Wasiat Umar bin Khattab; Mengenali Calon Pemimpin Dengan Sungguh-Sungguh

Umar Bin Khatab adalah sosok yang selalu menjadikan Syura sebagai pegangan dalam setiap perkara, sekecil apappun perkara tersebut. Beliau pernah berkata: "Tidak ada kebaikan pada sebuah perkara yang diputuskan tanpa syuro".

Beliau adalah orang yang pertama kali membentuk kaidah syura dalam pemilihan khalifah. Saat terkapar setelah terkena tikaman, beliau pernah ditanya tentang wasiat apa yang ingin disampaikannya, maka kemudian Umar berkata kepada Miqdad Bin Aswad:

"Jika kalian telah meletakanku di dalam liang lahat, masukanlah (ke dalam ruangan khusus) Ali, Zubair, Sa'd, Abdurrahman Bin Auf, dan Thalhah, hadirkan juga bersama mereka Abdullah Bin Umar,dan dia sama sekali tidak punya kepentingan dengan pemerintahan. Berdirilah kamu di depan mereka (perhatikan), jika lima orang telah bersepakat dan ridha terhadap satu orang (untuk dijadikan pemimpin), dan ada satu orang yang menolak, maka layangkan pedangmu ke kepalanya, jika yang bersepakat empat orang, dan dua orang menolak, layangkan pedangmu ke dua orang tersebut. Jika tiga orang bersepakat, maka berikan keputusannya kepada Abdullah bin Umar. Kelompok manapun yang Abdullah pilih dari dua kelompok tersebut, maka pilih seseorang (untuk jadi khalifah) dari mereka (kelompok terpilih). Jika mereka tidak rela (setuju) dengan keputusan Abdullah, maka bergabunglah kamu bersama kelompok yang ada Abdurrahman Bin Auf di dalamnya, dan bunuhlah sisanya jika mereka menolak apa yang telah disepakati bersama."
______________________________

Sebagian orang mungkin merasa ngeri dan bertanya-tanya “Kok main bunuh-bunuhan?”, tenang! Riwayat ini bukan tentang semangat bunuh-bunuhan, dan Kenyataan yang terjadi tidak ada pertumpahan darah di dalam Majlis Syura tersebut, yang ada malah saling melempar amanah besar itu satu sama lain. Mereka sadar betul bahwa kepemimpinan adalah khidmah (pelayanan), bukan singgasana kekuasaan.

Perintah Umar untuk membunuh yang tidak setuju bukan perintah asal tanpa perhitungan. Tentunya beliau sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi, kenapa bisa begitu? Keenam sosok yang Umar sebut bukanlah orang-orang yang asing bagi Umar. Umar sudah kenal betul siapa dan bagaimana mereka? Kemampuan mereka dan kapasitas kepemimpinan mereka, akhlak dan karakter mereka. Umar sudah tahu detail tentang mereka. Inilah alasan kenapa perintah “Bunuh” itu muncul, karena pembunuhan itu sangat kecil kemungkinannya terjadi.

Dari apa yang telah dipaparkan, satu kesimpulan saja yang ingin saya ambil, dan tentunya anda bisa menarik sebanyak mungkin kesimpulan. “Mengenal dan memilih calon pemimpin” itu saja! Memilih pemimpin bukan perkara asal-asalan, asal coblos, asal tunjuk, apalagi zaman sekarang, zaman yang keburukan sering menyamar, dan kebaikan sering tersamarkan. Perlu pengetahuan cukup tentang calon pemimpin. Memilih pemimpin adalah kewajiban, karena kita diwajibkan menaatinya. Bagaimana mungkin kita taat jika ternyata pemimpin yang terpilih adalah orang yang zalim dan sewenang-wenang, karena itu, tepat dalam memilih adalah kemestian! “Sesuatu yang kewajiban itu tidak sempurna kecuali dengannya, maka ‘sesuatu’ itu wajib” begitulah menurut kaidah fiqhiyyah.

Memilih pemimpin adalah amanah, sudah seharusnya amanah itu tidak disia-siakan. Salah satu bentuk penyia-nyiaan amanah adalah memilih atau menyerahkan suatu urusan kepada seseorang yang bukan ahli dalam urusan tersebut.

Rasulullah saw bersabda “Jika amanah sudah ditinggalkan (disia-siakan), maka nantikanlah kiamat (akan segera tiba)” Sahabat bertanya “Seperti apa amanah yang ditinggalkan (disia-siakan) itu?” Rasulullah saw menjawab “Jika sebuah perkara (perkara apapun itu, termasuk perkara kepemimpinan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah kiamat (kehancurannya)”. (HR. Bukhari).

Ketika kita memilih pemimpin, berarti kita memekerjakan seseorang untuk mengurusi negara, untuk melayani masyarakat. Bukankah kepemimpinan itu adalah pelayanan? Tentunya kita akan memilih pekerja terbaik, bukan sembarangan. Rasulullah saw bersabda: “Orang yang mempekerjakan seseorang dari suatu kaum, dan di kaum itu ada yang lebih baik dan lebih diridhai Allah daripada yang diperkerjakannya, maka dia telah berkhianat kepada Allah, berkhianat kepada Rasul Nya dan berkhianat kepada kaum Muslimin” . (H.R. Al Hakim)

Pada Kemudian hari, Umar menjadi orang yang benar-benar mengaplikasikan sabda Beliau saw ini, umar berkata “Orang yang memperkerjakan seseorang hanya dengan alasan kekeluargaan atau kekerabatan, dan tidak ada alasan selain itu, maka dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul Nya dan kaum Mukminin

Dalam konteks kekinian, suara yang diberikan pemilih saat pemilu merupakan salah satu bentuk kesaksian; kesaksian bahwa ada seseorang yang lebih layak untuk menduduki posisi tertentu dalam kursi pemerintahan, sehingga siapapun yang mendapat suara terbanyak dialah yang pantas menjadi bagian dari pemerintah. Sayangnya, tidak selamanya suara mayoritas dari hasil pemilu menunjukan kepada “Kesaksian sebenarnya”; bahwa orang yang terpilih merupakan orang yang benar-benar layak memimpin, kenapa? Karena suara mungkin dibeli! Pemilih mungkin disogok! Belum lagi yang golput.

Seratus alim ulama Mesir[1] memfatwakan bahwa menjual suara haram dan golput merupakan salah bentuk khianat terhadap amanah! Itu karena seseorang tidak diperbolehkan bersaksi bertentangan dengan hal sebenarnya dan apa yang ia yakini bahwa itu benar, karena saksinya itu akan berpengaruh terhadap suara terbanyak, dan pada saat yang sama boleh jadi ia telah termasuk dalam orang yang memekerjakan yang tidak layak seperti yang telah disinggung dalam sabda Nabi saw di atas.

Pemilih yang mengambil uang suap sama dengan telah menyalahi kebenaran dan meneguhkan eksistensi kebatilan, lebih jauh lagi, boleh jadi sabda nabi berlaku kepadanya bahwa “Allah melaknat penyuap (ar-raasyi) dan yang disuap (al-murtasyi)”. Wajib baginya menginfakan uang tersebut untuk kepentingan umum, dan memilih yang benar-benar menurutnya layak, bukan karena disuap. Jika si pemilih sendiri kondisinya kekurangan (fakir), boleh memanfaatkan uang itu untuk kepentingannya dengan dibarengi taubat dan tekad untuk tidak mengulainya.

Apabila ia telah berjanji atau bersumpah kepada si penyuap untuk memilih namun menarik diri untuk tidak memilih, maka baginya keharusan membayar kafarat (menebus sumpah). Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu dia melihat sesuatu yang lebih baik dari objek sumpahnya itu, hendaklah ia melakukan yang terbaik dan membayar kafarat sumpahnya.” (HR. Muslim)

Cara menebus sumpahnya dengan memberi makan 10 orang miskin, jika tidak sanggup, dibayar dengan cara shaum 3 hari. Adapun mereka yang dipaksa bersumpah untuk memilih seseorang yang menurutnya tidak layak dipilih, maka sumpahnya tidak sah. Imam Malik berkata “Tidak sah dan tidak berlaku sumpahnya orang yang dipaksa”.

Adapun mereka yang cenderung kepada golput disebabkan karena ketidakpuasan dan ketidak tertarikan akan kredibilitas calon pemimpin yang ada, maka setiap pemilih tetap diminta untuk memenuhi kesaksiannya, dan merupakan keharusan seorang saksi untuk tidak menolak (enggan) ketika dimintai kesaksian. Dia masih bisa bertanya mengenai calon pemimpin dan beristikharah. Adapun mereka yang golput hanya karena enggan tanpa alasan, kemungkinannya dua, orang bersangkutan sudah tahu bahwa ada diantara calon yang layak, pada kondisi seperti ini orang tersebut sama saja dengan menyembunyikan kesaksiannya. Kemungkinan kedua, orang bersangkutan tidak tahu, jelas tidak ada masalah.

Demikianlah pendapat para ulama dan istidlal (penarikan dalil) mereka dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang urgensi memilih pemimpin serta seluk beluknya yang saya rangkum dalam artikel singkat ini. Wallahualam.

Satu orang pemilih yang bodoh saja dalam sistem demokrasi dapat membahayakan keamanan negara seluruhnya”. (John F. Kennedy)
_____________________________________________
Catatan Kaki: [1]
Beberapa diantaranya:

  1. DR. Muhammad Mukhtar Mahdi (Dosen Univ. Al-Azhar dan Ketua jam’iyah syar’iyyah)
  2. DR. Abdus Satar Fathullah Sa’id (Dosen Tafsir Univ. Al-Azhar)
  3. DR. Muhammad Abdul Maqshud (Dai salafiy)
  4. DR. Yasir Burhamiy (Wakil Ketua Dakwah Salafiyyah)
  5. DR. Abdul Hay Al Farwamiy (Dosen Univ. Al-Azhar dan Ummul Qura)
  6. DR. Thal’at ‘Afifi (Mantan Dekan Fakultas Dakwah Islamiyah Univ. Al Azhar)

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment