Lebih Baik Banyak Amal Dari Pada Banyak Ilmu Tapi Tak beramal; Benarkah?

Sebuah Pelajaran Untuk Dai


Ilmu dan AmalApapun ilmu yang kita pelajari selalu ada tuntutan amalnya, begitu pula amal yang kita lakukan selalu ada tuntutan landasannya, sebab ilmu tanpa amal kurang, sama kurangnya dengan amal tanpa ilmu, bahkan kurang ilmu dalam beramal kadang malah membuat pelakunya tersesat dan atau menyesatkan. Karena itulah pembicaraan mengenai pentingnya ilmu dan amal serta hubungan keduanya dirasa urgen.

Untuk menjelaskan apa yang penting dan bagaimana hubungan antara amal dan ilmu maka pembicaraan tentang keduanya perlu dibagi menjadi dua tinjauan:

1. Ilmu dan amal berdasarkan urutan dan urgensi keduanya
2. Ilmu dan amal berdasarkan hubungan keduanya

Jika pembicaraan tentang ilmu (terutama ilmu syar'i) dan amal adalah dalam tinjauan urutan, maka ilmu urutan pertama kemudian amal. Adanya keseakanan amal itu lebih penting dari ilmu atau sebaliknya disebabkan oleh kenyataan pahit bahwa ada beberapa orang yang tenggelam dalam asyiknya menuntut ilmu sehingga lupa beramal atau menangguhkannya hingga jenjang pendidikan tertentu tercapai. Keseakanan lainnya disebabkan oleh keberadaan mereka yang semangat beramal (dalam konteks ini berdakwah) dengan mengenyampingkan ilmu. Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang memicu terlontarnya pernyataan “Percuma menuntut ilmu banyak-banyak kalau tidak ada amalnya”, pernyataan lainnya muncul sebagai balasan sekaligus bentuk rasa kecurigaan “Beramal banyak tapi tanpa ilmu, jangan-jangan malah menyesatkan?”. Baik ilmu dan amal kedua-duanya sama-sama penting, keberadaan ilmu pada urutan pertama tidak sama sekali menyanggah pentingnya amal.

Amal penting karena dalam Al-Quran banyak ayat yang menegaskan bahwa seseorang hanya diberi ganjaran oleh Allah ta’ala dari apa yang dia kerjakan , bukan dari apa yang dia ketahui “Jazaa an bima kaanu ya’malun“, ilmu juga penting karena seseorang tidak dapat mengetahui amal apa yang baik baginya kecuali dengan ilmu, itulah kenapa terdapat banyak ayat dengan redaksi seperti “Lau kaanu ya’lamun”.

Adapun jika kita berbicara tentang ilmu dan amal dalam tinjauan hubungan antara keduanya seperti apa, maka kan kita dapati bahwa keduanya seperti komputer dan hardisk atau seperti rumah dan kamar tidur. Jika seseorang berbicara tentang “hardisk” maka sesuatu yang langsung terlintas dalam benaknya adalah komputer. Makna ini akan kita temui jika kita renungi dan tadabburi benar-benar ayat pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw; ayat yang sering diklaim sebagai landasan menuntut ilmu pada saat yang sama merupakan landasan untuk beramal. Allah berfirman:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-Alaq)

Allah memerintahkan kita agar memulakan segala pekerjaan (amal) dengan menyebut namanya termasuk membaca, dengan demikian membaca merupakan salah satu bentuk amal (kerja), dan pada saat yang sama membaca juga merupakan salah satu sarana untuk menuntut ilmu. Karena itulah mengapa Allah memilih redaksi “Bacalah” ketimbang “Tuntutlah ilmu”, karena membaca lebih umum dari menuntut ilmu, melihat realitas bahwa ada yang membaca untuk sekedar mengetahui informasi sederhana seperti mengetahui daftar harga barang atau berita dan lain lain. Beginilah seharusnya cara kita memahami hubungan ilmu dan amal, yakni bahwa keduanya merupakan kesatuan yang utuh dan terkait satu sama lain, yang satu dicakup oleh yang lain, dimana ketika hilang yang lain maka yang satu tidak utuh atau sempurna, dimana ketika yang satu disebut, yang lain langsung terlintas dalam benak. Karena itu, bila kita datang ke satu majlis ilmu jangan hanya bertanya “Materi apa yang akan saya dapat”, tapi juga tanya diri kita “Mampu kah saya mengamalkannya?”.

Dai Dan Kurangnya Ilmu

Para ulama bersepakat bahwa semua orang islam wajib berdakwah dalam artian menyeru manusia pada kebaikan. Dengan demikian seorang muslim adalah dai apapun profesinya.

Aktivitas berdakwah erat kaitannya dengan ilmu agama atau ilmu syar’i. Tidak semua dai memiliki kesempatan menuntut ilmu syari lebih dalam dan lebih banyak, kondisi seperti ini terkadang membuat beberapa dai minder lantas menarik diri dengan alasan kurang ilmu.

Tentunya menarik diri dalam rangka menuntut ilmu atau memelajari lebih banyak bukanlah masalah, namun berpotensi menjadi masalah manakala “Menuntut ilmu” dipahami dengan menguasai semua ilmu syar’I, hal ini tidak mungkin, pertama karena usia manusia terbatas, kedua karena ilmu tersebut terus berkembang, ketiga karena zaman punya kebutuhannya masing-masing. Dengan demikian “Menuntut ilmu” harus dipahami lebih spesifik maknanya.

Dakwah itu seperti “Penyakit yang menyebar”, tentunya tidak semua penyakit perlu ditangani oleh dokter spesialis, jika penyakit tersebut hanya demam biasa semua orang dapat menanganinya, pun begitu pula seorang dai, dia tidak dituntut menyampaikan sesuatu yang melebihi kapasitas keilmuannya, dia cukup menyampaikan apa yang diketahuinya dan menyerahkan permasalahan khusus kepada ahlinya.

Ketidak tahuan akan permasalahan mad’u (obyek dakwah) bukanlah aib atau cela. Mengatakan “Tidak tahu” lebih baik ketimbang menjawab dengan jawaban yang kita sendiri masih ragu akan kebenaran atau ketepatannya. Imam Malik adalah seorang Imam Madzhab dan ahli fiqh terkemuka, namun walaupun demikian beliau menjawab “Tidak tahu” 16 dari 48 permasalahan, bukan karena benar-benar tidak tahu, tapi beliau terbiasa mengevaluasi ulang jawaban atas permasalahan yang orang tanyakan kepadanya. Jika itu adalah cara seorang imam besar dan ahli fiqh terkemuka, maka alasan apa yang membuat kita malu berkata “Tidak tahu” untuk permasalahan yang belum kita ketahui jawabannya?

Dai Dan Jenjang Akademis

Jenjang akademis dan pengalaman menuntut ilmu terkadang menjadi semacam sekat bagi seseorang untuk sekedar mendengar nasehat orang yang derajat keilmuannya masih di bawah, bahkan dua orang jebolan universitas yang sama kadang menghalangi salah satunya untuk mendengar nasehat kawannya, “Siapa kamu? Bahkan nilaku lebih tinggi”.

Hal di atas merupakan tantangan yang sebenarnya pernah terjadi dan dialami oleh Rasul sekaligus dai pertama di muka bumi. Allah ta’ala mengisahkan perkataan kaum Nuh alaihissalam dalam firman-Nya sebagai berikut:

“… Kami tidak melihat engkau melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau melainkan orang yang hina diantara kami yang lekas percaya, kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami menganggap kamu seorang pendusta”. (QS. Hud ayat 27)

Siap atau tidak, terkadang seperti itulah seorang dai diposisikan, hanya karena Nuh sama-sama manusia kaumnya menolak ajakan Nuh alaihissalam. Dalam konteks kekinian, hanya karena seorang dai lulusan SMA misalkan, terkadang diremehkan oleh orang yang berpendidikan tinggi sehingga perkataannya ditolak mentah-mentah dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting untuk didengar.

Jika hal di atas terjadi, sebenarnya yang dituntut dari para dai hanyalah memahami. Tentunya manusiawi jika perasaan seseorang yang lebih tinggi jenjang pendidikannya tidak mau diajarkan begitu saja oleh orang yang jenjang pendidikannya lebih rendah. Seorang dai mesti bijak dalam memilih gaya dan cara penyampaiannya, karena itulah Allah swt mengsiyaratkan tentang pentingnya variasi dalam hal ini. Allah berfirman:

Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-nahl: 125)

Dakwah tidak seharusnya hanya dipahami sebagai ceramah satu arah monoton dengan muatan yang terlalu normatif, terkadang dakwah itu hanya butuh satu atau beberapa tindakan yang membuat seorang mad’u (obyek dakwah) seolah menyaksikan kehidupan Nabi Muhammad saw di depan matanya. Hal tersebut tak dapat seorang dai lakukan kecuali dengan senantiasa menghadirkan sosok Nabi Muhammad saw dalam setiap jenak kehidupannya, membiasakan bertanya kepada dirinya sendiri “Apa yang Rasul saw lakukan jika seandainya beliau berada pada kondisi saya saat ini?”, “Apa yang Rasul saw lakukan jika seandainya beliau melihat sampah tergeletak?” dst. dst. Dari sini saya ingin mengatakan bahwa dakwah efektif bukan masalah sebanyak apa kita berkata, tapi seberapa besar kualitas dan pengaruh isi dakwah yang kita sampaikan. Pemilihan gaya dan cara penyampaian yang tepat merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan pengaruh isi dakwah seorang dai.

Semangat Dakwah Tapi Kurang Ilmu

Semangat dakwah perlu diimbangi dengan menuntut ilmu dan memahaminya dengan benar, baik itu dengan membaca buku, menghadiri majlis taklim atau sarana lainnya. Semangat berlebih dalam berdakwah dengan mengenyampingkan ilmu beresiko salah memahami atau salah mengambil sikap dalam melihat satu persoalan. Permasalahan yang sejatinya bukan soal “Sesat atau kafir” menjadi masalah serius yang berpotensi menumpahkan darah sesama muslim. Ini semua disebabkan oleh tingginya semangat dan kurangnya ilmu. Semoga Allah swt melindungi kita dari dangkalnya pemahaman tentang Islam dan menjadikan ilmu kita bermanfaat bagi semesta alam.

Wallahu’alam bis shawab

Comments
1 Comments

1 comments: