Bid’ah; Perselisihan Panjang Dulu Dan Kini

Bid'ah perselisihan panjang dulu dan kiniPerkara perselisihan tentang makna bid’ah sebenarnya tidak hanya terjadi pada zaman ulama tabi’in saja, siapa yang membaca sejarah akan mengerti bahwasannya pernah terjadi sedikit perselisihan antara Abu Bakr, Umar dan Zaid bin Tsabit tentang perkara penulisan mushaf. Dari fragmen sejarah tersebut kita akan mengerti bahwa perselisihan tentang mafhum (makna) bid’ah sudah sejak lama terjadi.

Suatu saat Umar pernah datang menemui Abu Bakr setelah banyak para penghafal Al-Quran yang berguguran dalam perang yamamah. Umar meminta kepada Abu Bakr agar ia mengumpulkan Al-Quran dan menuliskannya sebelum lebih banyak lagi para penghafal Al-Quran yang berguguran.

Lalu apa respon Abu Bakr? Beliau berkata “Bagaimana aku melakukan sesuatu yang belum pernah diakukan Rasulullah saw sebelumnya?”. Hal ini menunjukan bahwa pada mulanya Abu Bakr melihat bahwa perkara mengumpulkan dan menuliskan Al-Quran dalam satu mushaf yang utuh merupakan perkara baru yang belum pernah dilakukan Rasulullah saw (bid’ah), namun Umar RA. Tetap meyakinkan Abu Bakr dengan senantiasa berkata kepadanya “Demi Allah, hal ini baik!” sampai akhirnya Umar menerima usulan tersebut dan memanggil Zaid bin Tsabit untuk memberinya tugas mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang tercecer.

Hal yang sama terjadi pada Zaid, responnya sama dengan respon Abu Bakr, beliau berkata “Bagaimana mungkin kalian berdua melakukan sesuatu yang belum pernah Rasulullah saw lakukan sebelumnya?”, keduanya menjawab “Demi Allah, ini baik!”.

Dari potongan sejarah di atas dapat kita pahami bahwasannya perselisihan tentang mafhum (makna) bid’ah sudah terjadi sejak lama. Kemudian dapat kita ketahui pula sesuatu yang menjadi penguat argumen Umar sehingga ia berani mengatakan “Demi Allah, ini baik!”, bahwa bid’ah yang haram itu (yang mengeluarkan pelakunya dari agama atau dicap sesat) tidak menyeru kepada kebaikan, lebih jauh lagi dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang menyebabkan kebaikan tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah yang sesat, melainkan sunnah hasanah (tradisi baik yang patut dilestarikan).

Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik (sunnah hasanah) dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu.” (HR. Muslim no. 1017)[2]

Tidak semua perkara baru dalam agama dikategorikan sebagai perkara bid’ah, karena jika demikian tentunya tidak tersisa sama sekali hal-hal yang masuk dalam kategori sunnah hasanah walaupun pada perkara baru tersebut terdapat kebaikan.

Sebagian ulama ada yang menyandarkan argumennya pada sabda Rasulullah saw:
Ketahuilah, barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah mati sepeninggalku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa melakukan bid’ah dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).

Dalam hadits di atas terdapat isyarat penting bahwa jika ada bid’ah dolalah (bid’ah yang sesat) maka ada bid’ah yang tidak sesat, karena andaikata semua bid’ah itu sesat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata: “Barangsiapa mengadakan sebuah bid’ah” tanpa harus menambahkan kata ‘dholalah’ dalam sabdanya tersebut. Hal semacam ini pernah Umar nyatakan dalam perkataannya selepas melaksanakan salat taraweh, beliau berkata “Sebaik-baik bid’ah adalah yang seperti ini”.

Oleh karena itu sebagian besar ulama membagi bid’ah kedalam beberapa kategori dengan istilahnya masing-masing. Imam Syafi’i misalkan, beliau membagi bid’ah menjadi dua macam yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), ada juga yang membagi bid’ah menjadi bid’ah shagirah dan bid’ah kabirah (Bid’ah kecil dan besar).

Hasan al Banna dalam ushul isyrinnya memilih pembagian bid’ah dengan istilah bid’ah ashliyyah dan bid’ah far’iyyah. Bid’ah ashliyyah adalah semua perkara baru yang terjadi dalam agama, asal-muasalnya bukan dari Rasulullah saw, didasari hawa nafsu, dan ditujukan untuk ibadah. Bid’ah ashliyyah dibagi menjadi dua, bid’ah ziyadah (menambah) dan bid’ah nuqhshan (mengurangi). Contoh untuk bid’ah ziyadah seperti menghidupkan tradisi kerahiban (tidak menikah), shalat khusus yang dilakukan pada malam ‘asyura dan lain sebagainya. Adapun contoh bid’ah nuqshan seperti penolakan zakat yang pernah terjadi di zaman Khalifah Abu Bakr Shiddiq, menolak syariat Jihad, dan menolak hukum yang telah ditetapkan Allah.

Bid’ah far’iyyah adalah perkara baru yang ada asal-usulnya dalam agama. Pertanyaannya, kenapa dikatakan sebagai bid’ah jika memang ada asal-usulnya dalam agama (dari Rasulullah saw)? Jawabannya karena apa yang dilakukan Rasulullah saw terdapat perbedaan dengan apa yang dilakukan umatnya pada kemudian hari. Perbedaan tersebut bisa berupa perbedaan dalam segi bentuk (Haiah), waktu pelaksanaan (zaman), dan tempat pelaksanaan (makan). Contoh perkara yang tergolong bid’ah far’iyyah karena disebabkan perbedaan haiah (bentuk) seperti melakukan zikir bersama-sama sehabis shalat fardhu. Zikir sendiri ada contohnya dari Rasulullah saw, namun zikir dalam bentuk bersama-sama adalah sesuatu yang baru.

Contoh perbedaan dari segi waktu pelaksanaan (zaman) seperti mengeraskan shalawat kepada Nabi Muhammad saw selepas adzan. Shalawat sendiri ada contohnya dari Rasulullah saw, namun penempatannya setelah adzan dengan mengeraskan suara adalah sesuatu yang baru. Contoh perbedaan dari segi tempat seperti berdzikir ketika mengantar jenazah. Pada dasarnya yang seharusnya dilakukan ketika mengantar jenazah adalah diam.

Perkara-perkara seperti di atas dinamakan bid’ah far’iyyah, bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya dicap sebagai orang sesat atau keluar dari ajaran agama.

Masih banyak pengkategorian ulama-ulama lainnya tentang bid’ah, bahkan al ‘iz bin adbdis salam mengkategorikan bid’ah sesuai dengan bilangan hukum islam yang lima; bid’ah wajibah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah, dan bid’ah muharramah.

Demikianlah banyaknya ulama yang mengkategorikan bid’ah menjadi sebuah isyarat penting bahwa semestinya perkara membid’ahkan bukanlah perkara yang mudah terucap, apalagi menghukumi seseorang atau kelompok tertentu dengan kafir, hal seperti ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. Agama islam adalah agama dakwah, dan dakwah adalah persoalan bagaimana menyeru dan meluruskan orang lain bukan bagaimana menghukumi orang lain.

Menyeru dan meluruskan membuat lebih banyak pengaruh ketimbang lidah cambuk yang teramat mudah melecutkan kalimat “Ini salah, ini bid’ah, kamu kafir..”. Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah saw ketika seorang arab pedalaman kencing begitu saja di dalam masjid! Yang beliau lakukan adalah menjelaskan dan membimbing, bukan cercaan apalagi hukuman. Umat Islam hari ini lebih banyak kebutuhannya akan bimbingan dan penjelasan ketimbang hukuman dan cercaan.

Lihat juga bagaimana sikap Rasulullah saw ketika datang kepadanya seorang pemuda yang meminta izin untuk melakukan zina. Beliau tidak meneriaki pemuda tersebut dengan “Dasar kamu pemaksiat, pendosa kamu.. “ dan lain sebagainya, karena permintaan izin sang pemuda pun sudah merupakan isyarat bahwa sang pemuda paham hukum berzina. Yang Rasul saw lakukan adalah membimbing dengan melembutkan hatinya. Al hasil, sang pemuda menjadi seseorang yang amat membenci perbuatan tersebut sejak hari itu juga.

Lihatlah dan pelajari sejarah Rasulullah saw, adakah beliau sering membid’ahkan orang? adakah beliau pernah mengkafirkan orang yang telah bersyahadat? Adakah? Adakah?

Membawa islam lebih banyak kepada masalah “Kafir atau tidak”, “Bid’ah atau tidak” sama saja dengan memersempit agama ini yang sejatinya lebih dari sekedar masalah-masalah tersebut.

Akhirnya, inilah prinsip sekaligus slogan yang mesti selalu kita pegang, “Nahnu du’at laa qudhat” (kita adalah dai yang menyeru, bukan hakim yang menghukumi). Wallahu ‘alam bis shawab.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment