Dorongan Untuk Menikah

عَنْ عَلقمة قال: كنت أمشي مع عبد الله بمنى فلقيه عثمان بن عفان فقام معه يحدثه فقال له عثمان: يا أبا عبد الرحمن، ألا نزوجك جاري شابة لعلها تذكرك بعض ما مضى من زمانك؟ قال: فقال عبد الله: لئن قلت ذاك لقد قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ  البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ باِلصَّوْمِ فَإِنّهُ لَهُ وِجَاءٌ


Dari ‘Alqamah, dia berkata: Ketika saya berjalan bersama Abdullah bin Mas’ud di Mina (musim haji), beliau bertemu dengan Utsman bin Affan, kemudian Utsman berkata padanya: ‘Wahai Abu Abdurrahman, tidakkah engkau ingin ku nikahkan dengan seorang pemudi? semoga saja dia dapat mengembalikan nostalgia masa mudamu.’ Alqamah berkata: Maka kemudian Abdullah berkata: ‘Jika seperti itu yang engkau katakan, maka Rasulullah saw pernah mengatakannya pada kami, sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda: ‘Wahai Para pemuda, barangsiapa yang diantara kamu sudah mampu, maka menikahlah, karena menikah itu dapat lebih menundukan pandangan mata, dan dapat lebih menjaga kehormatan. Dan bagi yang belum mampu, maka shaumlah karena ia dapat mengekang[1]

Sekilas Tentang Periwayat Hadits:
Beliau adalah Alqamah bin Qais, lahir selagi Rasulullah saw masih hidup, namun Alqamah tidak sempat melihatnya. Beliau meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw dari Umar, Utsman, Ali dan Hudzaifah – radhiyallahu anhum – Beliau juga dikenal sebagai seseorang yang dekat dan selalu menyertai Abdullah bin Mas’ud.

Penjelasan Hadits
Di dalam hadits dapat kita lihat, bahwasannya ketika Utsman bin Affan bertemu dengan Abdullah bin Mas’ud Utsman bertanya dengan model pertanyaan seperti ini ((ألا نزوجك, dan kenapa tidak bertanya seperti ini ((ألا تتزوج؟? yang berarti “Tidak kah engkau menikah?”. Ini merupakan isyarat yang menunjukan bahwa Abdullah adalah orang yang tidak berkecukupan dalam masalah finansial, dan Utsman mengerti hal ini, oleh karenanya Utsman menawarkan padanya untuk menikah, beliau lah yang akan menanggung semua beban biaya pernikahannya, karena beliau adalah pimpinan Negara. Begitulah seharusnya seorang pimpinan Negara, memerhatikan siapa saja diantara rakyatnya yang belum menikah, karena semakin tinggi persentase lelaki yang membujang dan perempuan yang melajang berarti membuka peluang untuk semakin tingginya angka perzinahan di luar menikah.[2]

(الجارية) berarti pemudi yang masih remaja. (لعلها تذكرك بعض ما مضى من زمانك), semoga saja dia dapat mengembalikan nostalgia masa mudamu. Ini merupakan sebab kenapa Utsman menawarkan kepadanya agar menikah dengan pemudi yang masih remaja; itu karena pemudi cenderung ceria dan suka humor, suka bermain dan canda tawa, berbeda dengan wanita dewasa atau yang sudah tua.


Seorang isteri mempunyai hak untuk mencandai dan menggoda suaminya, membuatnya tertawa dan riang gembira, karena dengan demikian, kesedihan dan penat yang dipikulnya seharian selama bekerja hilang, ketika penat, jenuh, sedih, dan beban-beban mental yang lain hilang, maka otomatis jiwa sang suami kembali segar (refresh), dan ini kemudian akan mendorongnya untuk kembali bersemangat dalam aktivitasnya.

Abdullah bin Mas’ud sendiri sebenarnya adalah seorang yang telah lanjut usia, dan hal ini menunjukan kebolehan seseorang yang sudah tua menikahi wanita yang lebih muda darinya selama manula tersebut masih mampu memenuhi segala kewajiban lahir dan batinnya sebagai seorang suami, namun apabila sang manula telah benar-benar renta dan dinilai tak mampu memenuhi kewajiban seorang isteri, maka menikahkannya secara paksa dengan seorang pemudi belia adalah kezaliman, karena boleh jadi si isteri belia tidak puas dan mencari kesenangan lain di luar rumah dengan cara yang haram. Adapun jika si isteri belia itu rela dan ikhlas dengan kondisi suaminya yang renta, maka tidak apa-apa.

Walaupun Abdullah bin Masud adalah seorang yang sudah berusia lanjut, namun Arab kala itu merupakan tempat istimewa yang belum banyak tercemari racun dan polusi, dan ini membuat tubuh mereka bebas dari penyakit yang biasanya melemahkan tubuh di usia renta. Karena itulah, walaupun usia Abdullah sudah tua, namun kekuatan fisiknya tidak kalah dengan anak muda.


Pepatah arab berkata “"من حفظ شبابه حفظ الله شيخوخته, barang siapa yang menjaga masa mudanya, Allah akan menjaganya di usia senja. Sama seperti yang pernah Rasulullah katakan “"احفظ الله يحفظك, Jagalah (hubunganmu dengan) Allah, maka Allah akan menjagamu.

Demikianlah Utsman menawarkan pemudi belia kepada Abdullah, karena beliau – Rhadiyallahuanhu – mengetahui bahwasannya Abdullah tengah bersedih ditinggal wafat oleh sang isteri, itu semua terlihat dari kusam dan usangnya pakaian beliau, juga penampilan yang kurang rapi, dan itu merupakan dampak dari perpisahannya dengan sang isteri.

Hanya saja, dalam hadits, periwayat telah menerangkan bahwasannya Abdullah bin mas’ud tidak lagi berkeinginan untuk menikah, karena usianya yang sudah terlampau tua, juga kerena kezuhudannya. Selain itu, beliau pun telah rela hidup untuk sepenuhnya beribadah kepada Allah, adapun penghibur dan yang membantu pekerjaannya sehari-hari adalah anak-anaknya dan keturunannya. Dengan demikian, hadits diatas sebenarnya ditujukan kepada para pemuda, agar termotivasi untuk menikah, bukan kepada yang tua.

(لئن قلت ذاك لقد قال لنا), Jika seperti itu yang engkau katakan, maka Rasulullah saw pernah mengatakannya pada kami. Abdullah menjelaskan bahwasannya semasa muda dulu Rasulullah pernah mengatakan perkataan yang serupa dalam tema (pernikahan). Adapun perkataan tersebut adalah: (يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ باِلصَّوْمِ فَإِنّهُ لَهُ وِجَاءٌ), Wahai Para pemuda, barangsiapa yang diantara kamu sudah mampu, maka menikahlah, karena menikah itu dapat lebih menundukan pandangan mata, dan dapat lebih menjaga kehormatan. Dan bagi yang belum mampu, maka shaumlah karena ia dapat mengekang (syahwat).

(مَعْشَرَ), berarti sekumpulan orang yang tergabung dalam sifat tertentu, seperti kumpulan pemuda, kumpulan orang tua, kumpulan wanita, kumpulan pedagang, kumpulan petani dan lain sebagainya. Lafazh tersebut juga bermakna(المعايشة)(المؤالفة) (عشرة) yang berarti pergaulan, ikatan, dan berdampingan, karena orang yang tergabung dalam satu kelompok atau golongan dengan tujuan yang sama umumnya diantara mereka terjadi pergaulan yang baik, dan ikatan hati.

(اسْتَطَاعَة), berarti kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan jalan berkorban untuknya. Nabi Muhammad saw ingin menjelaskan bahwa pernikahan adalah beban sekaligus tanggung jawab yang menuntut seseorang untuk sabar dan tahan malang. Dengan menikah berarti kita telah memutuskan untuk berkeluarga dan keluarga adalah institusi terkecil dengan problematika terbanyak, pada umumnya demikian. Seseorang yang tidak siap untuk sabar dan komitmen dalam berjuang, biasanya bahtera rumah tangga tidak akan bertahan lama. Disinilah pentingnya “isthi’tho’ah” tadi, atau mungkin bertahan lama tapi tidak karuan.

(البَاءَةَ), para ulama berbeda pendapat tentang makna “baâh” ini, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah Jima’ (hubungan intim), dan ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Modal nikah”. Tidak menutup kemungkinan bahwa kedua-duanya benar, walaupun tentunya pasti ada salah satu yang râjih (lebih tepat, sah dan valid). Para ulama sendiri lebih merâjihkan makna jima’, dengan demikian maknanya menjadi: “barangsiapa yang diantara kamu sudah mampu berjima’ (berhubungan intim), maka menikahlah".

Alasan yang merâjihkan jima’ adalah perkataan Nabi Muhammad saw selanjutnya (وَمَنْ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ باِلصَّوْمِ), Dan bagi yang belum mampu, maka shaumlah. Orang yang tidak mampu melakukan jima’ (hubungan intim) tidak perlu berjuang susah payah menaklukan dirinya, dari syahwat dan hawa nafsunya dengan shaum. Alasan lainnya adalah, boleh jadi seseorang memiliki modal untuk menikah, cukup secara finansial, namun dia tidak mampu melakukan jima’, hal ini akan berakibat pada pengurangan hak seorang isteri. Bagaimanapun, kebutuhan batin merupakan salah satu tujuan penting menikah, ketika kebutuhan batin tidak terpenuhi, maka sudah barang tentu terdapat kekurangan terhadap tujuan menikah.

Berbicara tentang soal mampu atau tidaknya seseorang melakukan hubungan intim maka kita dihadapkan kepada empat kemungkinan:

Pertama, orang yang mampu menikah, mampu secara biologis, punya modal, dan takut kalau-kalau dirinya terjerumus kepada zina. Orang seperti ini, wajib baginya untuk menikah, karena keengganan untuk menikah berarti membuka peluang besar terjerumus kepada zina. Naudzubillah.

Kedua, yang mampu menikah, mampu secara biologis, punya modal, namun dia tidak khawatir terhadap dirinya atau mampu menjaga diri dari perbuatan zina. Orang seperti ini dianjurkan untuk menikah sebagai ketaatan terhadap perintah Allah dan RasulNya.

Ketiga, yang mampu menikah, mampu secara biologis, namun tidak punya modal. Orang seperti ini makruh untuk menikah, ketiadaan modal untuk biaya setelah pernikahan boleh jadi membuatnya tidak optimal dalam menafkahi sang isteri, kecuali jika sang isteri ridha dan rela dengan kondisi suaminya dan mampu bersabar untuk beberapa saat. Oleh karenanya seorang wanita yang tidak dapat hidup tanpa materi hendaknya mengukur kemampuan diri akan siap atau tidaknya dia bertahan jika sang suaminya kelak kekurangan harta. Seorang wanita juga hendak bertanya kepada dirinya sendiri, apa sebenarnya yang dia inginkan dari sang suami kelak, harta atau hanya parasnya saja? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut setidaknya dapat menjamin bertahan atau tidaknya wanita tersebut, kelak setelah menikah.

Sudah barang tentu sang suami pun harus terus berusaha mematangkan kondisi finansialnya, dengan cara yang halal tentunya.

Keempat, tidak mampu menikah karena kurang mampu secara biologis (lemah syahwat), namun punya modal. Ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah orang seperti ini. Sebagian pemuka-pemuka madzhab syafi’iy menyatakan bahwa menikah bagi orang-orang seperti ini adalah mubah.[3] Mereka menambahkan bahwa orang seperti ini lebih baik meninggalkan menikah dan menjadikan jenak-jenak hidupnya untuk beribadah, karena sebenarnya salah satu fungsi menikah itu adalah untuk membantu seseorang agar lebih berkonsentrasi dalam ibadah. Adapun Madzhab Hanafiy, Malikiy dan sebagian yang lain dari pemuka-pemuka madzhab syafi’iy menyatakan bahwa menikah lebih afdhal (utama) untuk orang seperti ini, sebagai sebuah ketaatan terhadap perintah Allah, usaha untuk mendapatkan anak-anak yang shaleh, dan memerbanyak jumlah umat Nabi Muhammad yang itu akan membuat bangga beliau saw kelak. Inilah pendapat yang lebih tepat.

(فَلْيَتَزَوَّجْ) , maka menikahlah. Ini merupakan perintah kepada para pemuda yang sudah dinilai mampu untuk melaksanakannya. Perintah tersebut dikhususkan kepada para pemuda tanpa menyebut-nyebut orang tua, karena syahwat para pemuda terhadap wanita lebih besar ketimbang mereka yang sudah lanjut usia. Karena itulah Rasulullah saw menunjukan para pemuda terhadap cara yang baik lagi halal untuk memenuhi kebutuhan batin (baca: syahwat) mereka. Jika kebutuhan syahwat sudah terpenuhi dengan cara yang baik, benar dan halal, hal ini akan membawa dampak positif bagi moral sebuah bangsa. Entahlah alasan apa yang membuat pemuda-pemudi zaman sekarang enggan untuk menikah dini? Jika alasannya karena tidak mampu secara finansial, berapa banyak diantara mereka yang berpacaran dan sudah merogoh kocek cukup banyak. Satu-satunya alasan logis yang membuat mereka enggan adalah “Tidak siap dengan komitmen”. Apakah pacaran itu ada komitmen? Saya berani menjawab bahwa kebanyakan “Tidak”, namun jika ada, maka itu adalah pengecualian dari yang kebanyakan.

Menikah dan pacaran, kenapa berbeda? Karena komitmen! Jika seseorang sudah memutuskan hendak menikahi wanita dengan berkata “Aku ingin menikah denganmu” atau “Aku ingin kau menjadi isteriku”, ini menunjukan kepada komitmen orang tersebut untuk sama-sama merajut kehidupan dalam mahligai rumah tangga. Lain dengan seorang pemuda yang memutuskan untuk berpacaran dengan berkata “Aku ingin kamu menjadi pacar aku”, atau “Aku ingin jadi pacarmu”, ini tidak menunjukan kepada komitmen sama sekali. Sebagian besar orang yang berkata “Aku ingin menikah denganmu”, tidak berlama-lama membiarkan hubungan mereka dengan pasangannya tanpa status, hitungannya hanya bulan, biasanya paling lama 3 bulan, kecuali mereka yang sudah ingin menikah namun terpisah benua karena alasan studi atau alasan penting lainnya yang memaksa mereka untuk menangguhkan pernikahan, mereka tidak bersentuhan, tidak apel, dan sangat menjaga agar jangan sampai ada kontak badan. Hal seperti ini jarang ditemui dan langka, karena jarang dan langka maka saya katakan bahwa kasus seperti ini berbeda dengan pacaran dengan makna yang beredar di masyarakat kita sekarang.

Dimanakah letak perbedaannya? Pertama, “kasus langka” tersebut memiliki tujuan, yaitu pernikahan itu sendiri, namun seperti yang telah disebutkan bahwa sesuatu telah membuat pelaku “kasus langka” terpaksa menangguhkan pernikahannya. Kedua, para pelaku “Kasus langka” sebagian besar sangat menjaga kontak yang terjadi dengan pasangannya, minimalisir kontak mata apalagi kontak badan, oleh karena itu, tidak akan didapati para pelaku kasus langka tersebut jalan berduaan dengan mesra, hal minimal yang mungkin dilakukan adalah jalan berjauhan tanpa banyak kata.[4]

Apakah pelaku pacaran juga berlaku demikian? Sanggup berjauhan? Sanggup tidak berpegangan tangan, tidak menyentuh? Tidak apel? Tidak jalan berdua? Menargetkan pernikahan secepat mungkin? Menurut kenyataan yang sekarang terjadi, tidaklah seseorang disebut berpacaran melainkan melakukan hal-hal tersebut.

Apakah “Kasus Langka” Direkomendasikan?
Bukan berarti karena kasus langka ini tidak sama dengan pacaran lantas dapat dikatakan bahwa menjalin hubungan dengan cara seperti itu diperkenankan. Kasus langka juga tidak bisa dikatakan sebagai pacaran islami, karena pacaran dengan makna yang beredar di masyarakat, sangat bertentangan dengan ajaran islam itu sendiri. Artinya, pacaran islami tetaplah tidak ada.

“Kasus langka” tetap merupakan cara yang rentan dan tidak aman, karena boleh jadi keduanya terjerumus, bukan menjerumuskan diri, yaitu ketika seseorang mulanya tidak berniat berduaan tiba-tiba ingin berduaan, tidak berniat sayang-sayangan, akhirnya sayang-sayangan juga. Jika kondisi ini berkelanjutan, dan bahkan menjadi kebiasaan, lalu, apa bedanya dengan pacaran?


Adakah solusi perbaikan diri? Ada tentunya, bagi mereka yang tengah mengalami kasus langka seperti ini, dan bagi mereka yang tidak ingin mengalami. Adapun bagi mereka yang tengah atau terlanjur mengalami “Kasus langka” seperti ini:

1. Senantiasa memerbaharui taubat kepada Allah swt atas kekhilafan yang telah dilakukan, karena boleh jadi apa yang telah diperbuatnya menzalimi calon pasangan hidupnya karena telah membuatnya menunggu yang terkadang terlalu lama.
2. Banyak beristighfar dan memohon ampun kepada Allah karena apa yang tengah dilakukannya boleh jadi menyita pikiran dan waktu dari ibadah kepada Allah. Sering merindukan pertemuan dengannya, dan jarang merindukan pertemuan dengan-Nya.
3. Berusaha untuk menepis semua bisikan yang mendorong untuk berduaan atau jalan bareng dengan calon pasangannya, karena itu dari syaithan.
4. Berdoa kepada Allah agar jalan menuju pernikahan dilancarkan.
5. Menikahlah sesegera mungkin, artinya tidak berleha-leha ketika kondisi yang membuat pernikahan ditangguhkan sudah hilang.

Adapun bagi mereka yang tidak ingin mengalami – semoga Allah memberkahi kalian yang berniat seperti ini – maka ada beberapa solusi yang insya Allah jika dipraktekan dengan benar, mudah-mudahan Allah menjaga kehormatan kalian, membersihkan hati, dan mengampuni dosa-dosa kalian:

1. Berniat untuk tidak pacaran dan menjadi pelaku kasus langka
2. Menjauhkan diri dari ikhtilath[5]  sejauh-jauhnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa ikhtilath memersulit ghadwul bahshar[6] , itu disebabkan oleh jarak interaksi yang dekat.
3. Ghadwul bahshar.
4. Memerbaiki kualitas ibadah dengan khuysu dalam menjalankannya.
5. Shaum sunnah.
6. Bergaul dengan orang-orang yang tidak berpacaran.
7. Berlindung kepada Allah dari setiap bisikan dan makar setan.

(فَإنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ), karena menikah itu dapat lebih menundukan pandangan mata, dan dapat lebih menjaga kehormatan. (غض البصر) berarti menundukan pandangan, yakni menjaga pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, karena orang yang melihat kepada sesuatu pasti menegakkan pandangannya, adapun orang yang tidak ingin melihat kepada sesuatu sudah barang tentu menundukan atau memalingkan pandangannya kepada yang lain. (إحصان الفرج), berarti menjaga kehormatan, yakni dengan melindunginya dan menjaganya agar tidak terjerumus kepada yang haram. (الفرج) maksudnya adalah aurat (kemaluan).

(أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ), dapat lebih menundukan pandangan mata, dan dapat lebih menjaga kehormatan. Ini menunjukan bahwa masih ada sarana-sarana lain selain menikah yang dapat membuat seseorang menundukan pandangan matanya dan menjaga kehormatannya, namun ternyata menikah merupakan sarana terkuat, lebih berefek dan bermanfaat ketimbang sarana-sarana lainnya.

(وأنكحوا الأيــمى منكم والصالحين من عبادكم وإمآئكم، إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله)
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya."[7]

Allah telah memerintahkan kepada mereka yang bujang untuk menikah, dan menjanjikan mereka dengan kekayaan. Mudah bagi Allah untuk membuat alam semesta dan segala isinya, mudah bagi Allah untuk mematikan dan menghidupkan manusia, maka apalagi hanya membuat seseorang menjadi berkecukupan bahkan belimpah kekayaan. Islam tidak melarang kita agar berfikir logis, namun tentunya membuat semua hal menjadi logis adalah hal yang tidak mungkin. Islam hanya menuntut dua hal:

1. Menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah dalam masalah penghidupan.
2. Berusaha semaksimal dan sebaik mungkin dalam mencari penghidupan.

Dua hal di atas menunjukan urutan skala prioritas. Kebanyakan orang berusaha keras dan diakhir usahanya dia menyandarkan diri kepada hasil usahanya, lupa menyandarkan diri kepada Allah. Sebetulnya, jika berkehendak, Allah berkuasa untuk memberi hambanya rizki, baik dengan sebab atau tanpa sebab. Jadi bagi mereka yang kurang dalam masalah finansial dan terbatas dalam usaha sebetulnya tidak perlu berkecil hati dan takut untuk menikah, yang dituntut adalah usaha sebaik dan secerdas mungkin, “Dan bekerjalah, maka Allah Akan melihat hasil kerjamu”. Yang menilai adalah Allah, bukan kita. Ya, benar, kita harus berusaha mencapai target yang sudah kita tentukan dari pekerjaan-pekerjaan kita, dan pada saat yang sama kita pun harus yakin bahwa ada Allah yang memerhatikan dan mengapresiasi hasil pekerjaan kita. Inilah yang diinginkan oleh Islam, terpautnya hati seorang muslim kepada Allah, menyandarkan segalanya kepadanya, baik sebelum, tengah atau setelah berusaha.

Jadi, bagi yang belum menikah, percaya lah bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berusaha untuk menjaga diri. Abu Hurairah berkata bahwasannya Nabi Muhammad saw bersabda: “ Tiga golongan yang hak bagi Allah untuk menolongnya: Pejuang di jalan Allah, Orang yang menikah karena ingin menjaga diri, …….”[8]

Apa Yang Semestinya Menjadi Maksud Dari Menikah?
Pertama yang harus menjadi maksud dari menikah adalah memenuhi seruan atau perintah Allah swt, dan mencintai Sunnah Rasulullah saw.

Kedua, menjaga diri dari godaan Syaithan.

Ketiga, Memerbanyak keturunan. Merupakan hal salah kaprah ketika seseorang menuding bahwa memerbanyak anak dapat menyebabkan ledakan populasi penduduk dan peningkatan angka kemiskinan, ini merupakan celoteh yang berangkat dari pemikiran Maltus yang mengatakan bahwa sumber daya alam terbatas, oleh karenanya pemakai sumber daya alam tersebut harus disesuaikan jumlahnya, muncullah KB dan yang sejenisnya. Jika dalam setahun 1000 bayi lahir dan pada saat yang sama 1000 manusia mati, bukankah satu generasi digantikan oleh generasi lainnya? Ini hanya secuil contoh kecil saja.

Jika memang sumber daya alam sudah tidak cukup, atau dikhawatirkan habis, seharusnya bukan jumlah manusianya yang dibatasi, tapi pengelolaannya yang diperbaiki agar sumber daya tersebut mampu memenuhi semua manusia, mungkin terkesan menggampangkan, tapi memang gampang jika ada kemauan, disinilah perlunya pemimpin adil dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Sebenarnya salah satu permasalahan utama manusia dari dulu adalah permasalahan keadilan, bukan masalah kekurangan ini dan itu. Adanya kekurangan, karena tidak adanya keadilan, ketidak adilan dalam pemakaian dan ketidak adilan dalam pembagian.

Sumber daya alam tidak akan pernah habis jika dikelola dengan baik, yang jelas-jelas akan habis adalah manusia itu sendiri, pertama karena pembatasan beranak pinak, kedua karena manusia sendiri akhirnya adalah mati. Mungkin jika ada sensus angka kematian dan kelahiran semuanya akan menjadi jelas bahwa manusia itu silih berganti, yang ada saat ini akan terganti oleh yang menjadi dewasa di kemudian hari.

(فَعَلَيْهِ باِلصَّوْمِ), maka shaumlah. Kenapa Rasulullah saw tidak berkata “maka berlapar-laparlah”? mengapa mesti shaum? Bukankah lapar dan shaum sama-sama tidak makan? Demikianlah kebijaksanaan Rasulullah saw, beliau telah menunjukan kita kepada sesuatu yang berpahala, adapun sekedar lapar tanpa niat shaum, maka tidak ada pahalanya.

(فَإِنّهُ لَهُ وِجَاءٌ), karena ia dapat mengekang. Maksudnya adalah shaum dapat mengekang syahwat. Begitulah tabiat manusia, jika lapar perutnya, kenyang syahwatnya, tapi jika kenyang perutnya, lapar lah syahwatnya. Orang yang tidak berjuang menahan syahwat dengan shaum, akan merasa kesulitan untuk menundukan pandangannya, dan menjaga kehormatannya.

Hukum Istimna[9]
Menjaga kemaluan (kehormatan) adalah ibadah, dan ini tidak ada perdebatan tentangnya. Apakah Onani dapat menjadi sarana untuk menghilangkan syahwat seperti shaum? Secara umum banyak ulama yang mengharamkan dengan dalil ((فمن ابتغى وراء ذلك فأؤلئك هم العادون, barang siapa yang mencari dari selain itu (zina dan sebagainya) maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas.[10]

Kalaulah istimna itu boleh, maka Rasul sudah menunjukan kita untuk melakukannya, namun yang terjadi adalah Rasul malah menyuruh kita untuk melakukan shaum. “Jagalah mani mu, karena itu adalah cahaya wajahmu” demikianlah seorang ulama berkata. Ibnu Abbas pernah ditanya oleh seorang pemuda, kata pemuda tersebut “Aku telah melakukan istimna dengan tanganku, apakah itu maksiat?”, mendengar itu Ibnu Abbas memalingkan wajah dari pemuda tersebut seraya berkata “Celakalah kamu, menikahi seorang budak itu lebih baik, dan istimna lebih baik dari berzina…” .[11]

Adapun ulama yang memerbolehkan, maka kebolehannya tidak mutlak, ada syarat untuk kebolehan dalam melakukannya, yaitu ketika kita sangat ingin berzina dan kesempatan zina sudah ada di depan mata, tidak ada sarana lain lagi selain istimna, jika tidak, jatuh kepada zina sudah dapat diprediksi 99%, maka dalam kasus ini, ulama berpendapat akan kebolehan melakukannya.

Tabiat Syahwat
Berapa banyak syahwat yang hanya sesaat, berakhir sesal kemudian”. Demikianlah sebuah ungkapan yang sesuai dengan kenyataan. Syahwat itu membuat orang terbuai dan lupa, terutama bagi pemuda dan pemudi yang memang sesusia merekalah syahwat begitu besar. Fenomena seks diluar nikah cukup menggambarkan bagaimana syahwat memainkan perannya terhadap mereka. Sampai-sampai diantara pemuda ada yang mempunyai pemikiran bahwa pembuktian cinta sejati adalah seks. Terjadilah apa yang terjadi, dan dikemudian hari yang paling banyak dirugikan adalah pemudi atau wanita, merekalah yang paling banyak menyesal. Apalagi jika seks bebas itu menghasilkan bayi.

Fenomena lainnya adalah model celana wanita diatas paha, model yang para wanita Indonesia tiru dari Korea. Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi pemerkosaan. Salah wanita kah? Bukankah ini salah laki-laki? “Laki-lakinya aja yang mata keranjang!”. Ya, betul, kebanyakan lelaki memang mata keranjang, itu pertama, yang kedua, kebanyakan wanita selalu mengumbar auratnya sehingga memberi kesempatan untuk lelaki agar jadi mata keranjang. Sama seperti kesalahan itu ada pada laki-laki, kesalahan juga ada pada wanita, namun karena perempuan itu adalah “Tiang Negara” yang berarti jika perempuan sebuah Negara sudah rusak moralnya, maka rusak juga moral lelakinya. Maka perempuanlah yang harus banyak membenahi diri, dan bersabar agar tidak ikut-ikutan mode yang tiap hari disajikan televisi atau media-media lainnya.

Seorang wanita tidak akan bisa bersabar untuk tidak ikut-ikutan mode kecuali dengan memahami tabiatnya. Salah satu tabiat wanita yang paling mencolok adalah tidak percaya diri atau self confidencenya rendah. Ketidak percayaan diri ini lah yang menuntut wanita untuk terus memerbaharui penampilannya dengan terus update mode supaya tidak dinilai berpenampilan usang. Hal ini tidak keliru, selama mode yang diikuti adalah mode yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, dan manusia. Dipertanggung jawabkan di hadapan Allah berarti Allah ridha jika seseorang berpakaian seperti itu. Adapun tanggung jawab di depan manusia adalah, tidak ada satupun manusia yang menjadi berdosa ketika sekedar melihatnya. Seperti inilah mode yang baik dan benar menurut pandangan islam.

Di Tunisia pada masa Presiden Bourghiba, wanita muslimah dilarang berhijab atau berkerudung. Sebagian dari mereka ada yang melarikan diri ke Prancis hanya untuk sekedar menemukan kebebasan berhijab. Tidak kah ini patut menjadi pelajaran kita semua? Wallahualam bis shawab.

Fote note:
1.البخاري جـــ 3 ص 158، ومسلم جـــ 9 ص 132
2. Pemerintah Prancis sangat memerhatikan rakyatnya dan bahkan menganjurkar rakyatnya untuk menikah, dengan iming-iming jika punya anak, seluruh biayanya ditanggung Negara, mulai dari masa hamil, melahirkan, dan sampai berusia beberapa tahun. Itu karena kebanyakan pemuda-pemudi prancis tidak ingin terikat hubungan pernikahan, mereka hanya ingin pemuasan nafsu saja tanpa ingin ada komitmen apalagi punya anak, dan tentunya ini mengkhawatirkan pemerintah perancis, karena bagaimanapun anak yang terlahir adalah aset masa depan negara.
3. Boleh dilakukan atau tidak tanpa ada dosa di keduanya.
4. Jika yang bertentangan dengan apa yang saya sebut, maka tidak dikatakan lagi status langka, tapi pacaran.
5. Bercampur baur dengan lawan jenis.
6. Menundukan pandangan.
7. Qs. An-Nur: 32.
8. HR. Tirmidzi, hasan, dan HR. Darquthni, Shahih.
9. Onani.
10. Qs. Al-Mûminun: 7.
11. Ihya ulumuddin Jilid 1 halaman 29.


Cairo, 24 Januari 2012
Sandy Legia

Disarikan dari diktat ditambah sumber lain.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment