Apakah Semua Hal Perlu Diragukan?

Keraguan bagi filsuf merupakan salah satu faktor pendorong untuk berfilsafat. Ragu, bagi mereka merupakan stimulus(rangsangan) untuk memancing akal agar berfikir lebih dalam terhadap sebuah fenomena, baik fenomena fisik maupun metafisika(Gaib), begitu katanya.

Imam Ghazali mengatakan yang maknanya “Barang siapa yang tidak ragu, berarti tidak berpenglihatan, dan siapa yang tidak berpenglihatan, berarti tidak melihat..”.

Tentunya tidak semua keraguan masuk ke dalam faktor pendorong berfilsafat, hanya jenis keraguan yang mengantarkan kepada keyakinan lah yang masuk ke dalam kategori ini. Lantas apa dan seperti apa ragu yang mengantarkan kepada keyakinan?

Ragu yang mengantar kan kepada keyakinan adalah ragu yang didasari dengan pemahaman terhadap tabiat sesuatu yang diragukan tersebut (Obyek yang diragukan), yakni apakah sesuatu itu bila diragukan rentan terhadap kesalahan berfikir atau tidak, rentan terhadap kesesatan berlogika atau tidak?

Berdasarkan hal diatas, Obyek yang diragukan ditinjau dari tabiatnya dibagi menjadi dua:
1. Obyek yang rentan
2. Obyek yang tidak rentan


Obyek yang rentan adalah Obyek yang apabila diragukan besar kemungkinan tidak mengantar peragunya kepada keyakinan, jika peragu tersebut lemah mencari bukti-bukti logis yang sejalan dengan akalnya akan kebenaran adanya dan atau keberadaan obyek tersebut. Contohnya keraguan terhadap hal gaib. Keraguan terhadap hal gaib tidak akan mengantarkan seseorang kepada keyakinan, jika akal orang tersebut lemah mencari bukti logis akan keberadaan hal gaib tersebut. Dengan demikian ia terus berada dalam keraguan bahkan kesesatan, selama bukti-bukti yang sejalan dengan akalnya atau logikanya belum didapati. Contoh keraguan seperti ini adalah keraguan terhadap Keberadaan Tuhan.

Keraguan akan keberadaan tuhan adalah keraguan yang rentan menjerumuskan para peragunya kepada kesesatan, jika si peragu gagal mencari bukti-bukti logis akan keberadaanNya, maka jatuh kepada kesimpulan “Tuhan tidak ada” adalah hal yang sangat mungkin. Oleh karenanya, semestinya bagi para filsuf untuk mendekati daerah ketuhanan dengan keimanannya terhadap kitab suci, bukan dengan keraguannya, karena keraguan terhadap hal ini beresiko besar menjatuhkan peragunya terhadap penafian keberadaan Tuhan.

Adapun Obyek yang tidak rentan adalah obyek yang apabila diragukan besar kemungkinan mengantarkan peragunya kepada keyakinan akan keberadaannya dan atau kebenaran akan adanya obyek tersebut, hanya dengan melihat realitas.

Contohnya adalah keraguan akan kabar hasil kelulusan ujian. Walaupun seseorang telah mengabarkan akan kelulusan kita, namun kita masih tetap ragu sampai akhirnya keyakinan pun didapat setelah melihat sendiri hasil ujiannya. Keraguan seperti ini tidak rentan, atau katakanlah tidak berbahaya; karena realitas adalah buktinya.

Untuk mendapatkan bukti berupa realitas, kita hanya perlu merecheck kebenaran akan sesuatu itu, bukti logis hanyalah tambahan dan penguat, jika ada.

Di zaman sekarang, ragu seperti ini perlu dibudayakan, terutama terhadap kevalidan informasi-informasi yang berseliweran setiap hari ke telinga kita. Kita perlu meragukan akan kebenaran setiap berita yang kita dengar dan kita lahap, apalagi jika berita tersebut menyangkut reputasi seseorang atau golongan tertentu. Jika seorang ustadz tengah dikabarkan berzina misalkan, maka kita perlu ragu dan mengecek ulang keakuratan berita tersebut, karena kesembronoan dan ketergesaan dalam mengabarkan boleh jadi membuat fitnah baru dan malah menyebarluaskan kebohongan, jika ternyata kabar tentang si ustadz adalah kabar palsu.

Begitu pula kabar-kabar panas lainnya, seperti isu teroris terhadap segolongan ummat islam, selayaknya kita adalah orang yang pertama meragukan keakuratan dan kevalidan berita tersebut, agar tidak merusak citra Islam itu sendiri dan tidak membuat fitnah baru dalam tubuh ummat islam ini.

Allah berfirman “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka teliti lah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu”.(Qs. Al-Hujurat: 6).

Demikianlah tulisan ini dibuat agar kita menjadi orang-orang yang yakin pada hal-hal yang menuntut keyakinan dan ragu terhadap hal-hal yang sekiranya perlu diragukan.

Sandy Legia
Cairo, 29 Januari 2011

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment