Lita Suka Yang Berbeda - Cerpen


Orang alim itu terlihat khusyu dalam solatnya, salam, dan kemudian berlalu. Kabarnya dia adalah seorang mahasiswa fakultas PAI yang sedang magang di salah satu madrasah diniyyah. Hampir sebulan dia berada disini, dan kabar burung tentang dirinya sudah menyebar kemana-mana; katanya dia berbeda, katanya dia tidak seperti guru agama biasa, katanya dia membawa ajaran aneh, dan semua itu membuat Lita penasaran. “Berbeda bagaimana? Tidak biasa seperti apa? Ajaran aneh apa?” Tanya Lita memergoki kawan-kawannya yang tengah bergosip.


Diam-diam Lita menyusun rencana, kabarnya orang alim itu membuat pengajian remaja, sore menjelang maghrib di surau belakang sekolahnya, Madrasah Alliyah Diniyah Desa Karangnunggal. Setelah berjilbab rapi dan berdandan layaknya gadis remaja, Lita melangkahkan kaki menuju surau dengan niat menjumpai si pemuda alim.

“Sore-sore begini sudah rapi, mau kemana Lit?”
“He.. he.. mamah,” lita garuk-garuk kepala.
“Mengaji, Mah” lanjut lita.
“Alhamdulillah anak mamah tambah solehah, sok atuh yang rajin mengaji”

Padahal Lita gadis paling malas mengaji di desanya, terlalu banyak baca buku-buku aneh, pemikirannya hampir menyerupai sebagian besar orang kota. Katanya ngaji itu membosankan, kalau tidak fiqh, ya akhlak, atau aqidah, ya pokoknya itu-itu saja, paling banter kisah para nabi dan Rasul. Bagi Lita semua itu membosankan, apalagi yang mengajar sudah sepuh semua.

Karena itulah Lita tidak benar-benar tertarik pada fiqh, akhlak atau aqidah yang akan disampaikan si pemuda, Lita pun tidak berminat mendengarkan kisah nabi yang sudah kesekian ratus kalinya ia dengar. Lita hanya penasaran apa kata orang, tidak lebih. Lita suka sesuatu yang beda, karena itulah kenapa Lita penasaran.

Surau sudah ramai tak seperti biasanya. Lita terkesan, karena pemuda itu sanggup mengumpulkan banyak remaja, termasuk dirinya, padahal Lita selalu menolak ajakan ibunya untuk menghadiri pengajian sore, alasannya satu, pengajian identik dengan manula, adapun remaja, tak ada beda baik di kota maupun desa, kalau tidak nongkrong, ya pacaran.

“Pengajian itu mirip seperti warisan, jika warisan ‘Mati dulu’ baru ada, maka pengajian ‘Tua dulu’ baru rajin mengaji. Karena itulah kenapa pengajian diminati para manula, karena boleh jadi dulu saat remaja, mereka punya pikiran yang sama dengan remaja hari ini, “Tua dulu, baru rajin ngaji, tua dulu, baru rajin istighfar, tua dulu, baru rajin ke mesjid’.” Dan sesi Tanya jawab pun berakhir, ini kesan kedua bagi Lita ketika mendengar jawabannya, kepalanya mengangguk-angguk dan mulutnya menganga, kemudian senyum-senyum sendiri, “Begitu toh” katanya dalam hati.

Si pemuda mulai kembali berbicara setelah Mc memersilahkannya untuk melanjutkan ke sesi taushiyah,

“Saya senang berada di tengah kawan-kawan, karena umumnya kawan disini mengerti bahasa arab. Pada kesempatan ini saya ingin berbicara tentang Al-Quran, saya punya pertanyaan dan tolong dijawab ‘Kenapa banyak yang membaca Al-Quran, dan pada saat yang sama tidak sedikit muslim yang berbuat jahat, berbohong, menipu, mencuri dan lain-lain? Ya silahkan acungkan tangan, saya punya hadiah spesial bagi yang menjawab’.”

Hening, sesaat kemudian seorang wanita berparas cukup cantik mengacungkan tangannya,

Mangga, teteh..” Kata si pemuda.
“Karena dia tidak mengerti isi Al-Quran” kata Lita lantang.
Para gadis berbisik satu sama lain, mungkin mereka membicarakan Lita yang mendadak muncul di pengajian, padahal orang sekampung tahu, bahkan dalam momen idul fitri dan adha pun Lita tak kelihatan hadir, Lita paling malas dengan ceramah, pengajian dan yang sejenisnya.
“Ya, ada yang lain? Silahkan”
“Oke, kalau tidak ada saya akan jelaskan.. ‘Karena, setan tidak takut dengan Al-Quran’.
Semuanya terperanga, semuanya kaget. Bagaimana mungkin setan tidak takut dengan Al-Quran. Seseorang mengacungkan tangan sepertinya hendak protes,
“Maaf pak ustadz, saya lihat sendiri kyai membaca Al-Quran di depan orang kesurupan, dan orang itu seperti kepanasan, jadi perkataan pak ustadz jelas keliru”.

Si pemuda tersenyum dan Lita masih terperanga. Pemuda berkata:

“Ya, benar, saya keliru jika setan yang saya maksud adalah setan begituan atau seperti kuntilanak, genderwo dan lain sebagainya. Setan yang saya maksud bukan setan yang mewujudkan dirinya menjadi sosok-sosok hantu televisi, setan yang saya maksud lebih kepada setan yang membisiki manusia untuk melakukan kejahatan, setan yang membuat manusia sengsara dunia dan akherat, setan yang mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga,”
“Apakah mereka benar-benar tidak takut Al-Quran, Pak Ustadz” Tanya seorang remaja.
“Tidak, mereka tidak takut Al-Quran, jika Al-Quran dibaca berlalu begitu saja.”
“Maksudnya pak ustadz? Kami pusing, kami tidak paham?”
“Hehe.. maaf, mungkin membuat kawan-kawan pusing dan berputar-putar, tapi saya malah senang, tandanya kawan-kawan sedang berfikir, kalau tidak berfikir mana mungkin pusing.”
“Saya ingin bertanya, kalau di rumah saya banyak tikus, kira-kira saya bakal ngapain?”
“Beli racun tikus?”
“Bukan!”
“Pasang perangkap?”
“Bukan!”
“Apa dong ustadz?”

Sang pemuda tersenyum dan berkata “Saya akan beli poster kucing sebanyak-banyaknya”.

“Hahahahaha….” Suara tawa itu menggema ke seantero kampung, ternyata tidak hanya manula ompong yang bisa tertawa ketika mendengar ceramah, remaja pun bisa.
“Apanya yang lucu?” Tanya sang pemuda.

Lita mulai berfikir, mungkin ini yang membuat pemuda itu dikatakan berbeda, dia sudah mulai menerka-nerka apa yang selanjutnya akan dikatakan si pemuda, dan dia yakin jawabannya tak jauh berbeda dengan apa yang telah ia jawab, hanya cara penyampaiannya saja beda, barangkali.

“Saya yakin kawan-kawan sudah mulai menangkap, bahwa sebanyak apapun saya menempel poster kucing, tetap saja itu hanya poster, tikus tidak akan takut, tapi jika saya benar-benar mendatangkan kucing nyata, akan lain ceritanya,”.
“Itulah kenapa Al-Quran tidak lagi setan hiraukan sebagai ancaman” lanjut pemuda.
“Kenapa coba?” Tanya pemuda.

Lagi-lagi Lita mengacungkan tangan,

“Karena, kebanyakan orang membaca Al-Quran tapi tidak memahami isinya”
“Sedikit lagi” Si pemuda mendorong Lita.
“Itu aja yang saya tangkap pak ustadz”
“Ya, benar, pertama adalah masalah tadabbur atau penghayatan, yang kedua adalah masalah aksi atau penerapan. Jika Al-Quran dibaca begitu saja tanpa penghayatan dan tidak diamalkan, maka ia tak ubahnya seperti poster kucing, tikus tidak akan lari, tikus tidak akan merasa terancam, setan pun demikian, selama Al-Quran hanya dibaca oleh umat islam, tidak diamalkan dan tidak ditadabburi, tak akan ada perubahan berarti di dunia manusia, karena itulah kenapa ada yang rajin membaca Al-Quran tapi rajin juga bergosip, padahal secara jelas Al-Quran menggambarkan seperti apa jeleknya bergosip atau berghibah itu,”.
“Al-Quran menggambarkan bahwa orang yang berghibah itu seperti orang yang memakan daging bangkai, tidak cukup sampai disitu, Al-Quran juga menjelaskan seperti apa bangkai tersebut, tentunya bukan sekedar bangkai biasa. Bangkai tersebut adalah bangkai saudaranya sendiri.”
“Apa maksudnya ini? Maksudnya ghibah dan memakan bangkai saudara sendiri mempunyai persamaan, keduanya sama-sama buruk, sama-sama jelek, sama-sama menjijikan. Jika memakan bangkai saudara berarti kita mencabik-cabik badannya, maka ketika kita menggibahi saudara sendiri berarti kita mencabik-cabik aib dan kehormatannya, kita beberkan rahasia pribadinya kepada khalayak.”
“Lalu apakah hanya karena alasan itu ghibah dilarang? Tidak! Perumpamaan itu Allah maksudkan agar ketika orang merasa jijik dengan bangkai saudaranya yang dimakan, seharusnya ia pun merasa jijik dengan berghibah. Ini hanya permulaan untuk tujuan dan maksud utama kenapa ghibah dilarang,”
“Maksud utamanya akan ketemu kalau kawan-kawan telusuri ayatnya semakin ke atas, coba buka surat Al-Hujurat ayat 12, siapa yang mau membacakan terjemahannya?”

Lagi-lagi Lita mengacungkan tangannya:

“….dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Lita membacanya dengan fasih dan semangat.
“Nah, ternyata larangan ghibah itu disandingkan dengan larangan-larangan lainnya, dan larangan-larangan tersebut mulainya dari ayat 11. Tepat di ayat 10 kan kita temukan alasan kenapa Allah melarang ghibah dan saudara-saudaranya? Alasannya adalah, silahkan teteh yang barusan bacakan terjemahannya” suruh sang pemuda.

Lita tersipu malu, ia mulai merasa diperhatikan,

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Lita semakin bersemangat membacakannya.
“Jadi, kenapa ghibah dilarang? Karena ia merupakan salah satu sebab yang dapat merusak ‘hubungan persaudaraan’. Sebab lainnya disebutkan secara rinci disitu, buruk sangka, memata-matai, menjelek-jelekan, dan memanggil seseorang dengan gelaran yang buruk.”
“Ini hanyalah sedikit dari banyak ayat yang bisa kalian tadabburi dan hayati, tidak usah takut untuk melakukannya, karena tadabbur beda dengan tafsir, jika tafsir dimaksudkan untuk mencari makna sesungguhnya melalui riwayat, perkataan ulama atau analisa bahasa, maka tadabbur dimaksudkan untuk pelajaran, setiap orang bisa mengambil pelajaran tersendiri dari ayat yang ia baca, jika ada yang tidak paham bisa ditanyakan kepada ahlinya atau dicari.”
“Dengan demikian, kalian bisa optimal mencontoh sayyidina Muhammad, beliau adalah Al-Quran berjalan, budi perkertinya adalah cerminan isi Al-Quran, maka seperti beliau pula lah kalian harus menjadi, tentu menjadi seperti beliau adalah target ideal dan terlalu sempurna, tapi ada orang bilang bahwa walaupun tidak ada orang sempurna, berusaha menjadi sempurna bukanlah kesia-siaan”. Ceramah pak ustadz muda pun berakhir.

Sebulan sudah pemuda tersebut berada di kampung karangnunggal, mengadakan pengajian, olah raga, dan kegiatan produktif lainnya. Hari ini adalah kepulangannya, beberapa pemuda telah menyiapkannya mobil bak, karena oleh-oleh yang diberikan warga kampung terlampau banyak, tidak tanggung-tanggung, ada yang memberi beras satu karung, pisang satu karung, gula merah dua dus, macam-macam kerupuk dan buah-buahan.

Menjelang pamitan, Lita berjalan tergopoh-gopoh sambil memanggul sebuah karung,

“Pak ustadz tunggu! Ada oleh-oleh dari mama” kata Lita sambil terengah-engah dan memberikan karungnya.
“Pak ustadz, kapan-kapan main kesini lagi, sayang, Lita Cuma mengaji sekali sama pak ustadz.”
Pak ustadz tersenyum kemudian berkata “Sekali tapi jika itu merubah Lita, lebih baik dari puluhan kali, tapi tak ada perubahan. Kuantitas bukan jaminan Lit, seseorang yang mengaji berpuluh-puluh tahun boleh jadi lebih pandai dan tau banyak hal, tapi belum tentu lebih baik, padahal tujuan dari mengaji adalah menjadi lebih baik, kemudian mampu membedakan mana yang baik dan buruk, setelahnya mendukung semua kebaikan dan menolak keburukan, akhirnya meninggal bersama orang-orang baik.”
“Tuh kan, selalu aja ada yang baru dari kata-kata pak ustadz, pokoknya makasih banyak deh atas motivasinya.”
“Saya tidak memotivasi Lita, karena motivasi bukan soal kata-kata atau inspirasi menggugah, motivasi adalah soal kemauan. Sekalipun penceramah hebat mendorong Lita untuk berubah, jika Lita tidak punya kemauan untuk berubah, artinya tak ada yang namanya motivasi.”
“Ah ustadz bisa aja nyambung-nyambunginnya, benar apa kata orang, ustadz memang beda.”
“Owh iya, soal berbeda yang sempat membuat kampung ini curiga sama saya, kamu juga perlu tahu Lit, bahwa tidak semua hal beda itu benar, saya mengalami ini setelah lulus pesantren, setelah lulus, di dunia luar ternyata pemikiran lebih beragam, saya terpesona, saya terpukau, namun kemudian seorang teman memberitahu saya bahwa tidak setiap hal beda itu layak diacungi jempol.”
“Berarti ada hal beda yang tidak layak dong?”
“Ya, ada, tidak semua yang mengatasnamakan “pemikiran islam” boleh begitu saja ditelan sebelum disaring, karena zaman ini orang sudah berani mengubah-ubah…” Si pemuda terdiam sesaat, Lita semakin penasaran.
“Mengubah-ubah apa ustadz?”
“Inilah yang menentukan layak atau tidaknya “beda” tersebut diacungi jempol dan dikatakan pemikiran islam sebenarnya,”
“Untuk menjadi berbeda, terkadang seseorang perlu mengubah sesuatu agar terlihat tidak biasa, disinilah letak perbedaanya; Orang berbeda pertama merubah sesuatu yang esensial atau inti dalam agama ini, mereka membuat pernyataan semacam ‘solat tidak wajib’, ‘jilbab atau hijab tidak wajib’ dan seterusnya. Mereka berbeda karena mengubah yang inti. Orang berbeda kedua meyakini bahwa “solat itu wajib”, namun untuk menyampaikannya kepada remaja misalkan, dia tidak melakukan ceramah, pidato atau bahkan hujatan seperti “Masuk neraka kalian, Solat sudah ditinggalkan!!!”, karena itu orang ini juga dikatakan berbeda.
“Owh seperti pak ustadz ya? Hehe…”
“Jadi Lita paham, kan? Orang pertama merubah hal principle dalam agama ini, adapun yang kedua, hanya merubah yang variable. Beda yang pertama tidak benar dan tidak dibenarkan, beda yang kedua sah. orang pertama itu ibarat seseorang yang mencari sudut dalam lingkaran atau membuat inovasi baru dengan membuat ban mobil menjadi persegi.”
“Iya, iya deh, Lita paham”.
“Nah, tugas Lita adalah menyaring setiap pemikiran baru yang menurut Lita berbeda, apakah termasuk yang pertama atau kedua, dengan demikian Insya Allah Lita tidak akan salah arah”.
Percakapan pun berakhir, setidaknya hari ini kehidupan Lita menjadi sedikit berwarna setelah hari-hari lalu abu-abu.

Sandy Legia
29 Agustus 2013

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment