaum adalah sarana, jika baik menggunakannya, kita akan sampai kepada tujuan.

Apakah benar dengan menahan lapar dan dahaga manusia bisa mencapai derajat ketaqwaan? Kenyataannya shaum bukan hanya menahan lapar dan dahaga, itu hanya satu dari sekian banyak unsur yang darinya ketaqwaan terbentuk. Masih banyak unsur lain yang terlibat dan disadari atau tidak, tidak jarang ditemui orang yang kurang mengoptimalkan unsur-unsur tersebut selama melaksanakan shaum.

Mari kita sadari unsur itu satu per satu. Rasulullah saw bersabda:
إذا جَاءَ رَمَضَان فُتِحَتْ أبْوَابُ الجَنةِ وَغُلِقَتْ أبْوَاب النارِ وَصُدِفَتْ الشياطين – وفي الرواية الأخرى - إذا كانَ رَمَضَان فُتِحَتْ أبْوَابُ الرّحْمَةِ وَغُلِقَتْ أبْوَابُ جَهَنّمِ وَسُلسِلتْ الشيَاطِين.

Apabila Ramadhan tiba, dibukalah pintu surga dan ditutup pintu neraka dan Syetan-syetan dibelenggu – dalam riwayat lain – Jika datang Ramadhan, dibukalah pintu rahmat, ditutup pintu jahannam, dan syetan-syetan dirantai” (HR Muslim Kitab Shaum)

Qadhi Iyad mengatakan bahwa makna futihat abwab jannah, ighlaq abwab nar dan tashfid sayathin adalah makna hakiki (makna sebenarnya) bukan majazi. Ketiga hal tersebut merupakan tanda akan masuknya Ramadhan, dan juga sebagai pengagungan terhadapnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah makna majazi (bukan sebenarnya); Bahwasannya dengan ketaatan manusia pada saat itu, pengaruh syetan menjadi berkurang, karena itu seolah syetan terikat atau terbelenggu, adapun terbukanya pintu surga atau pintu rahmat dalam riwayat lain maksudnya Allah menjadikan bulan ini sebagai peluang bagi manusia untuk menumbuhkan ketaatan mereka kepada-Nya, dan ketaatan inilah yang kemudian menjadi sebab terbukanya pintu rahmat atau pintu surga (baca: masuk surga). Begitu pula sebaliknya, bekurangnya kemaksiatan adalah sebab ditutupnya pintu neraka (baca: tidak masuk neraka).

Baik dari makna hakiki maupun majazi, dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya Allah telah memberi kita bantuan dan kemudahan, dan semestinya hal ini tidak kita sia-siakan. Menjadi pribadi bertaqwa bukanlah hal mudah semudah membalikan telapak tangan. Godaan dan bisikan yang membuat manusia melenceng tak pernah berhenti, tapi cobalah pikirkan! dalam satu tahun, Allah menjadikan satu bulan khusus, bulan ketika kejahatan bisikan setan diredupkan.

Selain itu, pada bulan ini Allah juga memermudah jalan manusia menuju ketaatan kepadaNya. Kita tidak sendirian berpuasa! Allah telah mengkondisikan manusia semuanya untuk berpuasa, Allah telah mengkondisikan semua manusia untuk melaksanakan Tarawih berjamaah di masjid pada malam harinya, belum lagi acara-acara televisi yang mendadak menjadi serba putih, banyak yang bermanfaat minim maksiat. Apalagi jika semua ini bukan kemudahan? Apalagi jika semua ini bukan kesempatan?

Perhatikanlah pola hidup kita dari mulai shubuh ke shubuh lagi. Adakah sesuatu yang berubah? Bukankah hari-hari sebelumnya jamaah salat shubuh hanya segelintir manusia? Sekarang ramainya shubuh seramai salat jumat. Tanyakan pada diri sendiri “Bukankah ini kesempatan untuk melatih diri berjamaah shubuh di masjid?”. Tidak dapat dipungkiri, setelah ramadhan, semuanya kembali seperti semula, tanyakan lagi kepada diri sendiri “Apakah saya hendak kembali seperti semula seperti orang-orang pada umumnya?” Oleh karena itu, berniatlah dengan niat yang benar; untuk membiasakan diri shubuh berjamaah bukan sekedar ingin ikut meramaikan. Insya Allah jika berniat membiasakan diri, pengaruhnya nampak setelah ramadhan. Inilah yang saya maksud dengan mengoptimalkan unsur-unsur yang memungkinkan kita menjadi pribadi bertaqwa.

Pada siang harinya kita menahan lapar dan dahaga. Lapar bukan sekedar lapar, haus bukan semata-mata haus, ada tujuan dibaliknya, Selain belajar sabar, kita juga belajar mengendaikan hawa nafsu yang boleh jadi pada hari-hari biasa diliarkan begitu saja. Jika perut kenyang, nafsu syahwat lapar, jika perut lapar, nafsu syahwat kenyang, begitulah kaidahnya. Artinya, lapar dan dahaga bermakna pengendalian diri agar menjadi orang yang mampu bersabar dan tidak liar dengan hawa nafsunya. Namun, sekali lagi, bukan berarti hawa nafsu mendadak hilang, tidak! Tidak demikian! Lapar dan dahaga hanya merendahkan frekuensinya saja. Mereka yang berhasil adalah mereka yang memanfaatkan kesempatan frekuensi rendah hawa nafsunya, adapun yang gagal adalah mereka yang memaksakan diri meliarkan hawa nafsunya padahal kesempatan membendungnya amat terbuka, karenanya jangan tanya kenapa seks bebas muda-mudi muslim semakin meningkat, itu karena, shaum mereka hanya sekedar menahan lapar dan dahaga.

Shaum bukan diet, karena diet itu mengurangi jumlah makan dan minum serta mengatur frekuensi mengkonsumsinya, adapun shaum berbeda sama sekali.

Saum adalah aktifitas yang melibatkan:
1. Spiritual (bentuk ketaatan kita kepada Allah swt yaitu dengan meniatkan diri untuk berpuasa)
2. Kejiwaan (emosi), dan
3. Fisik

Masing-masing dari ketiga hal itu saling berpengaruh satu sama lain. Fisik yang sehat dengan jiwa yang tidak tenang berpengaruh terhadap kesehatan. Jiwa yang sehat dengan fisik yang lemah pun sedikit banyak berpengaruh terhadap kenyamanan jiwa dan aktifitas spiritual (ibadah). Tidak dipungkiri bahwa orang yang sakit lain perasaannya dengan orang yang sehat, juga lain jangkauan aktifitasnya dengan mereka yang sehat. Ada yang berkata bahwa jika orang sehat punya sejuta keinginan, maka orang sakit hanya punya satu keinginan, yaitu sembuh. Jika orang sehat bisa berlama-lama melakukan shalat qiyam, maka tidak demikian halnya dengan orang sakit yang kebanyakan hanya bisa terbaring menunggu kesembuhannya.

Fisik yang sehat dan emosi yang stabil tanpa melibatkan unsur spiritual juga masih tidak lengkap. Sedikit banyak ketenangan jiwa diperoleh dari bagaimana interaksi dan hubungan manusia dengan Allah swt. Kekeringan jiwa merupakan dampak yang dirasa ketika seseorang menjauh dari pencipta-Nya.

Karena shaum melibatkan tiga hal ini, maka orang yang melaksanakan shaum adalah orang yang sehat jasmani, emosi dan rohaninya, namun tentunya hal tersebut tidak terlepas dari kualitas shaum perorangan. Seperti obat yang pada dasarnya memang untuk menyembuhkan, namun jika kenyataanya tidak memberi efek memuaskan, maka kemungkinannya adalah karena tidak sesuai aturan pemakaian, kelebihan dosis dan lain sebagainya. Seperti itu pula saum, jika seseorang tidak menjadi bertaqwa dan bersyukur dengan saum, maka yang salah bukan saumnya, tapi bagaimana ia melaksanakannya.

Ramadhan adalah peluang; peluang bagi siapa saja yang hendak menaikan derajat dirinya disisi Allah. Allah berfirman "Inna akramakum 'ingdallahi atqakum" (yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa), maka dalam firman lain Allah menunjukan bagaimana cara agar kita menjadi orang yang bertaqwa sehigga kita berhak menjadi orang yang mulia dalam pandangannya.

Demikianlah shaum dengan segala unsur atau aktifitas yang ada di dalamnya semestinya lebih banyak mencetak pribadi-pribadi unggul, namun ternyata semuanya kembali kepada individu; semakin seseorang mengoptimalkan shaumnya semakin dekat kemungkinannya sampai kepada tujuan. Wallahu’alam bis shawab.


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment