Kenapa Timbul Sifat Sombong?

Sombong tidak timbul begitu saja, sifat ini muncul, setelah ketiadaannya, karenanya ia pasti bermula. Bagaimanakah mulanya sifat ini menempel pada diri manusia? Ini yang akan kami coba ungkap. Insya Allah.

Sombong merupakan salah satu akhlak yang tidak terpuji selain ia juga merupakan penyakit hati. Berbicara tentang Akhlak, maka kita berbicara tentang respon spontan. Respon spontan merupakan hasil dari pembiasaan, baik pembiasaan kata-kata, tingkah laku, atau sikap dan yang lainnya. Misalkan, seorang anak yang dibiasakan berkata kasar sejak kecilnya, maka ketika dewasa, kata-kata kasar itu akan menempel dalam lisannya. Kata-kata kasar itu akan muncul begitu saja sebagai respon spontan ketika ia marah atau mencaci orang lain.

Hal yang sama terjadi pada sombong. Karena sombong adalah akhlak (tidak terpuji), maka ia tidak muncul begitu saja dalam diri manusia.

Sombong timbul karena kita salah menyikapi satu hal, dan hal tersebut adalah “Perasaan lebih” dari yang lainnya. Adalah wajar ketika muncul “perasaan lebih” dari yang lain, namun menindak lanjutinya dengan sikap yang salah adalah hal yang tidak wajar. Setan merasa lebih dari Adam, dan kemudian ia menindak lanjuti perasaannya tersebut dengan sikap membangkang.

Jika suatu saat “Perasaan lebih” ini muncul, ketika misalkan kita dihadapkan dengan orang yang tidak lebih hebat dari kita dalam suatu perkara, maka tindak lanjut yang tepat adalah bersyukur, karena “Kelebihan” ini sejatinya bukan usaha kita, tapi atas pemberian Allah semata. Kapanpun, Allah bisa mengambil kembali kelebihan ini jika Dia berkehendak.

Semakin sering kita menindak lanjuti “Perasaan lebih ini” dengan sikap yang salah, semakin terbiasa kita dengan sikap tersebut, dan pada akhirnya, setiap kali kita dielu-elukan atau diacungkan jempol, yang pertama kali terlintas dalam benak adalah “Ini karena kelebihan saya”, “Ini karena usaha dan kerja keras saya”, walaupun mulut kita melafazhkan kalimat yang seolah merendah hati (tawadhu) “Ah, ini tidak seberapa, jangan terlalu memuji, ini hanya kebetulan”.

Contoh yang lebih nyata, merupakan hal yang alami ketika manusia dipuji, maka ia merasa senang atau gembira. Apa selanjutnya setelah gembira? Setelah gembira ada ada dua pilihan persimpangan jalan, ke kanan? Atau ke kiri? Kanan adalah bersyukur dengan mengembalikan pujian kepada yang pantas dipuji (baca: mengucapkan Alhamdulillah), atau kiri, I’jab binnafs (terkagum-kagum dengan diri sendiri). Jika sikap bersyukur yang dibiasakan, maka dikemudian hari akan menghasilkan tawadhu (rendah hati), sebaliknya, jika kagum kepada diri sendiri yang dibiasakan, sombong lah yang akan dihasilkan dikemudian hari.

Karenanya tidak akan pernah kita dapati, seseorang yang rendah hati ketika dipuji berkata “Ah, ini tidak seberapa, jangan terlalu memuji, ini hanya kebetulan”, karena kata-kata tersebut lebih jelas isyarat merendah untuk meningginya ketimbang rendah hati (tawadhu). Tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini, kesuksesan kita adalah pemberian dari Allah semata.

Nabi Muhammad saw suatu hari pernah dipuji dengan dibandingkan dengan Nabi Musa as., lalu apa yang beliau saw katakan? Beliau berkata “Jangan banding-bandingkan aku dengan Musa”. Lihatlah! Beliau tidak berkata “Aku tidak lebih baik dari Musa a.s.”. Dua pernyataan tersebut jelas bedanya, yang satu rendah hati, yang satu rendah diri.

Kembali kepada sombong. Begitulah seharusnya ketika kita dipuji, ucapkan “Alhamdulillah”, bukannya malah berkata “Ah, ini tidak seberapa, jangan terlalu memuji, ini hanya kebetulan”, padahal di dalam hati menyimpan I’jab bin nafsi.

Terakhir, Apakah sombong itu? Rasulullah saw bersabda:
وروى مسلم في صحيحه عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: " لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر ، فقال رجل : إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنـًا ونعله حسنـًا ، فقال : إن الله جميل يحب الجمال ، الكبر بَطَرُ الحقِّ (وغمط الناس" (رواه مسلم

Ilustrasi Biji Zarrah
Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan (walaupun) sebesar zarrah (biji atom). Seseorang bertanya: “Bagaimana dengan seseorang yang senang kalau pakaiannya bagus, dan sandalnya bagus? Rasul menjawab: “Sesungguhnya Allah Indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan menghina/meremehkan orang lain” (HR. Muslim).

Wallahualam bis shawab.

Comments
1 Comments

1 comments: