Tercipta Tanpa Pencipta?

Cairo 26/6/2011 – sebuah pabrik percetakan meledak, anehnya tak ada kertas berserakan yang tersisa, semuanya sudah tersusun rapi menjadi sebuah buku berjudul "Alam Semesta Diciptakan, Bukan Kebetulan".

Ada manusia yang percaya kepada akal dan tidak percaya Tuhan, ini lucu; karena saat ia percaya kepada akalnya ia menuhankannya, artinya Tuhan adalah akalnya. Seharusnnya ia tak percaya kepada akalnya, jika benar-benar tak percaya Tuhan.

Jika Tuhan adalah Pencipta, maka akal adalah ciptaanNya, lantas apakah masuk akal jika kita percaya ciptaan tapi tak percaya PenciptaNya? “Masuk akal!!!” hanya ketika kita menganggap bahwa adanya mobil terjadi dengan sendirinya, kebetulan dan atau tanpa pencipta.

Semua orang percaya bahwa “Kebetulan” takkan pernah membuat istana yang megah, mesin yang canggih, robot yang cerdas dan hal-hal kompleks nan rumit lainnya. Jagad raya ini begitu rumit, kompleks, megah dan penuh dengan makhluk-makhluk yang cerdas. Apakah mungkin semuanya terjadi secara kebetulan (dengan sendirinya) tanpa Pencipta???

Dibalik canggih dan cerdasnya robot, pasti ada tangan-tangan ahli yang membuat, merangkai dan menyusun komponen-komponennya. Lantas sentuhan siapakah keceradasan manusia? Jika robot saja dibuat sedemikian rupa agar mampu bergerak bahkan bersuara demi mengundang decak kagum orang-orang yang melihatnya, lantas bagaimana dengan gerak pada manusia? Suara dan panca inderanya, apakah dibuat tanpa tujuan? Lebih jauh lagi, apakah ada secara kebetulan tanpa Pencipta???

Akal yang kita miliki pun sangat kompleks dan rumit, saking rumitnya, pemikiran seperti ini ada. Jadi apa itu teori kebetulan? Meminjam pernyataan Harun Yahya tentang Teori Evolusi, saya dapat mengatakan kalau “Teori kebetulan itu sama ilmiahnya dengan dongeng katak berubah menjadi pangeran tampan”.

Jika Kebetulan itu dipercayai keberadaannya, maka Tidak kebetulan pun mesti dipercayai keberadaannya, sama halnya seperti memercayai “Duduk” dan “Tidak duduk”. Dengan demikian sebenarnya kita hanya perlu menggunakan akal kita untuk lebih teliti dan jeli dalam membedakan mana yang kebetulan dan mana yang tidak kebetulan (disengaja).

Socrates mengatakan bahwa sesuatu yang nampak fungsi atau kegunaan dari penciptaannya menunjukan kalau sesuatu itu sengaja diciptakan, bukan kebetulan atau tercipta dengan sendirinya. Coba lah lihat pisau! Apakah Nampak kegunaan dan fungsinya? Pembuatnya sadar kalau manusia butuh alat untuk mengiris atau memotong, karena itu lah akhirnya pisau dibuat.

Sekarang raba lah hidung anda, kedipkan mata anda, gerak kan tangan anda, mainkan semua panca indera yang anda miliki!!! Adakah salah satu dari kelimanya yang tak mempunyai kegunaan atau fungsi?

Semuanya sangat jelas memiliki kegunaan dan fungsi masing-masing, lantas apakah fungsi dari anggota tubuh dan pancaindera kita tercipta dengan sendirinya? Sang Pencipta Maha Tahu kalau manusia butuh sesuatu untuk mengecap rasa, karena itu lah Dia menciptakan lidah pada manusia, Dia pun Maha Tahu kalau Manusia butuh sesuatu untuk mendengar bunyi-bunyian, karena itu lah Ia menciptakan telinga, dan seterusnya dan seterusnya.

Sekarang perhatikan lah akal kita!!! Bukankah akal kita ini jelas fungsingnya? Andai manusia tidak punya akal, apakah mungkin membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Untuk itu lah Allah menciptakan akal, agar manusia tak seperti keledai, mau saja memikul beban-beban berat, agar manusia tak seperti harimau, mencabik siapa saja yang mau ia cabik, agar manusia tak seperti ayam, masuk ke rumah tanpa permisi, agar manusia tak seperti kucing, sudah buang kotoran sembarangan, mencuri ikan pula, dan seterusnya.

Allah berfirman “Dan (juga) pada dirimu sendiri (terdapat tanda-tanda keberadaanNya), maka apakah kamu tidak memerhatikan?”(QS. 
Adh-Dhariyat 51 : 21)

Cukup lah akal kita ini sebagai salah satu dari sekian banyak tanda pada diri kita akan keberadaan Allah, sebagaimana pada buku best seller terdapat tanda adanya penulis dan kepiawaiannya merangkai kata.

Jika manusia gagal menjangkau adanya keberadaan Pencipta dengan akalnya, maka ia dapat menjangkau dengan perasaannya, jika masih gagal, abaikan keduanya dan lihat bagaimana naluri mengokohkan keberadaan Pencipta dengan sendirinya!!!

Hanya saja jangan sampai naluri itu difungsikan saat nyawa sudah ditenggorokan, seperti yang terjadi pada Firaun. Sesaat sebelum tenggelam nalurinya berfungsi, bangunan kecongkakannya yang kokoh tiba-tiba roboh seketika, “Aamanna birobbi Musa wa Harun!!! (aku beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun)” teriaknya menyahut seruan musa yang sebelumnya bagai angin lalu.

Terakhir, ingat! Bahwa Firaun bukan saja tidak percaya Tuhan, bahkan menisbahkan Ketuhanan kepada dirinya. Lantas seberapa hebat kah kita dibandingkan Firaun, dan seberapa sombong kah kita dibandingkan dengannya?

Mudah-mudahan tubuh kita ini tidak menjadi lebih kecil dari tumor kesombongan kita yang membengkak dan mengganas
*Wallahualam bis shawab*


Sandy Legia
Cairo, 29 Januari 2011

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment