Peringatan Untuk Tidak Menolak Menikah


عَنْ أنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أنّ نَفَرًا مِنْ أصْحَابِ النَّبِيِّ (ص) سَألُوْا أزْوَاجَ النَّبِيِّ (ص) عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا آكُلُ اللَّحْمَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أنَامَ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللهَ وَأثْنَى عَلَيهِ. فَقَالَ: ((مَا بَالُ أقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا لَكِنيِّ أُصَلِّيْ وَ أنَامُ وَأصُوْمُ وَأفْطِرُ وَأتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي)) 


Dari Anas RA. Bahwasannya sekumpulan dari sahabat Nabi saw pernah bertanya kepada para Isteri beliau saw tentang amal-amal yang dilakukannya tanpa sepengetahuan orang. (Setelah dijelaskan), maka sebagian dari sahabat Nabi itu berkata: “Aku tidak akan menikah”, sebagiannya lagi berkata: “Aku tidak akan makan daging”, yang lain berkata: “Aku tidak akan tidur di atas kasur”. (Kemudian datanglah Rasulullah saw) mengucapkan hamdalah dan memuji-Nya, dan berkata: “Bagaimana keadaan kaum yang berkata begini dan begitu, padahal aku melaksanakan shalat, juga tidur, aku shaum juga berbuka, dan aku (pun) menikah. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku”.[1]

Sekilas Tentang Periwayat Hadits:
Periwayat Hadits ini adalah Anas bin Malik bin Nadhar, nasabnya bersambung ke kabilah bani ‘Adi bin Najjar. Saat kedatangan Rasululullah saw ke Madinah umur Anas baru 10 tahun. Berangkatlah ibunya menemui Rasulullah saw untuk menghibahkan puteranya (anas) kepada Rasulullah agar menjadi pelayannya, dengan demikian Anas memerleh keuntungan dan kesempatan bersama beliau saw dibanyak kesempatan.

Anas banyak mendengar hadits dari Rasulullah saw, Anas juga banyak melihat bagaimana akhlak sehari-hari Rasulullah saw. Rasulullah pun sangat menyayangi Anas dan mendoakannya dengan keberkahan pada harta dan keturunannya dan juga mendoakannya agar Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya.

Anas hidup hingga mempunyai keturunan darinya 80 laki-laki dan dua perempuan, kemudian meninggal dan meninggalkan keturunan dari anak dan dari anak anaknya sebanyak 120 anak.

Umur Anas melewati seratus sehingga dan beliau banyak meriwayatkan hadits karena banyak manusia yang membutuhkan pada zamannya. Meninggal tahun 93 H dan di semayamkan di Thaf dekat dengan Bashrah (Irak), beliau juga adalah sahabat yang paling akhir meninggalnya.

Penjelasan Hadits
(نَفَرًا) Berarti sekelompok laki-laki dengan jumlah dari 3 sampai 10 orang. Dalam hadits ini tidak disebutkan siapa saja laki-laki tersebut, namun dalam hadits mursalnya sayyid bin musaib disebutkan bahwasannya ketiga orang itu adalah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Utsman bin Madzh’un. Dikuatkan pula dalam Shahih Bukhari bahwasannya Utsman bin Madzh’un hendak bertabattul atau hendak menyerahkan sepenuh hidupnya untuk beribadah kepada Allah, begitu pula dengan Amru bin Ash yang telah bertekad untuk telus melakukan puasa dan qiyamullail (shalat malam) seumur hidupnya, maka kemudian Nabi Muhammad saw berkata kepadanya “Jangan lakukan itu, shaum dan berbukalah! Qiyam dan tidurlah! Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, dan isterimu mempunyai hak atas dirimu…”.

(أصْحَابُ) secara bahasa berarti yang selalu melekat tidak terpisah, adapun secara istilah berarti: Siapapun yang bertemu Nabi Muhammad saw, beriman kepadanya setelah beliau diutus, dan meninggal dalam keadaan islam. Siapapun yang seperti itu, maka dia dikatakan sebagai sahabat Rasulullah saw.

(أزْوَاجُ) berarti para isteri. Merupakan bentuk plural dari زوج yang berarti pasangan. Kenapa mereka hanya bertanya kepada para isteri Rasulullah saw? Karena ibadah-ibadah khusus yang dilakukan oleh Rasulullah saw umunya tidak diketahui kecuali oleh para isteri Rasulullah saw.
Jangan dibayangkan bahwasanya kedatangan para sahabat dengan menemui para isteri seperti yang terjadi pada kebanyakan manusia pada saat ini, kedatangan para sahabat untuk menemui para Isteri Rasulullah tentunya dengan memerhatikan batasan-batasan syariat dalam interaksi antara dua jenis. Sebagian ulama berkata bahwa pertanyaan ditujukan sebelum turunnya ayat hijab karena Utsman bin Madz’un menurut mereka meninggal pada tahun 2 H yakni sebelum turunnya ayat hijab, sebagian yang lain mengatakan bahwa pertannyaan itu setelah turunnya ayat hijab. Apapun itu, yang jelas para sahabat sangat menjaga interaksi mereka dengan para isteri Rasulullah saw.

Adapun isteri-isteri Rasulullah saw adalah sebagai berikut:
1. Khadijah binti Khuwailid
2. Saudah binti Zam’ah
3. Aisyah binti Abu Bakr
4. Hafshah binti Umar
5. Ummu Salmah
6. Zainab binti Jahsy
7. Ummu Habibah binti Abu Sufyan
8. Juairiyyah binti Harits
9. Shafiyyah binti Huyaiy
10. Maimunah
11. Zainab binti Khuzaimah

Sebagian diantaranya ada yang meinggal sewaktu Rasulullah saw masih hidup, yaitu: Khadijah, Zainab binti Khuzaimah. 9 isteri yang tersisa hidup sampai Rasulullah meninggal dunia.

Seperti yang diketahui bahwasannya pernikahan beliau adalah untuk kemaslahatan dakwah, bukan seperti yang diklaim oleh para orientalis yang memusihi islam; bahwasanya beliau adalah orang yang gila wanita – la’natullah ‘alaihim – sudah banyak alasan-alasan logis dan fakta sejarah yang membantah dusta tersebut, disini saya tidak ingin berpanjang kalam untuk menjelaskan apa yang sudah banyak tersebar di dalam buku para ulama.

(عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ) , tentang amal-amal yang dilakukannya tanpa sepengetahuan orang. Maksud amal-amal disini adalah ibadah atau amal shaleh, bukan sembarang amal (pekerjaan).

Dalam riwayat Bukhari “ketika diberitahukan kepada mereka (apa yang dilakukan rasulullah saw) seolah-olah mereka meremehkannya”. Tentunya mereka tidak benar-benar meremehkan, karena meremehkan ibadah Rasulullah saw bukanlah adab yang baik, dan tidak pantas dilakukan.

Dari sini kita mengetahui bahwasannya amal shaleh tidak dilihat dari kuantitasnya, tapi dari kualitasnya. Yang saya maksud dengan kualitas adalah seberapa khusyu’ kah seseorang dalam beribadah, bukan seberapa banyak. Dari sini juga kita mengetahui bahwasannya ampunan Allah dapat diraih tanpa perlu berlebihan dalam beribadah sampai membuat jiwa kita penat. Memeroleh kecintaan Allah dan Rasul-Nya dapat diraih dengan iltizam, komitmen dengan segala apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan larang.

Janganlah seperti para rahib-rahib Nasrani. Hasan An nadwi mengatakan dalam buku monumentalnya yang berjudul madza khasirul ‘alam bin hithathil muslimin: “Dua abad lamanya tradisi menyiksa diri menjadi cita-cita ideal bagi penghayatan agama dan akhlak di romawi. Berita yang berasal dari kaum nasrani sendiri mengatakan bahwa rahib Makarios selama enam bulan tidur dikubangan sampah dengan tubuh telanjang agar digigiti nyamuk berbisa. Setiap hari ia memikul besi seberat satu dacin (62,5 Kg), bahkan kawannya rahib Eusebius memikul dua dacin tiap hari, ia tinggal di dalam sumur tua yang tak berair selama tiga tahun. Rahib yang bernama Sint John berdiri dengan kaki sebelah selama tiga tahun tanpa tidur dan tanpa duduk. Bila merasa penat, ia menyandarkan tubuhnya pada sebuah batu besar. Rahib Abraham selama 50 tahun tidak pernah mencuci muka dan kaki. Seorang rahib dari Alexandria di kemudian hari mengatakan: "Alangkah menyesalnya, sekian lamanya dulu kami menganggap cuci muka sebagai perbuatan haram, tetapi kami sekarang masuk ke kolam-kolam pemandian.

Amal-amal yang baik adalah yang dikerjakan secara dawam (berkesinambungan) walaupun sedikit, karena hal itu mencegah jiwa kita menjadi bosan. Tidak diragukan lagi, sebagian orang melaksanakan ibadah yang berat-berat, sehari, dua hari sampai sebulan mungkin jiwanya mampu memikul, namun lewat dua bulan ia mulai merasakan bosan. Dari sini terlihat kebijaksanaan Rasulullah saw agar para sahabatnya tidak melakukan ibadah secara berlebihan, karena beliau tahu bahwa berelebihan dikemudian hari akan menyebabkan berhenti beribadah dalam waktu yang berkepanjangan, karena jiwa kita merasakan bosan dan lelah.

(لَا أتَزَوَّجُ النِّسَاءَ), Aku tidak akan menikah. Mereka ingin meninggalkan perempuan karena di dalam pernikahan terdapat pelampiasan syahwat terbesar yang syahwat tersebut mendorong manusia untuk lalai dari mengingat Allah swt.

Salah seorang diantara para sahabat itu adalah Utsman bin Madzh’un. Benar, bahwasannya beliau ingin bertabattul yaitu ingin memutuskan diri dari perempuan dan menyerahkan sepenuh hidupnya untuk beribadah. Suatu saat isteri Utsman bin Madzh’un yang bernama Haula mendatangi isteri Nabi saw, Aisyah RA. Kemudian Aisyah berkata kepadanya “Kenapa kamu ini wahai Haula, pucat pucat pasi seperti itu? Tidak bersisir pula, tak tercium juga wewangian?”. Haula pun menjawab “Bagaimana aku mau memakai wewangian dan bersisir, suamiku tak pernah menyentuhku sedikitpun, suami ku tidak pernah mengangkat pakaianku semenjak waktu yang lama”. Aisyah pun tertawa mendengar kata-katanya. Tiba-tiba datanglah Rasulullah saw seraya berkata “Apa yang membuatmu tertawa wahai Aisyah?”, Aisyah menjawab “Ini wahai Rasulullah, aku bertanya kepada Haula tentang apa yang terjadi padanya, kemudian dia berkata “suami ku tidak pernah mengangkat pakaianku semenjak waktu yang lama”.

Maka kemudian rasulullah saw mengutus seseorang untuk memanggilnya. Rasulullah saw berkata kepada Utsman bin Madzh’un “Kenapa kamu ini wahai Utsman?”. Utsman berkata “Aku meninggalkan semua ini agar aku dapat beribadah”, Utsman terus menceritakan kepada Rasulullah saw tentang maksudnya.

Seteleh selesai menceritakan, maka kemudian Rasulullah saw pun memaksanya untuk kembali berinteraksi dengan keluarga dan isterinya. Utsman berkata “Aku shaum wahai Rasul!”, “Berbukalah!” suruh Rasul. “Maka aku pun berbuka dan mendatangi kembali keluargaku” kata Utsman menceritakan.

Beberapa saat kemudian, Haula datang lagi menemui Aisyah, namun kali ini dengan penampilannya yang baru, lebih fresh, bersisir, dan wangi, tidak seperti hari-hari yang lalu. Aisyah pun tertawa seraya berkata “Kenapa kamu ini wahai Haula?”. “Kemarin suamiku mendatangiku” jawab Haula.

Pada dasarnya menikah merupakan sarana untuk membantu seseorang dalam beribadah kepada Allah swt. Dengan menikah pandangannya jadi lebih terjaga dan mudah untuk ditundukan, bukankah ini ibadah? Adapun berlebihan dalam bergaul bersama isteri itu adalah bab lain yang kaitannya dengan pribadi masing-masing. Disinilah pentingnya manajemen pernikahan. Yang saya maksud dengan manajemen pernikahan (dalam konteks ini) adalah bagaimana caranya agar pernikahan tidak membuat kita menjadi lalai dan mengakhirkan hak Allah, bagaimanana caranya kita mengatur waktu, bagaimana caranya kita mengkondisikan keluarga untuk sama-sama beribadah.

(لَا آكُلُ اللَّحْمَ), Aku tidak akan makan daging. Itu karena daging merupakan makanan yang lezat dan menambah selera makan, dan itu akan membuat orang ingin memakannya banyak-banyak, sehingga itu semua mengakibatkan israf (berlebihan), dan Allah tidak menyukai orang yang berlebihan. Semakin kenyang seseorang, semakin sulit dirinya untuk khusyu’ dalam beribadah, begitu pula jika seseorang terlalu lapar. Yang baik adalah tidak terlalu kekenyangan dan tidak terlalu lapar. Syariat Islam adalah syariat yang menghalalkan penganutnya untuk memakan daging, setelah syariat-syariat sebelumnya, seperti syariat yang dibawa Musa alaihissalam, telah mengharamkan penganutnya untuk memakan daging hewan gembalaan.

(لَا أنَامَ عَلَى فِرَاشٍ), Aku tidak akan tidur di atas kasur. Itu karena tidur di atas kasur pada kebanyakan kasus membuat seseorang terlena sehingga melupakannya dari shalat shubuh atau qiyamul lail. Adapun jika seseorang tidak tidur di atas kasur, maka itu membuat tidurnya tidak terlalu lelap sehingga memudahkannya untuk segera bangun dari tidur.

Allah berfirman: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajjud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”. (QS. Al-Isra: 179)

Demikian pula yang dilakukan Rasulullah saw, beliau tidak menghabiskan sepenuh waktunya untuk melakukan shalat malam. Aisyah pernah ditanya tentang salat malam Rasulullah saw, maka kemudian Aisyah pun menjawab: “Pemulaannya adalah tidur, dan pada penghujung malam (dini hari) beliau bangun dan melakukan shalat, kemudian kembali ke tempatnya berbaring. Jika adzan berkumandang beliau membangunkan badannya, jika ada keperluan, beliau pun mandi, jika tidak, beliau pun berwudhu kemudian keluar (menuju masjid)[2]. Anas bin Malik berkata: “Tidaklah Rasulullah saw sedang shalat malam kecuali aku pernah melihatnya, dan tidaklah beliau saw sedang tidur kecuali aku pernah melihatnya”.

(فَحَمِدَ اللهَ وَأثْنَى عَلَيهِ), (Kemudian datanglah Rasulullah saw) mengucapkan hamdalah dan memuji-Nya. Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwasannya ketika kabar tekad ketiga orang itu sampai kepada Rasulullah, beliaupun bergegas menemui mereka, karena ini merupakan permasalahan serius yang harus segera ditanggulangi, jika tidak segera, maka semuanya akan menjadi seperti apa kata pepatah “Beras telah menjadi bubur” atau dalam bahasa arab sabaqassaifu al ‘adzla. Tekad mereka itu jika terealisasi, salah satunya akan berdampak kepada memutus keturunan dan meninggalkan salah satu tugas manusia untuk memakmurkan bumi, yang pada akhirnya juga itu akan menjadikan umat islam lemah karena kuantitasnya berkurang dan musuhnya bertambah kuat.

Sebelum memulakan penjelasannya, Rasulullah saw membukannya dengan mengucapkan hamdalah dan memuji Allah swt. Ini merupakan kebiasaan yang dianjurkan bahkan ditekankan, yakni memulakan segala sesuatu dengan berdzikir kepada Allah, yaitu dengan mengucapkan hamdalah, karena hamdalah merupakan ikrar akan nikmat dan kebaikan yang telah Allah berikan kepada kita. Hamdalah lebih dari sekedar syukur, atau terima kasih. Hamdalah lebih umum dari pada syukur atau terima kasih. Jika terima kasih hanya terjadi ketika ada sesuatu kebaikan yang menyapa kita, maka tidak demikian halnya dengan hamdalah. Hamdalah adalah murni ikrar dari seorang hamba atas segala yang telah Allah berikan, baik telah benar-benar diberikan maupun belum diberikan atau dikabulkan.

(مَا بَالُ أقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا), Bagaimana keadaan kaum yang berkata begini dan begitu. Kaum atau qoum (aqwam adalah bentuk prular dari qoum) dalam bahasa arab berarti sekumpulan lelaki tanpa perempuan di dalamnya. (كَذَا وَكَذَا), begini dan begitu (bla.. bla..) maksudnya adalah perkataan yang mereka ucapkan. Dalam hadits terlihat bahwasannya Rasulullah saw tidak menodongkan ucapannya kepada salah satu dari mereka atau kepada semuanya, karena itu Rasul saw memilih kata “Kaum”, agar tidak ada satu pun dari mereka yang tersakiti. Begitulah cara Rasulullah saw menegur seseorang atau beberapa orang dalam kebanyakan kasus, yakni dengan bentuk nasihat kepada khalayak ramai dengan memaksudkan perkataannya kepada orang tertentu. Tapi ini hanyalah muqoddimah atau pembukaan, setelahnya, Rasulullah saw memanggil orang tersebut untuk berbicara empat mata. Pada kesempatan berdua itulah Rasulullah saw menyampaikan nasehat kepada orang tersebut.

Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah saw berkata “Kamu kah orang yang berbicara begini dan begitu (bla.. bla..)”. Ini menunjukan bahwasannya Rasulullah saw menggunakan kedua cara itu. Cara pertama dengan menasehati seseorang tertentu dalam bentuk nasehat kepada khalayak ramai, cara kedua dengan memanggil orang bersangkutan atau menemuinya untuk berbicara empat mata dan kemudian menjelaskan dan menegur kesalahan orang tersebut.

Dengan cara seperti itu Rasulullah saw telah menutup aib orang tersebut, karena beliau tidak menegurnya langsung atau mendodongnya langsung di depan khalayak ramai, yang pada kebanyakan kasus hal ini tidak dapat menyampaikan maksud dari nasehat, malah membuat orang tersebut semakin keras kepala dan sombong. Jelas lah sudah bahwa menasehati orang dengan menodongnya di depan khalayak ramai tidak ada baiknya sama sekali, malah dapat dipastikan keburukannya.

Allah berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Ketahuilah bahwa manusia yang kita maksudkan untuk berdakwah kepadanya terbagi tiga:
1. Orang yang cerdas, bijak, obyektif, dan dapat melihat sisi baik dari yang buruk.
2. Orang yang lalai atau berbuat kesalahan karena tidak tahu atau lupa, dan
3. Orang yang keras kepala lagi sombong.


Berdakwah dengan hikmah adalah cara yang pas untuk golongan pertama, yakni mereka yang cerdas dan bijak, tidak perlu mendebat. Adapun nasehat, adalah bagi mereka yang melakukan kesalahan karena lupa atau belum tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah. Golongan terakhir adalah mereka yang keras kepala dan sombong, debatlah orang seperti ini seperlunya dan dengan cara yang baik. Jika apa yang kita lakukan sudah dirasa cukup persuasif dan seharusnya bisa berpengaruh kepadanya, namun orang tersebut tetap bersih keras terhadap kesalahannya, berhentilah, dan berpalinglah darinya sambil terus mendoakannya, karena hakekat hidayah adalah dari Allah. Manusia hanya menunjukan.

(لَكِنيِّ), padahal aku/tetapi aku. Ini menunjukan bahwasannya Rasulullah saw sebagai seorang yang paling taqwa dan paling takut kepada Allah tidak menghalangi beliau dari menikmati pemberian Allah berupa hal yang mubah (boleh), seperti tidur, makan dan lain sebagainya, padahal seharusnya atau hal yang terbayang di pikiran banyak orang adalah bahwa orang yang paling bertaqwa itu pasti mengabiskan seluruh waktunya untuk beribadah, namun ternyata anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena Rasulullah saw sendiri adalah orang yang paling bertaqwa, walaupun demikian beliau tetap memerhatikan hak-hak yang lain, seperti hak kesehatan tubuh, hak mata untuk tidur, dan lain-lain.

(أُصَلِّيْ وَ أنَامُ), aku melaksanakan shalat, juga tidur. Ini menunjukan bahwasannya Rasulullah saw tidak menghabiskan seluruh malamnya untuk bertahajjud atau qiyamul lain, namun beliau menjadikan separuhnya saja untuk qiyamul lail atau sepertiganya atau kurang dari itu. Kata shalat didahulukan dari kata tidur untuk menunjukan bahwa shalat lebih utama dari pada tidur.

Rasulullah saw biasanya tidur di awal malam merehatkan penat selama siang hari yang beliau saw lalu, kemudian bangun di akhir malamnya. Begitulah Rasulullah saw, beliau paham bahwasannya tidur adalah kebutuhan penting manusia yang harus dipenuhi, karena tidak tidur atau begadang membuat seseorang menjadi lelah, dan dapat mengakibatkan seseorang bosan dalam beraktifitas, adapun bosan, terkadang membuat seseorang berkepanjangan dalam beristirahat. Pada akhirnya, istirahat yang terlalu panjang membuat seseorang terlena untuk mengerjakan ibadah yang jelas-jelas fardhu, seperti shalat lima waktu.

(وَأصُوْمُ وَأفْطِرُ), aku shaum juga berbuka. Penyebutan shaum didahulukan disini menunjukan bahwasannya shaum mempunyai keutamaan tersendiri. Seperti yang telah disebutkan dalam hadits sebelumnya, bahwa shaum dapat mengekang syahwat, itu karena tabiat manusia adalah, jika kenyang perutnya, maka lapar lah syahwatnya, jika lapar perutnya, maka kenyanglah syahwatnya. Namun, terlalu lapar tentunya tidak baik untuk kesehatan, oleh karena itu sebagai teladan Rasulullah saw mencontohkan agar kita shaum dan berbuka, dan tidak melanjutkan shaum sampai ke waktu sahur.

Bagaimanakah puasa Rasulullah saw? Anas bin Malik berkata: “Bahwasannya Rasulullah saw (sering terlihat) berbuka (tidak shaum) di satu bulan, sehingga kami menyangka bahwasannya Rasulullah saw tidak shaum sama sekali di bulan tersebut. Beliau juga (sering terlihat) shaum di bulan yang lain, sehingga kami menyangka bahwasannya Rasulullah saw tidak berbuka sama sekali pada bulan tersebut (sering shaum)”. Banyak sekali shaum yang dapat dilakukan oleh seorang muslim, mulai dari shaum senin kamis, shaum arafah, shaum 6 hari di bulan syawal, shaum ‘asyuro, shaum ayyamul bidh, yaitu shaum 3 hari tengah bulan hijriah (tanggal 13, 14, dan 15). Ada juga shaum Daud bagi mereka yang hendak sering-sering melaksanakan shaum, yaitu dengan cara sehari shaum dan sehari berbuka (tidak shaum), dan shaum-shaum sunnah lainnya.

(وَأتَزَوَّجُ النِّسَاءَ), dan aku (pun) menikah. Menikah merupakan sunnatullah bagi makhluknya. Mengapa dikatakan sunnatullah? Sebelum dijawab, perlu diperjelas bahwa yang saya maksud dengan sunnatullah adalah hukum yang telah Allah tetapkan bagi seluruh ciptaannya yang tidak akan pernah berubah, baik kadar, bentuk dan sifatnya sampai kapanpun, karena jika berubah-ubah akan mengalami ketidak seimbangan. Dari sini dapat kita pahami bahwa fenomena alam adalah bagian dari sunnatullah. Contohnya seperti derajat didih itu selalu seratus derajat, tidak pernah berubah-ubah, misalkan hari ini 100 derajat, besok dua puluh derajat, begitu pula dengan derajat beku. Lalu apa hubungannya dengan menikah? Allah telah menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan, dari keduanya berkembang biaklah manusia lainnya. Jika masing-masing dari kedua jenis itu menolak sunnatullah pada dirinya (baca: mengubah fitrahnya), laki-laki mencintai sesama jenisnya, begitu pula perempuan, atau perempuan menolak jatidirinya sebagai perempuan dan ingin disamakan dalam semua hal dengan laki-laki, maka cepat atau lambat, akan terjadi ketidak seimbangan.

Adapun jika masing-masing gender mencintai sesama jenisnya, maka tidak diperoleh keturunan, padahal Allah telah memerintahkan kita untuk memakmurkan bumi dengan cara regenerasi atau memerbanyak keturunan. Adanya lelaki dan perempuan merupakan isyarat tidak langsung dari Allah agar antara dua jenis itu terjadi hubungan (cinta), dan hubungan ini tidak dapat tercapai kecuali dengan jalan yang halal. Jalan yang halal tersebut adalah pernikahan.

Adapun jika perempuan menolak jatidirinya sebagai perempuan dan ingin selalu disamakan dengan lelaki dalam semua hal, maka ini tidak akan membawa kebaikan apapun untuk perempuan itu sendiri. Sebagian perempuan keliru ketika memaknai perbedaan. Baik laki-laki maupun perempuan, masing-masing memiliki keistimewaan, dan keistimewaan itu sendiri lah yang menjadikan laki-laki berbeda dengan perempuan. Adanya perbedaan tidak melulu berarti "Siapa yang lebih unggul?", perbedaan juga berarti "Kekhasan" pada sesuatu yang tak ada pada yang lain. Dengan demikian laki-laki dan perempuan bisa saling melengkapi dengan kekhasan yang dimilikinya masing-masing.

(فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي), Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku. Sunnah rasul berarti cara atau kebiaasan yang Rasulullah saw contohkan, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Menikah merupakan salah satu sunnah Rasul saw, dan orang yang tidak menyukai menikah, maka tidak termasuk golongan Rasulullah saw, karena berarti tidak menyukai sunnahnya.

(فَلَيْسَ مِنِّي), maka tidak termasuk golonganku. Maksudnya adalah, tidak termasuk pengikut Rasulullah saw dan tidak termasuk orang-orang yang dicintainya siapa saja yang tidak suka sunnah Rasul dan melanggarnya, atau siapa saja yang mencari cara atau kebiasaan lain dalam hal apapun terkait perbuatan dan perkataan. Potongan kalimat ini juga mengandung makna lain, yakni bahwasannya seseorang dapat dikatakan pengikut sesuatu jika orang tersebut sudah mengikuti kebiasaan, adat, dan atau prilaku orang yang diikutinya. Bila kita perhatikan para pemuda dan remaja kita hari ini, dapatlah kita ketahui bahwa seseorang yang mereka ikuti pastilah bukan Rasulullah saw, dapat diperhatikan dari mulai dari cara berbicara, sopan santun, adab, dan akhlak keseharian.

Rasulullah saw tidak pernah mengajarkan budaya hedonisme sekalipun beliau adalah orang yang kaya, Rasulullah saw tidak pernah mengajarkan kita memuja syahwat dengan cara yang halal sekalipun Rasulullah saw adalah seseorang yang beristeri 11[3] . Berbeda, orang yang beristeri banyak dan banyak pacar, atau ganti-ganti pacar. Terlepas dari maksud dan tujuan seseorang beristeri banyak (tujuan terpuji atau tidak terpuji), dengan memeristeri pun sudah menunjukan bahwa orang tersebut komitmel, financial, materil dan non materil, berbeda dengan seseorang yang ganti-ganti pacar, atau punya banyak pacar.

Hubungan yang terjadi antara dua pasang anak manusia berbeda jenis amatlah rentan. Pernikahan merupakan satu-satunya jalan yang dapat melindungi keduanya dari godaan syetan. Tahukah anda tabiat godaan syetan seperti apa? Godaan syetan itu, enak di awal, dan pahit diakhir. Tahu maksudnya? Jika kita menuruti apa yang dibisiki syetan, sejam atau dua jam kenikmatan akan kita peroleh, namun penyesalan berkepanjangan dikemudian harilah yang kemudian akan kita tanggung. Kalaupun pun kita tidak menyesal di dunia, maka akheratlah tempat kita menyesal, karena akherat benar-benar ada walaupun saya belum pernah melihatnya, namun Allah lah yang menjelaskan akan keberadaannya di dalam Al-Quran, selama kita yakin bahwa Al-Quran itu adalah firman Allah (kalamullah), yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.

Fote note:
[1]البخاري جـــ3 ص158، وصحيح مسلم بشرح النووي جـــ9 ص173
[2]البخاري جـــــ 1 ص 139
[3]Semua isteri beliau adalah janda dan telah berusia senja, kecuali Ummul Mukminin Rhadiyallahu Anhu.

Cairo, 31 Januari 2012

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment