Atheis Dalam Kerugian
Hidup
adalah pilihan, termasuk apakah kita memilih menjadi orang ceroboh atau
berhati-hati. Atheis memilih jalan pertama, padahal KEBERADAAN Tuhan,
surga, neraka dan hal-hal semacamnya mempunyai KEMUNGKINAN YANG SAMA
antara keberadaannya dan ketiadaannya. TIDAK BISA DIBUKTIKAN bukan
berarti TIDAK ADA, apalagi jika obyek yang ingin dibuktikan tidak
terlihat. BAIK ATHEIS maupun THEIS sama-sama belum pernah melihat Tuhan,
neraka, surga dll, karena itu siapa pun tidak bisa membuktikannya.
Keberadaan semacam ini BARU KABAR. YANG MENARIK adalah, walaupun baru
kabar, theis memercayainya; hal ini didasari oleh sikap baik sangka, tak
sok tau, dan kehati-hatian mereka. Sebaliknya, mentang-mentang "BARU
KABAR", atheis mendustakan Tuhan dan akherat, dan ini didasari oleh
sikap ceroboh, buruk sangka, congkak dan idealis keliru mereka.
Pertanyannya, manakah yang beruntung jika Tuhan dan hari penghakiman itu
benar-benar ada? HIDUP ADALAH PILIHAN, dan SETIAP PILIHAN ada
konsekuensinya. Menjadi atheis berarti SIAP untuk TIDAK MASUK surga,
JIKA ternyata surga itu ada.
Ilustrasi:
Kamu
harus pulang ke rumah untuk mengambil barang penting yang tertinggal,
namun seorang tetangga yang satu-satunya saksi mengabarkan kepadamu
bahwa seekor harimau baru saja masuk ke dalam rumahmu. Tidak diketahui
SECARA PASTI apakah harimau itu masih ada di dalam atau tidak. Tentu,
jika kamu adalah orang hati-hati dan mawas diri, tidak akan masuk begitu
saja, setiap gerak-gerik yang kamu lakukan akan diperhitungkan, sebab
boleh jadi harimau itu benar adanya. Berbeda jika kamu adalah seorang
yang ceroboh, mentang-mentang BARU KABAR, apalagi SAKSINYA hanya satu,
kamu masuk begitu saja tanpa hiraukan peringatan sang tetangga.
Maka, sikap yang menguntungkan adalah yang pertama, jika ternyata harimau itu benar keberadaannya.
Logika
sederhana semacam ini sudah RASULULLAH MUHAMMAD saw sampaikan 14 abad
yang lalu, tentu dengan redaksi dan perumpamaan berbeda, disesuaikan
dengan konteks zamannya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya
perumpamaanku dan ajaran yang dengannya Allah mengutusku adalah
bagaikan seseorang yang mendatangi kaumnya seraya berkata; ‘Wahai
kaumku, sungguh aku telah melihat pasukan musuh, dengan mata kepalaku
sendiri, datang untuk menyerbumu dan aku benar-benar pemberi peringatan
yang tulus untuk keselamatan dirimu.’ Maka sebagian kaumnya ada yang
patuh dan taat, hingga akhirnya mereka secara perlahan-lahan berangkat
pergi dari kampung tersebut pada malam hari untuk menghindari serbuan
pasukan musuh. Namun, ada pula sebagian kaumnya yang mendustakan orang
yang memberi peringatan dan mereka tetap bertahan serta menetap di
kampung itu sampai pagi hari. Tapi sayangnya, pasukan musuh menyerbu dan
merusak kampung mereka di pagi hari. Itulah perumpamaan orang yang
mematuhi dan mengikuti ajaran yang aku bawa, serta perumpamaan orang
yang durhaka dan mendustakan kebenaran yang aku sampaikan.” (HR. Muslim)
Obyek
bahasan para atheis sebenarnya adalah "apa yang bisa dilihat", artinya
apa yang tidak bisa dilihat bukanlah obyek bahasan mereka, walaupun
kerap kali mereka mengelak dengan berkata "Bukan yang tidak bisa
dilihat, tapi yang tidak bisa dibuktikan!". Padahal "tidak bisa
dibuktikan" dalam konteks pembicaraan tentang KEBERADAAN TUHAN merupakan
konsekuesi logis dari "tidak bisa dilihat", sebab seandainya TUHAN BISA
DILIHAT, tentu tak akan muncul pernyataan "TUHAN TAK ADA", pun begitu
pula jika konteksnya alam semesta, penciptannya "tidak pernah disaksikan
oleh seorang pun", ini artinya tak ada satu pun manusia yang dapat
memastikan "Apakah alam semesta terjadi dengan sendirinya, atau
diciptakan". Teori BIG BANG tidak membuktikan apapun, selain kronologis
terjadinya alam semesta. Perihal apakah BIG BANG terjadi begitu saja
atau ada Yang merancangnya adalah permasalahan yang lagi-lagi tak dapat
DIPASTIKAN, namun amat disayangkan, para atheis yang mengklaim diri
mereka sebagai "ORANG-ORANG BIJAK DALAM BERFIKIR" dengan enteng dan
sedikit memaksakan mengatakan bahwa BIG BANG adalah awal, tak ada awal
lagi sebelumnya.
Mereka
sebenarnya adalah orang-orang yang berkecimpung terhadap semua hal yang
sifatnya materil, bisa diindera, ilmiah, terukur, dan masuk akal.
Mereka tidak mau tau tentang semua hal yang diluar itu. Pertanyaannya
adalah, kenapa para atheis bisa mengatakan "TUHAN TIDAK ADA", "ALAM
SEMESTA ADA DENGAN SENDIRINYA"? Bukankah hal-hal semacam itu sifatnya
diluar jangkauan indera? dengan kenyataan tadi; bahwa tak ada seorang
pun yang benar-benar pernah melihat TUHAN dan menyaksikan proses
terjadinya alam semesta. Dari sini terlihat bahwa mereka tidak
konsisten. Katanya tidak mau tau dengan semua hal diluar jangkauan
indera, nyatanya ikut campur, sampai berani mengatakan "TUHAN TIDAK
ADA", "ALAM SEMESTA TERJADI DENGAN SENDIRINYA. Bukan kah sebaiknya
mereka diam, karena dua hal itu jelas-jelas diluar obyek bahasan mereka.
Karena itu dalam al-quran Allah berfirman, menyindir ketidak
konsistenan mereka ini:
"Aku
tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi
dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku
mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong." (Al-Kahfi:
51)
Dalam
Al-Quran, orang-orang semacam atheis disebut-sebut sebagai orang sesat.
Kenapa dikatakan sesat? Kalau saya jabarkan dengan sebuah perumpamaan,
mereka ibarat seseorang yang bertanya "Di mana rumah si Polan?", dijawab
"Lurus terus saja, jangan belok!".
Alih-alih
mengikuti anjuran, atheis malah belok, niatnya baik, ingin coba-coba,
motifnya bagus, karena idealisme, sayangnya dia salah belok, yang
ternyata belokan itu sama sekali tak akan mengantarkan pada tujuan,
malah membuatnya tersesat.
Seperti
itulah perumpamaan atheis, kerap kali mereka menggaung-gaungkan kalau
kita harus mendobrak dogma agama, mengesampingkan doktrin-doktrin agama.
Agama dan Tuhan, menurut mereka, terlalu mainstream, terlalu umum.
Agama ibarat benda pusaka yang diwariskan turun-temurun yang
asal-usulnya adalah manusia sendiri; spesifiknya "manusia lemah" yang
butuh akan sosok super power yang bersembunyi di kolong langit sana
(Tuhan). Begitu kata mereka.
Disitu
lah kesesatan mereka, sampai bisa berfikir jauh kalau yang namanya
dogma tidak benar, kalau sesuatu yang sifatnya terlalu umum, pasti
keliru, kalau yang namanya doktrin 100% otomatis salah. Darimana
kesimpulan ini datang? Hal ini tidak bisa dijelaskan kecuali dengan
mengatakan bahwa mereka sebenarnya adalah "ORANG-ORANG PENASARAN' yang
ingin coba-coba, membuat inovasi baru, atau menunjukan dirinya sebagai
orang tidak biasa. Karena itu, tepat kiranya kalau ATHEIS dikatakan
sebagai fenomena. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, salah satu
definisi fenomena adalah "Sesuatu yang tidak biasa". Tidak biasa berarti
luar biasa, luar biasa berarti tidak umum.
Orang-orang
atheis adalah kaum yang tidak umum, mereka adalah PENGECUALIAN,
terselip diantara mayoritas dan merasa bangga, padahal minoritas tidak
selalu tentang “orang-orang terpilih”, minoritas juga bisa berarti
“mereka yang tersesat”, seperti orang gila, mereka minoritas, tapi tak
seorang pun mengatakan kalau orang gila lebih baik dari orang waras,
lebih jauh lagi, tak seorang pun meyakini “sejatinya manusia adalah
gila, adapun waras adalah fenomena”.
Tak
ada manusia yang memulakan hidupnya sebagai orang kafir. Kekafiran
adalah fenomena, iman kepada Allah yang Esa, itulah sejatinya keyakinan
manusia. Seperti gelap dan terang, kenapa gelap ada? karena tak ada
cahaya. Gelap adalah fenomena, dan terang, itulah sejatinya bumi
manusia. Gelap tak dapat dipelajari, sedangkan cahaya ada ilmunya.
Seperti
itu pula iman kepada Allah dan kafir terhadap-Nya, untuk menjadi orang
beriman kita bisa temukan ilmunya, tapi untuk menjadi kafir (atheis),
tak perlu memelajarinya, karena kekafiran akan terjadi ketika
sebab-sebab iman tiada. Melenceng dari "jalan yang lurus" merupakan
salah satu terjadinya kekufuran.
Atheis jelas-jelas melenceng dari cara berfikir yang benar tentang TUHAN dan ALAM SEMESTA, tentang PENCIPTA (creator) dan YANG DICIPTAKAN (creature).
Kerap kali mereka menggugat "Kalau alam semesta diciptakan TUHAN, lalu
siapa yang menciptakan TUHAN?" Pertanyaan mereka mirip seperti
pertanyaan "Kalau sebelum DUA itu SATU, lalu kenapa SATU itu DUA?"
Pertanyaan ini jelas keliru, artinya tidak mungkin ada jawabannya, bukan
tidak bisa dijawab. Pertanyaan tersebut diakui benar jika ada TUHAN
yang diciptakan, jika ada PENCIPTA yang sekaligus CIPTAAN. Kenyatannya
Pencipta bukanlah yang diciptakan, sama seperti satu dan dua, kalau satu
itu dua, bukan satu namanya. Kalau pencipta itu diciptakan, bukan
pencipta namanya.
Atheis
mengatakan bahwa BIG BANG adalah awal dari alam semesta, tidak ada awal
lagi selainnya. Alam semesta terjadi dengan sendirinya, atau ada secara
alami, atau secara kebetulan. Hal yang mengundang banyak tanya, "SIAPA
atau APAKAH SI ALAMI, SI KEBETULAN dan si DENGAN SENDIRINYA ini
sebenarnya?" Jelas mereka bukan sebuah wujud, mereka adalah sosok yang
"tidak ada", jadi tentu mereka tidak melihat, tidak mendengar, dan punya
kuasa. Atheis telah sukses membuat kesimpulan bahwa yang "TIDAK ADA"
telah menjadikan yang tiada
menjadi "ADA"! Atheis juga secara tidak langsung telah MEYAKINI dan
MENGIMANI sosok yang tak mendengar, melihat dan tak punya kuasa sebagai
sebab dari keberadaan alam semesta.
Pendapat
kedua, “SI ALAMI INI” adalah “Benda itu sendiri”, bumi adalah bumi
sendiri, langit adalah langit sendiri, alam semesta adalah alam semesta
itu sendiri. Lalu bagaimana ketika alam semesta belum terjadi? apakah
itu berarti Atheis ingin mengatakan bahwa “ALAM SEMESTA” menciptakan
“ALAM SEMESTA”, alam semesta belum ada dan “ketiadaan alam semesta” ini
telah menciptakan alam semesta. Sungguh membingungkan.
Setidaknya
itulah kepercayaan mereka; yakin sepenuhnya kepada sosok yang jangankan
mendengar, wujudnya sendiri “Tidak jelas” atau "Tidak ada”. Berbeda
dengan orang-orang beriman, mereka yakin sepenuhnya terhadap Tuhan,
terhadap Allah, yang wujud (ada), yang sifatnya serba Maha; Maha Esa,
Maha Kuasa, Maha mendengar dst. Kesimpulannya pun akan berbeda, bahwa
SEGALA SESUATU YANG ADA, pasti disebabkan oleh DIA YANG MEMBUATNYA ADA.
Dia adalah sang PENCIPTA.
Dengan
demikian Alam semesta merupakan bukti keberadaan-Nya, dan tentu Atheis
tidak mudah percaya begitu saja akan pernyataan ini. Siapa sebenarnya
mereka? ILMUWAN kah? "ilmuwan
terbesar yang pernah ada", semua mempelajari ilmu pengetahuan dengan
tidak hanya meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga meyakini bahwa
keseluruhan alam semesta adalah hasil ciptaan-Nya; Albert Einstein, yang
dianggap sebagai orang paling jenius di zaman kita, adalah seorang
ilmuwan yang mempercayai Tuhan dan menyatakan, "Saya tidak bisa
membayangkan ada ilmuwan sejati tanpa keimanan mendalam seperti itu.
Ibaratnya: ilmu pengetahuan tanpa agama akan pincang."
"Salah
seorang pendiri fisika modern, dokter asal Jerman, Max Planck
mengatakan bahwa setiap orang, yang mempelajari ilmu pengetahuan dengan
sungguh-sungguh, akan membaca pada gerbang istana ilmu pengetahuan
sebuah kata: "Berimanlah". Keimanan adalah atribut penting seorang
ilmuwan"
"Pada
umumnya mereka yang memelopori ilmu pengetahuan modern mempercayai
keberadaan-Nya. Seraya mempelajari ilmu pengetahuan, mereka berusaha
menyingkap rahasia jagat raya yang telah diciptakan Tuhan dan mengungkap
hukum-hukum dan detail-detail dalam ciptaan-Nya. Ahli Astronomi seperti
Leonardo da Vinci, Copernicus, Keppler dan Galileo; bapak paleontologi,
Cuvier; perintis botani dan zoologi, Linnaeus; dan Isaac Newton, yang
dijuluki sebagai "ilmuwan terbesar yang pernah ada", semua mempelajari
ilmu pengetahuan dengan tidak hanya meyakini keberadaan Tuhan, tetapi
juga bahwa keseluruhan alam semesta adalah hasil ciptaan-Nya."
Barangkali Atheis akan tetap ngotot dengan pernyataan “Adak kok ilmuwan yang atheis”, maka saya mengutip kata-kata seorang ilmuwan lagi. John Lennox berkata “Nonsense remain nonsenses, even when spoken by famous scientist”
(omong kosong tetap lah omong kosong, bahkan jika itu diucapkan oleh
ilmuwan terkenal). Barangkali sudah saatnya saya mengajak para atheis
dewasa; agar tidak melihat siapa yang bicara, tapi apa isi
pembicaraannya, jadi jangan katakan “Ini ilmuwan loh yang ngomong!”.
Saya sangat yakin bahwa para Ilmuwan atheis lagi-lagi adalah
pengecualian dari ilmuwan sebenarnya. Mereka adalah segelintir fenomena,
yang ilmunya boleh jadi benar, tapi tidak menyampaikan pada
“kebenaran”.
Jika
para atheis bukan ilmuwan, apakah mungkin mereka Filosof? sepertinya
juga bukan. Socartes adalah seorang filosof besar dan ia pernah berkata
bahwa sesuatu yang nampak fungsi atau kegunaan dari sekedar melihat
bentuknya, menunjukan kalau sesuatu itu sengaja diciptakan, bukan
kebetulan atau tercipta dengan sendirinya. Coba lah lihat pisau! Apakah
nampak kegunaan dan fungsinya? Pembuatnya tahu kalau manusia butuh alat
untuk mengiris atau memotong, karena itu lah akhirnya pisau dibuat
dengan bentuk yang runcing dan tipis, sebuah bentuk yang sempurna untuk
mengiris, bukan untuk menancapkan paku (itu fungsi palu).
Pada
manusia misalkan, jari jemari pada manusia yang selalu lima, menunjukan
bahwa mereka diciptakan, karena si alami dan kebetulan tidak mungkin
membuat cetakan yang sama. Kenapa mobil Avanza misalkan, bentuknya sama?
karena ada pabriknya. Jika mobil-mobil tersebut terjadi akibat
besi-besi, karet, alumunium dan material lain yang tiba-tiba saling
menumpuk sendiri, tentu rupa bentuknya akan berbeda-beda. Manusia dengan
bentuk rupanya saat ini merupakan isyarat bahwa ia ada karena
diciptakan, bukan ada dengan sendirinya, sangat ganjil tentunya jika si
"DENGAN SENDIRINYA" memunculkan sesuatu yang rumit dan detail. Bagi
atheis mungkin hal ini tidak ganjil, setidaknya inilah perbedaan antara
atheis dan kebanyakan manusia normal pada umumnya, atau lebih tepat jika
dikatakan bahwa mereka adalah orang yang tidak konsisten, untuk satu
hal mereka mengatakan kalau apa yang “ada”, pasti ada penyebabnya, kali
lain mereka berkata “alam semesta ini tak ada penyebabnya”, melainkan
terjadi secara spontan, dengan sendirinya.
Untuk
meyakini bahwa TUHAN itu ada, kita cukup melihat apa yang telah Dia
ciptakan. Langit dan bumi, serta jagad raya ini beserta isinya yang
telah Allah ciptakan, menunjukan bahwa Dia ada dan dia Maha Kuasa.
Setelah kita tahu akan keberadaan dan ke Maha Kuasaan-Nya, maka bentuk
dan hal konkret lain terkait dengan diri-Nya bukan lagi hal yang
penting, karena hanya dengan melihat kesempurnaan dan keseragaman bentuk
ciptaan-Nya, kita langsung tau sedahsyat apa kekuasaan-Nya.
Seperti
ketika kita melihat sebuah bungkus permen di jalan, hal tersebut
menunjukan bahwa pabrik produksi permen itu ada, dan tahu akan
keberadaannya sudah cukup, sehingga seperti apa bentuk pabrik dan luas
areanya bukan lagi menjadi hal penting untuk diketahui, karena hanya
dengan melihat kualitas dan mereknya kita langsung tahu, bergengsi atau
tidak pabrik permennya.
Sosok
apalagi yang bisa menciptakan pohon-pohon dengan detail bentuk dan
fungsi bagian-bagiannya yang luar biasa? Apakah "Tidak ada" bisa membuat
ada itu semua? Belum lagi yang lainnya! langit di atas kita dengan
lapisan-lapisannya! di bawah kita, bahkan pada diri kita, ini semua
memerlihatkan kepada kita akan kualitas. Siapakah yang bisa membuat
benda-benda materil dengan kualitas sedahsyat ini? Oleh karena itu cara
kerja IMAN tidaklah muluk-muluk seperti cara pikirnya atheis. Menurut
IMAN, tanda akan keberadaan TUHAN adalah seperti apa yang Allah
firmankan dalam Al-Quran:
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. Adz-Dzariyat: 21)
Jika
atheis bukan ilmuwan, bukan filosof, apakah berarti mereka Orang
tersesat? mungkin inilah yang pas, kenapa? Karena mereka memilih jalan
sendiri untuk sampai pada tujuan. Kesalahan bukan terletak pada sikap
memilihnya, tapi pada fakta bahwa jalan yang mereka lalui ternyata
salah, konsekuensinya, mereka pun tersesat. Orang yang tersesat,
seringnya tak bisa kembali.
Dalam
Al-Quran, orang yang tersesat dari jalan lurus adalah mereka yang tak
mau memungsikan akalnya dengan baik, kenapa? Karena mereka bisu, buta
dan tuli. Dikatakan bisu, karena, jangankan meyakini, sekedar mengatakan
yang benar itu benar, dan yang salah itu salah pun gengsinya bukan
main.
Dikatakan
buta, karena mereka punya mata tapi tidak memungsikannya, dan seperti
itulah orang buta. Tidak melihat bukan berarti tidak punya mata, mereka
punya mata, tapi tidak berfungsi. Mereka buta, karena tidak menyadari
tanda keberadaan pencipta yang begitu gamblang di depan matanya.
Dikatakan
tuli, karena mereka tidak mau mendengar semua suara yang mengatakan
TUHAN itu ada sekalipun, jika adu argumen mereka kalah, karena tak punya
bukti kuat selain mengatakan pokoknya "TUHAN TIDAK ADA", pokoknya "ALAM
SEMESTA TERJADI DENGAN SENDIRINYA". Sesekali, membeberkan teori
evolusi, untuk mendukung pendirian mereka.
Karena mereka bisu, tuli dan buta, maka mereka tidak dapat berfikir dengan benar. Allah berfirman:
“Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak bisa berfikir.” (QS. Al-Baqarah: 171)
Manusia
yang tidak mau atau malas memergunakan akalnya, hati nurani dan
penglihatannya, Allah umpamakan dengan BINATANG TERNAK, bahkan lebih
sesat darinya, kenapa? karena binatang memang tidak dianugerahi dengan
itu semua. Jika manusia dianugerahi itu, kemudian tidak difungsikan,
bukankah benar apa kata Allah, bahwa manusia semacam ini lebih sesat
dari hewan. Allah berfirman:
"Mereka
mempunyai Nurani, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seumpama binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raaf: 179)
Ingat
bahwa pendengaran, penglihatan dan nurani merujuk pada fungsi, adapun
alatnya adalah dinamakan dengan telinga, penglihatan dan hati (qalb).
Sekalipun hewan punya telinga dan mata, apa yang ia lihat dan dengar
tidak akan pernah membuat mereka menjadi belajar banyak hal, diantara
mereka mungkin ada hewan cukup cerdas yang bisa atraksi berhitung, tapi
tak ada yang sampai membuat peradaban seperti peradaban umat manusia.
Inilah sebenarnya yang hendak Allah jelaskan kepada manusia-manusia
sebangsa atheis. mereka punya mata, telinga dan hati, tapi itu semua
tidak menyampaikan mereka pada keyakinan, apa bedanya kalau begitu
dengan hewan? Bahkan hewan sendiri, setidaknya menurut Al-Quran,
mengakui keberadaan Allah. Dia befirman:
"Telah
bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang
ada di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS.
As-Shaf: 1)
Prof
William baru-baru ini menemukan fakta tentang tumbuhan bahwa ia
mengeluarkan semacam suara halus yang hanya bisa dideteksi oleh alat
perekam ultrasonik. Karena penasaran, prof. mengkonversi suara tersebut
dengan alat khusus agar menjadi semacam grafik yang bisa dibaca. Sayang,
bentuk grafik tersebut tak dapat ia pahami. Maka kemudian beliau
meminta bantuan kepada kawannya yang beragama islam, dan ternyata grafik
itu tiada lain merupakan lafazh Allah.
Saya
yakin, sekalipun atheis tahu informasi ini semua, tak akan ada kata
yang ia ucapkan selain "Ceramah ya?". Karena sudah dari sejak awal
mereka memosisikan diri sebagai "ORANG PANDAI", sedangkan orang beriman
menurut mereka adalah "ORANG POLOS, BEGO, dan MUDAH PERCAYA", padahal
Iman adalah perkara besar; butuh kehati-hatian dan kecermatan dalam
mengambil keputusan untuk meyakini sesuatu, tidak bisa lekas percaya
begitu saja, asal percaya berarti mengakui kebodohan diri dan kemalasan
untuk berfikir. Begitu kata atheis.
Seandainya
mereka (para atheis) bisa lebih moderat dan bijak dalam berfikir,
tentunya yang mereka katakan adalah sebaliknya “Orang-orang beriman
adalah orang-orang cerdas, mereka bisa berfikir cepat, karena itulah
mereka cepat pula dalam mengambil keputusan untuk beriman”, kenapa?
Karena Kebenaran itu seterang sinar mentari dan sejelas rembulan.
Perlukah bukti akan terangnya sinar mentari? Perlukah bukti jelasnya
rembulan? Atau seperti malam dan siang, perlu kah bukti kalau siang itu
terang, dan malam itu gelap?
Malam dan siang mungkin tidak perlu bukti, karena itu aksioma[1],
tapi keberadaan Tuhan perlu bukti, balas mereka lagi-lagi. Saya hanya
bisa mengatakan bahwa sebenarnya seperti inilah iman terhadap keberadaan
Tuhan bekerja; jika keberadaan alam semesta ditolak sebagai bukti
keberadaan-Nya, naluri lah yang akan mengokohkan keberadaan-Nya. Dalam
istilah islam, kondisi seperti ini disebut sebagai fitrah, dan fitrah
lebih dari aksioma. Seringnya, fitrah bekerja ketika manusia berada
dalam kondisi tak punya pilihan lain di hadapan bahaya selain
menyerahkan kepada “sesuatu” yang mungkin menyelamatkannya, atau berada
pada semua kondisi yang tidak menguntungkannya, kegalauan hidup,
bimbang, stress, dst. Tentang hal ini, Allah berfirman:
“Dan
apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu
daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah
dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 12)
“Dialah
Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di
lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah
bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin
yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan
(apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin
bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah
dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata):
"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah
kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur. Maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi
tanpa (alasan) yang benar.” (QS. Yunus: 22-23)
Bukan
Tuhan yang butuh manusia, tapi manusia yang butuh, siapapun orangnya,
pasti butuh Tuhan, dan ini tak dapat dipungkiri. Islam menegaskan bahwa
dalam diri setiap manusia terkadung fitrah ini, semua orang punya
kecenderungan untuk mengakui adanya sesuatu yang mengatur semuanya, yang
membuat semuanya. Dan atheis mengatakan bahwa sesuatu itu bernama "SI
DENGAN SENDIRINYA".
Pada
dasarnya mereka mengakui adanya SEBAB pada sesuatu, karena ini logika
orang waras. Tak mungkin ada AKIBAT kalau TIDAK ADA SEBAB. Jika asap
adalah akibat, maka sebabnya boleh jadi rokok atau yang lainnya, yang
jelas tidak mungkin ada asap kalau tidak ada benda yang mengeluarkannya.
Mereka
percaya pada sebab, dan disitulah mereka berhenti. Lupa bahwa dibalik
sebab ada yang menciptakan sebab. Asap ada karena rokok ada misalkan,
kenapa rokok ada, karena ada yang membuatnya (manusia). Bumi berputar,
bukankah itu tanda akan keberadaan Allah? mereka akan menjawab "Bukan!
bumi berputar karena adanya rotasi!", "Lalu bagaimana rotasi bisa ada?
terjadi sendiri? Siapa yang mendesain bumi bisa berotasi?"
Tentu
mereka akan tertawa terbahak-bahak sambil berkata "Atheis hanya
membahas sesuatu dalam konteks 'ia telah tejadi' Bukan dalam konteks
"Kenapa atau bagaimana ia terjadi?". Rotasi ada, ya karena terjadi
dengan sendirinya, memang sudah ada dan terjadi, tidak bisa ditanyakan
"kenapa atau bagaimana ia terjadi?".
Tentu
kami pun tertawa sambil bertanya "Namun kenapa KENYATAANNYA yang 'telah
terjadi itu' bisa terjadi?". Selama mereka konsisten dengan prinsip
sebab akibat, tentunya terkesan MENGGAMPANG-GAMPANGKAN dan MALAS
BERFIKIR jika mereka hanya berkata "yang terjadi itu, terjadi dengan
sendirinya".
Seperti
itulah yang terjadi dengan teori Evolusi. Evolusi hanya memberi tahu
kita apa yang terjadi setelah kita hidup, adapun permasalahan darimana
sesuatu yang hidup itu berasal? Darwin tak pernah membahas hal tersebut.
Hasil
perenungan darwin tentang alam semesta ini kemudian mendorongnya untuk
membuat pernyataan yang terkenalnya, "Natura non facit saltum" (alam
tidak melakukan loncatan). Menurut dia, Semua hal yang ada di dunia ini,
dengan bentuknya yang sekarang, merupakan hasil perkembangan secara
bertahap dan memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Itulah arti dari
evolusi.
Oleh karena itu, Apabila kita bertanya bagaimana makhluk hidup muncul di muka Bumi, maka terdapat dua jawaban yang berbeda:
“Pertama,
makhluk hidup muncul melalui proses evolusi. Menurut pernyataan teori
evolusi, kehidupan dimulai dengan sel yang pertama (organisme tunggal).
Sel pertama ini muncul karena faktor kebetulan, atau karena faktor
"pembentukan mandiri", yang secara hipotetis disebut-sebut sebagai suatu
hukum alam. Berdasarkan faktor kebetulan dan hukum alam ini pula, sel
hidup ini lalu berkembang dan berevolusi, dan dengan mengambil
bentuk-bentuk yang berbeda, menghasilkan berjuta-juta spesies makhluk
hidup di Bumi.
Jawaban kedua adalah Penciptaan.
Semua makhluk hidup ada karena diciptakan oleh Pencipta yang cerdas.
Ketika kehidupan beserta berjuta-juta bentuknya - yang tak mungkin
muncul secara kebetulan itu - pertama kali diciptakan, makhluk hidup
telah memiliki rancangan yang lengkap, sempurna dan unggul, sama seperti
yang dimilikinya sekarang. Ini dibuktikan secara jelas dan nyata, yang
mana makhluk hidup paling sederhana sekali pun telah memiliki struktur
dan sistem kompleks, yang mustahil tercipta sebagai akibat dari faktor
kebetulan dan kondisi alam.
Di
luar kedua alternatif ini, tidak ada pernyataan atau hipotesa lainnya
tentang asal muasal makhluk hidup. Menurut peraturan logika, jika satu
jawaban untuk sebuah pertanyaan - yang hanya memiliki dua alternatif
jawaban - terbukti salah, jawaban yang kedua pasti benar. Ini merupakan
salah satu kaidah paling mendasar dalam logika, disebut sebagai
inferensi disjunktif (modus tollendo ponens).
Dengan
kata lain, jika terbukti bahwa makhluk hidup di Bumi tidak berevolusi
melalui kebetulan, seperti pernyataan para evolusionis, jelaslah bahwa
makhluk hidup adalah karya sang Pencipta. Para ilmuwan pendukung teori
evolusi sepakat akan tidak adanya alternatif ketiga. Salah satunya,
Douglas Futuyma, menyatakan:
‘Organisme
hanya mungkin muncul di muka bumi dalam wujud telah terbentuk sempurna,
atau tidak. Jika tidak, berarti organisme telah terbentuk dari spesies
pendahulunya melalui suatu proses perubahan. Jika organisme muncul dalam
wujud telah terbentuk sempurna, pastilah organisme itu diciptakan oleh
suatu kecerdasan mahakuasa.’[2]
Catatan
fosil memberikan jawaban kepada Futuyma yang evolusionis itu.
Paleontologi menunjukkan bahwa semua jenis makhluk hidup muncul di Bumi
pada saat berlainan, sekaligus dalam sekejap dan dalam wujud yang telah
sempurna terbentuk.
Semua
hasil penggalian dan penelitian selama seratus tahun atau lebih,
menunjukkan bahwa -bertentangan dengan pendapat kaum evolusionis-
makhluk hidup muncul secara tiba-tiba dalam wujud sempurna tanpa cacat,
atau dengan kata lain makhluk hidup telah "diciptakan". Bakteri,
protozoa, cacing, moluska, dan makhluk laut tak bertulang belakang
lainnya, artropoda, ikan, amfibi, reptil, unggas, dan mamalia, semua
muncul seketika, lengkap dengan sistem dan organ yang kompleks. Tidak
ada fosil yang dapat disebut sebagai makhluk transisi atau tahap
perantara. Paleontologi menampilkan pesan yang sama dengan cabang ilmu
lainnya: Makhluk hidup tidak berevolusi, tetapi diciptakan. Sebagai
hasilnya, pada saat kaum evolusionis mencoba membuktikan teori mereka
yang tidak berdasarkan fakta itu, mereka justru membuktikan kebenaran
penciptaan dengan tangan mereka sendiri.
Robert
Carroll, seorang ahli paleontologi vertebrata dan seorang evolusionis
yang gigih, mengakui bahwa keinginan kaum Darwinis tidak dipenuhi oleh
penemuan di bidang fosil:
‘Meskipun,
selama lebih dari seratus tahun sejak meninggalnya Darwin telah
dilangsungkan upaya pengumpulan yang intensif, catatan fosil belum juga
menghasilkan gambaran mata rantai transisi yang tak terhingga jumlahnya,
seperti yang ia harapkan'.[3]
Salah
satu hewan tak bertulang belakang kompleks yang tiba-tiba muncul di
Zaman Kambrium sekitar 550 juta tahun yang silam adalah fosil
trilobita di samping. Salah satu ciri trilobita yang membingungkan kaum
evolusionis adalah struktur mata majemuknya yang kompleks. Pada mata
trilobita yang amat kompleks ini, terdapat sistem lensa majemuk. Sistem
ini persis sama dengan sistem pada hewan di zaman sekarang seperti
laba-laba, lebah dan lalat. Fakta bahwa sekitar 500 juta tahun silam,
struktur mata yang begitu rumit muncul secara tiba-tiba, sudah cukup
untuk mengantarkan teori evolusioner (yang berdasarkan faktor
kebetulan) masuk ke dalam keranjang sampah.
|
Melanjutkan
pembicaraan tentang fitrah atau naluri beragama pada diri manusia, para
atheis mengatakan bahwa sekalipun mereka tidak percaya tuhan, mereka
tetaplah makhluk bermoral. Mereka ingin menjadi orang baik, mereka tidak
melakukan zina, perbuatan jahat, buruk dan seterusnya. Inilah makna
agama yang saya maksud. Pada dasarnya secara naluri, mereka tetap
condong pada kehidupan seperti kehidupan orang beragama.
Sebuah
gereja Atheis terbesar di London, Inggris. Para Jemaat sedang
berkumpul pada hari minggu. Mereka bernyanyi, bertepuk tangan dan
mendengar khotbah. Sekalipun tidak percaya kepada Tuhan, menurut
mereka, mendengar nyanyian, mendengar perkataan baik (ceramah) untuk
memerbaiki diri adalah perlu; salah seorang jamaat berkata “I think
that, just because you don't believe in God, doesn't mean you don't
want to hear really interesting talks, to think about improving
yourself, to sing with others and have a cup of tea with them at the
end. This is really all the best things about Church, but without the
one thing I'm uncomfortable with - which is the religion part.”[4]
|
Agama
sendiri berasal dari bahasa sansekerta, A berarti tidak, Gama berarti
kacau. Jadi agama berarti tidak kacau. Kenapa tidak kacau? Karena ada
aturan. Orang yang hidup berdasarkan aturan berarti orang yang beragama.
Tentu
atheis akan menolak kalau mereka adalah orang beragama, sebab atheis
bukan agama, melainkan cara pikir, namun mereka tidak bisa menolak bahwa
ada kecenderungan dalam diri mereka untuk berbuat baik dan bermoral.
Kenapa? Karena mereka manusia, dan semua manusia dilengkapi dengan
perangkat fitrah (kecenderungan untuk melakukan hal yang benar).
Sah
kah mereka berlaku sesuai aturan adab, moral dan etika? Tentu sah.
Sayangnya, karena cara pikir manusia berbeda, maka aturan yang muncul
pun akan berbeda. Mereka tidak punya standar tentang kebenaran dan
moral, kecuali hasil dari pemikiran masing-masing. Apa yang atheis lihat
baik, ia lakukan, padahal belum tentu pada saat yang sama atheis lain
memandang bahwa apa yang kawannya lakukan adalah baik, ini jika
standarnya akal. Jadi permasalahannya adalah, aturan yang mereka buat
untuk diri mereka sendiri tidak punya standar, selain akal mereka
masing-masing, padahal akal manusia beda-beda dalam memahami. Benar apa
kata Dostoyevsky dalam pernyataannya yang terkenal, “If God does not exist, then everything is permissible” (Jika Tuhan tidak ada, maka semuanya diperbolehkan).
Jika standar aturan itu akal, maka sejarah telah membuktikan bahwa di Iran sana Tahun
487 M, muncul sebuah ajaran yang bernama Mazdak. Ajaran ini
mempropagandakan bahwa semua manusia dilahirkan sama tanpa perbedaan
apapun juga. Oleh karena itu, manusia harus hidup secara sama dan tidak
boleh ada perbedaan. Mengingat bahwa kekayaan dan wanita membuat manusia
mengutamakan diri sendiri dan menjadi sumber perbedaan sosial, menurut
Mazdak dua hal itu merupakan persoalan terpenting yang harus
dipersamakan dan dikolektifkan.
Seruan
tersebut mendapat sambutan dan persetujuan dari kalangan pemuda, kaum
hartawan dan golongan-golongan yang hidup berfoya-foya, karena sesuai
dengan selera dan hawa nafsu mereka. Ajaran Mazdak ini beruntung juga
karena mendapat perlindungan dari istana (pemerintah). Raja Persia
ketika itu ikut andil dalam mendukung aktif, dan menyebarluaskannya.
Mengenai hal ini At-Thabari mengatakan:
“Kesempatan
tersebut dimanfaatkan oleh rakyat lapisan bawah untuk berhimpun
disekitar Mazdak dan kawan-kawannya. Mereka menjadi bertambah kuat dan
membahayakan orang banyak, karena mereka berani masuk menyerbu ke dalam
rumah orang lain dan bertindak sewenang-wenang, merampas apa yang ada di
dalam rumah dan menggagahi wanita-wanita yang dijumpainya, dalam
keadaan penghuni rumah tidak berdaya menghadapi mereka. Mereka terus
mendorong Qubads (raja Persia) supaya mendorong dan membagus-baguskan
tindakan mereka, dan mengancam akan menurunkannya dari tahta kerajaan
bila ia tak mau memenuhi tuntutan mereka. Dalam waktu singkat di Iran
banyak orang yang tak mengenal anaknya dan anak tidak mengenal siapa
ayahnya, dan banyak pula orang-orang yang tidak bisa memiliki sesuatu
untuk dapat hidup berkecukupan.”
Lebih
jauh Thabari mengatakan: “sebelum itu, Qubads sebenarnya termasuk raja
Persia yang terbaik, tapi setelah melibatkan diri dalam kerjasama dengan
Mazdak, kekacauan merajalela dan ketentraman menjadi rusak.”[5]
Karena
itulah seharusnya mereka menerima agama sepaket dengan Tuhan dan aturan
yang Dia berlakukan. Aturan tersebut termanifestasikan dalam bentuk
kitab suci dan sabda para Nabi, terlepas dari keotentikan kitab suci
bersangkutan.
Hanya
Tuhan yang berhak membuat aturan, dan Kitab suci yang ada saat ini
diklaim sebagai Firman Tuhan, berisi petunjuk hidup dan aturan-aturan.
Itu semua adalah standar yang jelas. Jika semua manusia merujuk pada
standar yang sama, tentu tidak akan terjadi kehidupan yang seenaknya.
Masalah bahwa kitab suci itu perlu penafsiran, bahasanya terkesan ambigu
dan bercabang, tentu tidak lantas dapat membuktikan bahwa kitab suci
bukan berasal dari Tuhan.
Setidaknya,
dalam kitab suci umat islam (Al-Quran), pedoman dan petunjuk di
dalamnya terurai secara gamblang dengan bahasa sederhana. Di dalamnya
Allah berfirman bahwa yang dianjurkan adalah mentadabburi, bukan
mentafsirkan. Tafsir berarti mengetahui maksud sebenarnya dari ayat-ayat
di dalam Al-Quran, adapun tadabbur adalah mengambil pelajaran dari
ayat-ayat al-quran minimal untuk diri sendiri. Karena itu untuk
menafsirkan, butuh menguasai disiplin ilmu tertentu. Adapun untuk
mentadabburi, cukup memahami arti dan konteks ayat bersangkutan.
Al-Quran
adalah kitab suci satu-satunya yang tak ada kontradisksi dengan ilmu
pengetahuan. Jadi, umat islam bukanlah umat yang dipaksa untuk
meninggalkan akal jika ia ingin beragama, pun sebaliknya, bukan orang
yang dianjurkan meninggalkan agama jika ia ingin berakal.
Adanya
wacana kontradiksi pada isi kitab suci terjadi karena dua kemungkinan,
jika tidak karena yang menyampaikan isinya keliru, pasti karena kitab
sucinya tidak otentik. Di dalam Al-Quran tidak ada kontradiksi, dan
inilah yang ayat-ayat di dalamnya tegaskan.
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
(kontradiksi) yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa: 82)
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 1)
Kerap
kali diisukan bahwa Al-Quran adalah buatan Muhammad, saya ingin
katakan, kalau isunya seperti itu, berarti sesungguhnya Muhammad adalah
seorang pemberani. Dia berani mengatakan bahwa kitab yang dikarangnya
SAMA SEKALI TIDAK ADA KESALAHAN dan TAK ADA KONTRADIKSI. Setidaknya ada
jaminan dari si penulis sendiri. Bagaimana dengan kitab suci lainnya?
Alkitab (bible) misalkan, silahkan dicari ayat dengan bunyi serupa? Adakah jaminan dari si penulis.
Ayat-ayat
Al-Quran membuat geger seantero arab dengan keindahan bahasanya yang
luar biasa. Musuh Muhammad sendiri mengakui bahwa isinya bukanlah syair
yang selama ini diisukan, bukan pula sihir. Dengan sekejap, ayat-ayat
tersebut berhasil merubah bangsa bermoral bejad. Al-Quran sendiri
menjadi bacaan yang best seller, namun Muhammad tidak
mengklaimnya sebagai karya dia. Padahal, jika itu benar karyanya, tentu
seharusnya ada kebanggaan tersendiri ketika ia mengetahui bahwa karyanya
best seller.
Al-Quran
juga menjelaskan perjuangan para Nabi yang umat kristen istilahkan
dengan Nabi-nabi perjanjian lama (Zakariah, Ayub, Yusuf, Nuh dst). Tentu
jika Muhammad adalah pengarang Al-Quran, nama yang paling banyak ia
tulis di dalamnya adalah nama sendiri. Nyatanya, para Nabi-nabi itulah
yang namanya paling banyak tercatat.
Dari
aspek penulisan dan pembukuan, sejarah mencatat bahwa prosesnya terjadi
secara ketat, bertahap dan dalam penilikan yang super detail. Semua isu
miring akan adanya kecacatan dalam pembukuan Al-Quran dan penulisannya,
tak ada yang tersisa satupun kecuali terbantah. Isu-isu lain seputar
bahasa Al-Quran yang tidak sesuai kaidah bahasa, pun terbantah. Tulisan
kecil ini tak mungkin memuat isu-isu dan bantahannya tersebut, dan saya
pun tak memaksa pembaca untuk percaya. Karena kebenaran itu dibutuhkan,
tidak membutuhkan.
Hal
tersebut membuktikan janji Allah, bahwa penjagaan Al-Quran berada
langsung di bawah pengawasan-Nya, sehingga tak ada seorang pun yang
dapat mencemari keotentikan Al-Quran. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr:9)
Pada
akhirnya saya mengatakan bahwa para atheis adalah orang-orang merugi,
sebab Islam sebenarnya adalah solusi pas bagi mereka. Hal ini saya
sampaikan, khususnya kepada para atheis pemula, yang didorong rasa ragu,
dengan berani langsung menyampaikan kesimpulan prematurnya bahwa Tuhan
tidak ada. Daripada mengatakan demikian, gali lah kembali agama ini,
niatkan hati tuk menemukan kebenaran. Jika itu dilakukan dengan tulus
sepenuh pengharapan, Allah akan menunjukan jalan. Kenapa saya katakan
ini? Sebab tidak sedikit seseorang yang asalnya atheis, menjadi muslim
taat. Bukan hanya merasa tidak risih dengan keyakinannya yang baru, tapi
juga membuat sumbangsih besar bagi negara bahkan dunia.
[1] Sesuatu yang tidak dibutuhkan dalil untuk membuktikan kebenarannya, seperti “Api itu panas”.
[2] Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, hal. 197
[3] Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, hal. 25.
[4] Question more, (Non)Mass movement: Atheist mega-churches take Western world by storm, diakses dari http://rt.com/news/atheist-mega-churches-west-518/, pada tanggal 19 Agustus 2014 pukul 18.25 WIB.
[5] Abul Hasan An Nadwi, Madzaa khasirul alam bin hithtatil muslimin, Al maktabah attaufiqiyyah, Cairo, hlm. 37.