Mengintip Masa Depan - Sebuah Cerpen

Segala sesuatu baru terasa berharga saat sesuatu tersebut hilang, itulah kenapa ada ungkapan semacam Penyesalan itu selalu datang terakhir, Manfaatkan masa mudamu, dan lain-lain.Masa muda seharusnya menjadi investasi masa depan, namun kenyataannya, tidak sedikit muda-mudi yang terlanjur terombang-ambing zaman, mereka larut dalam kesenangan sesaat, dunia gemerlap dan seks atas nama cinta. Sebagian terjebak dalam problematika hidup, alih-alih menghadapi masalahnya, malah mencari pelarian.

Salah seorang pemuda itu bernama Ricki, seperti alur kehidupan manusia pada umumnya, dan khususnya anak-anak Indonesia, dia terlahir polos dan belum tau apapun, sampai kemudian ia tumbuh dewasa, mulailah ia mengenal apa itu cinta, apa itu putus asa, apa itu kecewa dan lainnya.

Semua bermula saat ia duduk di bangku SMP kelas 3, sepulang sekolah, Ricki menemukan rumahnya bak kapal pecah, dia tidak heran, tak pula kaget, hanya seperti yang sudah-sudah, raut wajah cerianya berubah.

Sebenarnya dulu keluarga Ricki tergolong keluarga harmonis, sekitar lima tahun lalu sebelum sang ayah terlibat bisnis yang menyisakan kerugian ratusan juta dan kemudian ia terlilit hutang. Semenjak itu, hampir setiap saat rumah didatangi para penagih, jika tidak Ricki, ibunya lah yang menghadapi para penagih tersebut dan seringnya harus berbohong dengan mengatakan “Bapaknya sedang tidak ada di rumah”. Sedangkan si ayah, ia bersembunyi dibalik rasa takut, satu-satunya tameng ketika kejantanan sudah hilang.

Seiring berjalannya waktu, kondisi psikologis keluarga Ricki mulai berubah, si ayah mulai berani menjual barang sang isteri sembunyi-sembunyi, jika ketahuan, ayah hanya berkata “Untuk menutupi hutang” katanya, sekali dua kali, sang isteri masih percaya, namun kejadian tersebut terus berulang-ulang sampai kepada barang kesayangan ibu Ricki. Saat itulah untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Ricki, ia menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar.

Keesokan hari dan seterusnya, keluarga Ricki menjadi keluarga yang awet tapi berantakan, ayah dan ibunya tak bercerai, tapi beberapa kali pada setiap bulan bertengkar adalah sebuah kemestian, keduanya pun menjadi tempramen, kadang tanpa sebab, Ricki menjadi bulan-bulanan kemarahan sang ayah dan ibu, sumpah serapah, memaki sampai ujung sapu, telah menjadi konsumsi wajib.
Kelas 3 SMP, setibanya di rumah, raut wajah ricki berubah seperti biasa dan ia sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Ricki, sini.. kamu itu ya, seharusnya kelas 3 SMP itu sudah dewasa, tapi masih aja bego, kamu kan yang kasih berkas-berkas di meja sama pak Sukarya? Kamu tahu itu apa, itu penting….”
“Maaf bu, Ricki benar-benar tak tau tentang itu”
“Benar berarti, kamu itu belum dewasa” ayahnya menimpali.

“Kamu belum dewasa”, entah berapa ratus kali kata-kata itu terulang, terkadang keluar dari mulut sang ayah, terkadang dari sang ibu, diucapkan, terus diucapkan, dan akhirnya seperti balon ketika terus ditiup, meledak, itu pula yang terjadi pada Ricki.

Tanpa berbicara sepatah kata pun, Ricki berlari keluar membawa sakit hati dan dada yang sesak. Tak seorang pun tahu kemana Ricki pergi malam itu, yang jelas, itulah awal semuanya berubah, namun sayang kedua orang tuanya luput dan bahkan tak ambil peduli akan perubahan yang terjadi pada anaknya.

Dua tahun kemudian, perubahan itu sudah benar-benar mengakar dan menjadi nasib, bukan lagi kebiasaan, padahal semuanya berawal dari lintasan pikiran. Malam itu sesuatu tiba-tiba membisiki telinganya “Lakukanlah apa yang sekiranya membuatmu menjadi dewasa”. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya, Ricki mengangguk dan kemudian berkata dalam hati “Mungkin inilah yang mereka berdua maksud dengan dewasa”.

***

Pagi cerah di SMA pelita bangsa, seorang gadis tengah tenggelam dalam lamunannya, parasnya elok, dan seharusnya tipe seperti dia sudah ada yang punya, namun dia benar-benar masih jomblo.

Nama Tuti nampaknya tidak pas untuk wajah berkelas seperti dia, ia bahkan terlalu cantik sekalipun namanya Meliana, Siska atau Diana. Banyak gadis yang iri padanya dan sebagian dari mereka berandai-andai jika ia adalah Tuti, maka sudah pasti lelaki terganteng atau banyak duit dipacarinya, jika ia Tuti, sudah pasti ia akan ikut audisi untuk sampul majalah, casting dan lain sebagainya.

Semua yang ada dalam pikiran kawan-kawan Tuti tak ada sama sekali dalam benaknya. Setiap lelaki yang pernah menyatakan komitmen untuk menjadi pacar setia, dia tolak secara halus, terkadang disertai sebuah pernyataan “Saya ingin memberi yang terbaik untuk negeri ini, saya tidak akan pacaran”. Tak disangka, pernyataan Tuti kemudian menyebar dan diriwayatkan dari mulut kemulut, tapi selalu saja itu menjadi bahan ejekan, terutama oleh Ricki.

Malam itu jelas telah merubah Ricki menjadi sosok skeptis terhadap banyak hal, salah satunya, pandangan ia tentang wanita. Menurut Ricki semua wanita itu gampangan, tak ada istilah wanita idealis, dan begitulah cara Ricki memandang semua pacarnya. Semua? Karena sudah terlalu banyak wanita yang ia pacari, sebagian besarnya berakhir dengan hubungan intim, namun semuanya aman terkendali, karena terinspirasi sebuah iklan anjuran memakai kondom di televisi, yang mengatas namakan lembaga resmi negara.

“Ah bullshit, cewek sok suci, lihat saja nanti, pasti ada ujungnya, lama-lama idealismenya pudar dengan sendiri, dengar ya, kalau berhasil, kalian berlima aku traktir bakso”. Kata Ricki di depan kawan-kawannya.

Tuti masih tenggelam dalam lamunan, kawan-kawannya merasa heran karena ini tidak seperti biasa, tak ada senyum, tak ada keceriaan, tak ada semangat dan tak mengacungkan tangan untuk menyelesaikan soal matematika.

Bel istirahat pun berbunyi..

“Hai Tut,..” Ricki mendekat
“emmm.. kamu tahu kan, malam ini kita mau bikin semacam pesta kecil-kecilan di villa punya bapak si Edi, kamu ikut kan, sesekali lah, gimana kalau sama aku?” Tanya Ricki
Tuti menatap Ricki, mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu dan dengan ragu ia berkata “Aku,.. aku sama Ryan, Ki!”

Bukan main, padahal jawaban 100% akurat yang sudah Ricki duga adalah “Kayaknya aku gak ikut pesta gituan, aku tidak akan pacaran dulu, dan aku tak mau berpasang-pasangan”.
“Kamu..?? sejak kapan??” Ricki tercengang.

Tuti tersenyum hambar kemudian berkata “Kapan saja seseorang bisa berubah Rick, yang jelas aku sudah memutuskan untuk menjadi seperti remaja pada umumnya, aku ingin bebas seperti kamu, kamu berpacaran, kamu seks, kamu minum-minum, pesta, setelah lama berfikir, aku rasa semua itu alami untuk remaja seusia kita, sudah lama aku terkungkung oleh idealismeku yang ternyata paksaan orang tua, keluarga ku terlalu patuh dengan doktrin dosa, pacaran itu kurang bermanfaat, berdua-duaan di tempat sepi itu bahaya, seks sebelum nikah itu enak diawal, kesudahannya adalah penyesalan, malam ini Ryan….” Tuti terus melanjutkan perkataannya.

Ricki kembali dengan wajah berbeda dari sebelumnya, ia duduk dan memandangi kawan-kawannya satu-satu dengan tatapan kosong, dan tawa itu pun meledak,

“Hahaha… terlalu percaya diri sih kamu Rick, aku bilang juga apa, Tuti itu idealis”
“Bukan begitu Han, aku tidak gagal”
“Kamu… berhasil?”

Ricki mengangguk, dan semua kawannya tercengang kemudian hening padahal seharusnya mereka bersorak-sorai.

“Jadi, malam ini kamu berpasangan dengan Tuti?” Tanya kawan Ricki
“Bukan Han, malam ini dia akan berpasangan dengan Ryan, benar-benar diluar dugaan, drastis Han, aku heran dia punya gagasan seperti itu, dia bilang ‘setiap wanita bebas memiliki pengalaman seksnya pribadi, aku tak tau sejak kapan keperawanan dijadikan sebagai simbol kesucian wanita, menurutku ini pengekangan dan pelecehan terhadap hak-hak wanita, malam ini nilai-nilai yang katanya normatif itu kan ku dobrak bersama Ryan.”

Beberapa saat kemudian setelah bel pulang berbunyi, Ricki menggebah motornya dengan membawa rasa heran yang belum juga hilang. Bahkan wanita seperti Tuti bisa meruntuhkan idealismenya dalam sekejap, apa alasannya? Yang jelas pasti dia punya masalah, tapi apa? Ricki terus bertanya-tanya sampai ia lupa kalau motornya melesat melewati rambu merah stopan begitu saja, dan sebuah truk kontainer menyabetnya dalam sekejap.

***

Ricki mulai siuman, pandangannya masih kabur, kemudian perlahan semua menjadi jelas. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan pandangan heran, tak ada satupun orang yang ia kenal. Tiga orang wanita, dan satu orang pria, semua tersenyum kepada Ricki dan semuanya tidak dikenal.

Pintu rumah sakit tiba-tiba terbuka, seorang anak lelaki dan gadis cilik berlari riang ke arah Ricki dan hampir menaiki ranjangnya, tapi salah satu dari tiga wanita menarik bocah-bocah tersebut.

“Sarah, nakal banget sih kamu, kamu juga andi, kakek mau istirahat!” kata wanita tersebut.
“Kakek?” Ricki mengucap ulang kata itu.
“Apa maksud kalian dengan kakek? Aku ada dimana ini?”
Orang-orang asing tersebut lama-lama mulai merasa ganjil ketika Ricki mengulang-ngulang kata-katanya; “kakek?” “Ada dimana aku sekarang?”
“Yah, ini kami, Ayah tidak ingat kami, saya Ani Yah, ini Rara, ini Bunga?”
“Rara, Ani, Bunga, siapa kalian?”
Ani menangis, dan seorang lelaki tiba-tiba beranjak keluar untuk menemui dokter.
“Dok, bagaimana ini, tolong dok, tolong cek kembali ayah kami?”
“Kami sudah mengeceknya, secara medis bapak sehat, tak ada gejala amnesia atau yang lainnya, hanya mungkin kejiwaan pak Ricki terganggu, pak Erik harus segera membawa bapak ke psikiater”.
Laki-laki tersebut kembali dan berusaha menenangkan isterinya Ani, yang masih menangis.
“An, mungkin ayah kecapean jadi seperti ini, ayah butuh istirahat,… ayo semuanya keluar, Sarah, Andi ayo, kakek butuh istirahat”
“Tunggu!!!” Ricki memanggil orang-orang tersebut.
“Saya tidak capek, lelah, atau amnesia, saya Ricki, setahu saya hari ini saya terbentur sesuatu, terpelanting dan tak sadarkan diri, kemudian terbangun di rumah sakit ini dan bertemu anda, itulah saya, saya bukan seorang ayah, atau kakek, saya anak SMA, SMA pelita bangsa, atau mungkin ini mimpi, ya, ini mimpi, dan saya akan segera sadar”

Ani mendekat dan menatap sesaat ayahnya, Ricki, kemudian menangis dan memeluk ayahnya, namun segera Ricki melepas paksa pelukan itu dan berteriak marah “Pergi kamu, siapa kamu, saya bukan ayah dan kakek siapapun”.

Tangisan Ani semakin menjadi-jadi, Erik kemudian membawa dan berusaha menenangkannya.
“Tenang An,..” Erik berusaha menenangkan isterinya.

“Bagaimana aku tenang Rik, hampir setahun ayah sering mengigau seperti ini, tapi ketika diperiksa, sama sekali tak ada gejala amnesia, ayah sakit apa, Rik?”

“An, sebaiknya, kita harus bawa ayah ke psikiater, mungkin kejiwaan ayah terganggu”.

Sementara itu, Ricki sendirian di ruangan. Ia berjalan melangkahkan kaki, namun langkahnya terasa berat, tak lama kemudian tubuhnya ambruk dan kepalanya tertunduk. Tanpa sengaja sebuah cermin telah memerlihatkan wujud aslinya kini. Benar-benar tak Nampak bekas-bekas keremajaan sama sekali, kurus dan tirus, pucat pasi seperti mayat hidup. Dia benar-benar sudah tua, seorang kakek tua renta.

Belum terjawab satu pertanyaan, muncul pertanyaan lain. Ada apa dengan Tuti? Siapa Ani? Siapa Erik? Sarah dan Andi cucu Ricki? Semua pertanyaan itu berputar-putar di benaknya dan buyar ketika Ani dan Erik masuk ruangan.

Ani menjerit dan lagi-lagi menangis berusaha menolong sang ayah yang tengah tersimpuh di lantai. Keduanya membopong Ricki, kemudian mendudukannya di ranjang rumah sakit.

Ani menyodorkan segelas air minum ke mulut ayahnya, dengan tatapan kosong, air itu diteguknya sedikit demi sedikit.

“Yah, hari ini kita pulang ke rumah”
“Rumah? Rumah siapa? Mana ibu, mana ayah?”
Ani menatap iba sang ayah dengan mata berkaca-kaca. Beberapa bulan lalu ayahnya pernah menghilang dari rumah selama sebulan, karena kepikunan dan lamunan tentang sang isteri yang baru-baru ini meninggal dunia.

Beberapa lama setelah kejadian tersebut, Ayah Ani menjadi sering mengigau tentang masa mudanya, bicaranya menunjukan seolah-olah baru kemarin ia menghabiskan masa muda, saat terbangun dari tidur, tiba-tiba ia berbicara tentang pesta kecil-kecilan Edi yang seharusnya diadakan malam ini, terkadang ia bertanya tentang keadaan ayah dan ibunya yang tentu sudah lama meninggal, namun yang paling sering ia tanyakan adalah Tuti, dimana dia, bagaimana keadaannya.

***

“Jadi, kalian anak saya? Sarah dan Andi, cucu saya? Ini benar-benar seperti mimpi, lalu mana isteri saya?”
Lagi-lagi Ani menangis setiap kali sang ayah mengingat isterinya.
“Kenapa kamu menangis?” Tanya Ricki.
“Yah, Ani tak bisa melihat ayah seperti ini terus, ayah harus bersabar, ibu sudah meninggal dan tak mungkin kembali, pertanyaan ayah tentang ibu membuat Ani semakin sakit dan sedih”.
“Isteriku meninggal?”
“Iya yah, isteri ayah, Tuti Septian Effendi sudah meninggal!” nada Ani mulai meninggi seolah hendak mengeluarkan amarah, namun kemudian Erik memberi isyarat kepadanya agar bersabar.
“Tuti, Isteri saya? Dia meninggal? Lalu apa yang terjadi padanya malam itu? Apa dia bersama Ryan? Tolong jelaskan pada saya, kamu pasti tau sesuatu?”

Erik dan Ani semakin yakin bahwa kondisi kejiwaan sang ayah bertambah akut, jika kemarin-kemarin dia sering bertanya kabar tentang Tuti, dimana ia? Apa dia baik-baik saja? Sekarang malah tercengang ketika Tuti disebut sebagai isterinya, ditambah pertanyaan-pertanyaan lain tentang “malam itu”, “Ryan” yang semuanya, selain membuat Ani sedih, juga membuatnya semakin yakin kalau sang ayah tengah mengalami depresi berat, nyaris gila.

Semenjak ditinggal Tuti, Ricki sering melamun dan nampak murung. Kematian Tuti benar-benar merupakan pukulan berat baginya. Bagi Ricki, Tuti adalah seorang kawan hidup terbaik yang telah mengubah hidup dan meraih tangannya saat ia nyaris terperosok lebih dalam ke jurang kehancuran, itulah alasan kenapa Ani sering menangis ketika sang ayah berbicara tentang isterinya.

Dari mulut sang ayah sendiri, Ani mendengar tentang kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat ibunya. Sebelum Ricki terkena gangguan jiwa, kerap kali ia menceritakan kepada Ani tentang kebaikan-kebaikan ibunya, tentang masa mudanya yang kelam berubah menjadi terang ketika sosok Tuti hadir. Ricki menceritakan kepada Ani semua tentang dirinya dan ibunya, inilah alasan lain kenapa Ani sering menangis ketika sang ayah bertanya tentang “malam itu”, “Ryan”. Bagaimana mungkin kisah tersebut terlupakan, padahal cerita itu sering diulang-ulang. Sekarang Ani mendapati ayahnya dalam kebingungan, linglung dan pikun, dia tidak mengenal Tuti sebagai isterinya, tidak tau apa yang terjadi malam itu pada Ryan dan Tuti, bahkan setelah siuman dari pingsan di rumah sakit, ia tak mengenal anak-anak dan cucu-cucunya.

***

Hari yang cerah, Ani dan Erik membawa ayahnya berjalan-jalan di taman. Ricki sudah tak sanggup berjalan, tubuh rentanya membuat ia harus berjalan bersama kursi roda. Seperti inilah rasanya masa tua, walaupun sepertinya Ricki merasa yakin kalau ia masih muda dan tengah bermimpi, mimpi yang panjang.

“Tempat apa ini?” Ricki bertanya.
“Ini untuk kebaikan ayah” Erik menjawab
“Rumah sakit jiwa? Untuk apa kalian membawaku kesini, aku sehat, aku normal, aku tidak gila!!!”
Tiba-tiba sekelompok perawat berbaju putih menghampiri mereka dan meminta izin kepada Erik dan Ani untuk membawa ayahnya. Ricki berontak dan berteriak-teriak memaki Ani dan Erik, menyumpah serapahi kalau keduanya anak durhaka.

Ini adalah kenyataan pahit yang harus Ani terima, ayahnya benar-benar terkena gangguan jiwa dan ia akan menempuh semua cara agar dia kembali seperti sedia kala.

Sekarang Ricki berada di tengah-tengah orang-orang tak waras, terpuruk bersama mereka. Berandai-andai tubuhnya masih kuat, dengan mudah ia dapat melarikan diri, namun Ricki hanya bisa terpaku di kursi roda dengan puluhan pertanyaan yang belum lagi hilang dari benaknya.

Berminggu bahkan berbulan-bulan ia terkarantina di rumah sakit jiwa, berbaur bersama orang yang mengaku Superman, bersama anak muda yang menganggap semua wanita cantik adalah Andini, kekasihnya yang gantung diri, berbaur bersama anak muda yang mengaku bergelar master, padahal gagal kuliah karena terbentur biaya ditengah jalan, berbaur dengan gadis depresi yang ditinggal pacar setelah dihamili.

Interaksi dengan orang-orang itu membuat Ricki menyadari banyak hal, salah satunya, Ricki mulai sadar bahwa ia mungkin tengah terjebak di masa depan, karena apa yang sedang ia alami benar-benar terasa nyata, rasa sakit, rasa penasaran, marah, sedih dan perasaan lainnya. Dengan alasan dan cara tertentu, Tuhan telah membawanya ke masa depan, Tuhan hendak memerlihatkan kehidupannya di masa tua. Mulai lah terkikis keyakinan lamanya bahwa ia tengah terbaring koma saat ini, dan mungkin sedang bermimpi.

Ani dan Erik datang untuk membawa ayahnya pulang, karena dokter bilang kondisinya membaik. Melihat raut sang ayah yang cukup ceria, Ani sangat bergembira,

“Yah, gimana kabar ayah?”
“Aku segar Ani, mana Erik?”
“Sebentar dia kesini, sedang mengurus administrasi rumah sakit”
“An, ayah mau bicara sama kamu, dan tolong jangan anggap ayah sebagai orang gila. Ini memang terdengar tidak masuk akal, tapi ayah yakin ini kenyataan”
“Tentang apa yah?”
“Seharusnya ayah tidak berada disini, malam ini ayah ada janji dengan Edi, ada pesta kecil-kecilan di Villa bapaknya, ayah harus kesana dan menasehati Tuti, kawan ayah. Tuti tidak boleh melakukan apa yang telah ayah lakukan, ia harus selamat dari kehancuran, dan ayah yakin Tuhan telah mengirim ayah ke tempat ini untuk alasan tersebut, di tempat ini ayah sadar akan kekhilafan yang telah ayah lakukan, ayah sadar kalau Tuti tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut, ayah sadar kalau masa muda dan masalah kehidupan tidak seharusnya membuat ayah begini…”
“Yah, Ani gak mengerti yah, yah..” Raut wajah ani berubah, matanya berkaca-kaca.
“Jangan menangis ani! Ini ayah, dan ayah tidak gila, ah.. mesti bagaimana ayah mengatakannya. Intinya, ayah terlempar dari masa lalu ke masa depan, entah bagaimana caranya, ayah tidak ingat, yang jelas ayah tertumbuk sesuatu, jatuh terpelanting dan tiba-tiba ayah terbangun di rumah sakit dan menatap kalian sebagai orang asing”.

Sesak dada Ani tak tertahankan, ia pun akhirnya menangis, menangis sejadi-jadinya. Ayahnya belum pulih seperti sedia kala. Ketika Erik datang, Ani memarahinya dan menariknya ke salah satu sudut ruangan rumah sakit.

“Rik, ayah gila rik, ini semua gara-gara kamu”
“Gara-gara aku?”

Keduanya saling menyalahkan, dan pada akhirnya Erik mengakui bahwa ia lah yang bersalah, namun Erik tidak sampai terpikir kalau akhirnya akan seperti ini. Erik hanya berniat menghibur ayah Ani yang selalu murung dan melamun. Erik tau kalau ayah Ani suka menonton sinetron, karena itulah setiap pulang kerja ia duduk bersama sang ayah, menonton koleksi film-film di laptopnya. Ayah paling suka film tentang perjalanan menembus waktu dan kebetulan koleksi Erik lengkap.

Ayah Ani terkesan dengan film-film tersebut dan ia yakin bahwa kata-kata ayahnya barusan tidak lain merupakan efek dari apa yang selama ini sering ia tonton, mungkin sejak saat itu Ayah Ani mulai berhalusinasi bahwa dirinya adalah seseorang yang terdampar di masa depan.

“An, bawa ayah keluar sekarang, dan akan ayah tunjukan kalau ucapan ayah benar, ayah yakin apa yang membuat ayah kesini, itu pula yang dapat membuat ayah kembali, ayah harus menemui Tuti An, ayah harus menemui dia, ibu kamu! Dia tidak seharusnya bersama Ryan, jika benar Tuti ibu kamu, seharusnya ia menjalani kehidupan mendatang bersama ayah, ayah harus menyusulnya!”

Erik dan Ani akhirnya membawa Ricki keluar dari rumah sakit jiwa, walaupun jelas nampak dari raut wajah Ani bahwa ia masih memendam kesedihan yang teramat.

“An, ayah ingin berkeliling di taman itu sendirian, ayah ingin menunjukan kebenaran ucapan ayah, kalian tunggu disini saja” kata Ricki
“Tidak, kami harus bersama ayah” Ani memaksa.
“Tenang, ayah akan baik-baik saja, rik, tolong lepaskan, saya bisa jalan sendiri”
Ani dan Erik mengawasi ayahnya dari jauh, perlahan Ricki melaju ke taman, setelah cukup jauh, ia memutar laju kursi rodanya ke arah perempatan jalan, melaju kencang menujur ke arah tersebut.
Bukan buatan kagetnya Ani..

“Rik, ayah Rik, kejar ayah!!!” Ani berteriak.

Semakin Erik mengejarnya, Ricki semakin menjauh, melaju kencang bersama kursi rodanya. Tepat saat Ricki berada di tengah perempatan jalan, dari arah samping sebuah mobil sedan melesat dan....

***

Ricki terbangun, pandangannya buram, sesaat kemudian menjadi jelas. Ayah dan ibunya menampakan raut wajah khawatir.

“Yah, ibu.. maafkan Ricki”
Tanpa berucap sepatah katapun, Ibunya memeluk erat Ricki, kemudian ayah ikut memeluk keduanya.
“Apa yang terjadi pada Ricki, Bu?”
“Hmmh.. syukurlah, lain kali Ricki tak boleh melamun, kamu pingsan setelah terpental dari motor.”
“Tapi Ricki lihat truk kontainer, Bu!”
“Iya, mobil kontainer itu seharusnya menabrak kamu, beruntung mobil sedan ugal-ugalan lebih kencang dari motormu, mobil itu yang tertabrak, kamu hanya terpental setelah kontainer itu terguling dan meledak”.
“Meledak?” Tanya Ricki sambil tercengang ketika melihat di betisnya ada semacam luka bakar.
“Berapa lama Ricki pingsan, Bu?”
“Enam jam”
“Jam 20.00 Ricki punya janji bu, Ricki harus pergi sekarang”
“Mau kemana kamu Ricki, belum pulih benar sudah mau pergi”
Tanpa banyak kata, Ricki berlari meninggalkan kedua orang tuanya,
“Nanti Ricki jelaskan, ini penting Bu!”

Pesta sudah hampir di mulai, muda-mudi itu elegan dan mewah dengan aksesoris mereka masing-masing. Tuti berdiri di tengah-tengah mereka menantikan kehadiran Ryan. Benar kata orang, seandainya Tuti mau berdandan, seribu bidadari pun belum tentu mengalahkannya. Sekarang semua mata tertuju kearahnya, benar-benar anggun dan memesona, tapi sayang, sebentar lagi ia hanyalah daging segar yang dikerumuni lalat.

Ricki lari tergopoh-gopoh seperti takut melewatkan sesuatu. Langkahnya semakin cepat, menerobos kerumunan muda-mudi yang sedang bercumbu dengan pasangannya. Wajah cantik itu belum ditemukannya, sampai seseorang tiba-tiba memanggil,

“Ryan, disini!!”
“Tuti!!” Ricki tercengang dan berlari menuju ke arahnya.
“Tuti, kamu harus dengar aku!” kata Ricki sambil terengah-engah dan memegang erat pergelangan tangan Tuti.
“Apa-apaan sih kamu, aku kan bukan pasanganmu! Cari yang lain sana!”
“Aku tidak sedang mencari pasangan, aku tidak sedang ingin berpesta, tolong, dengarkan aku, disini bukan tempat pas untuk menjelaskan, ikut aku dan akan ku jelaskan semuanya!”

Ricki menarik paksa tangan Tuti dan keduanya pun berlalu meninggalkan pesta. Ricki menggebah motor yang dipinjam dari ayahnya, dan berhenti di sebuah tempat ramai.

“Ayo kita duduk disini”
“Apa-apaan sih kamu, tempat apa ini? Kalau kamu menginginkan aku, bukan begini dong caranya!”
“Sudah ku bilang, aku tidak ingin mencari pasangan, aku tidak ingin berpesta, aku hanya ingin kamu kembali seperti sediakala, kamu Tuti! Kamu bukan Meli atau Indri, kamu bukan pelacur! Kamu wanita baik dan terpelajar. Pesta terlaknat itu bukan benar-benar duniamu, jangan sampai depresi, stress atau apalah namanya, membuatmu mengambil keputusan yang salah!”
“Kamu alim ya sekarang, Rick, tumben” kata Tuti sinis.
“Ya, sekarang aku alim, dan terserah kamu, mau kasih aku label apa, sok suci, penceramah, terserah, yang jelas tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan” nada bicara Ricki mulai meninggi.
Tuti mendadak serius, matanya menatap lekat pemuda itu, pemuda yang tadi siang terkenal dengan gaya hidupnya yang hedonis dan suka main cewek tiba-tiba berubah menjadi pemuda sok alim.
“Tut, besarkah masalahmu sampai kamu harus menjadi orang lain?”
“Kamu ingin menjelaskan atau bertanya?” Tanya tuti lagi-lagi sinis.
“Jawab saja pertanyaanku!” Ricki membalas dengan nada marah.
Tuti mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah kertas putih dengan tinta merah melingkar.
“Ini, semuanya gara-gara ini, aku gagal, dan orang tuaku kecewa, marah, kemudian keduanya bertengkar gara-garaku, ini masalahku”.

Ricki geleng-geleng kepala seakan tak percaya apa yang baru dia lihat.

“Jadi hanya karena ini kamu berubah, hanya karena nilai ulanganmu jelek?”
“Kamu tidak mengerti, Ki! Ini pertama kalinya aku mendapat nilai seperti itu”
“Owh ya Tuhan, dosa apa yang kulakukan sampai memertemukanku dengan orang bodoh seperti Tuti!”
“Bodoh?”
“Ya, kamu adalah campuran bodoh, bego, polos dan perfeksionis, dioles oleh selai idealis,” tegas Ricki
“tapi, aku juga orang beruntung bertemu wanita sepertimu!” lanjutnya.
“Beruntung?”
“Ya, aku beruntung, kau telah membuatku tersadar”
“Tersadar? Ngomong apa sih kamu, ngelantur ya?”
“Lihat orang-orang itu!” Ricki mengarahkan telunjuknya ke keramaian orang lalu-lalang.
“Apa kamu pikir semua orang itu hidup tanpa masalah? Apa kamu pikir mereka lahir kemudian Tuhan biarkan tanpa masalah?”

Tuti mulai terperanga, dari mana semua kebijaksaanaan ini datang, pikirnya. Ricki, remaja badung, tiba-tiba menjadi seperti seorang filosof, namun walau pun demikian, diam-diam Tuti memerhatikannya.

“Mereka semua punya masalah sejak pertama kali hidup ke dunia, artinya, masalah itu pasti, namun ada kepastian yang lain, bahwa masalah tidak akan melebihi kesanggupan!”
“Omong kosong, buktinya, masalah ini terasa mau meremuk tubuhku, buktinya aku tidak sanggup menghadapi masalah ini!” Tuti membantah.
“Itu salahmu!”
“Salahku?”
“Kamu pasti ingat, kata guru agama, seseorang tidak akan dibebankan melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Jadi, siapa yang salah, atau apa yang salah? Masalah itu sendiri atau kesanggupanmu yang bermasalah? Sama halnya seperti pelajar SMA, status SMA tidak lantas menjamin kalau para pelajar tersebut bisa mengatasi semua kesulitan mata pelajaran. Diantara mereka ada yang merasa dibebani melampaui kapasitas kemampuan, akhirnya tak satupun tugas itu mereka jawab, mengapa demikian? karena tidak mau belajar. Apapun jika dipelajari, pasti bisa! yang membedakan adalah ‘tempo’nya; ada orang yang belajar dengan cepat, ada yang tidak. Begitu pula manusia dan ujian, kenapa ada manusia berteriak "TUHAN TIDAK ADIL!! TAKDIR MEMANG KEJAM!!", karena orang itu menganggap dirinya masih SD, padahal di mata Tuhan dia sudah SMA, bukankah justeru tak adil jika anak SMA diberi soal ujian 1+1? Lebih jauh lagi, orang tersebut tak pernah mau belajar, mereka sering lari dari masalah dan senang mencari jalan pintas, kenaikan jenjang didapatnya dengan cara curang, ‘menyontek’ misalkan. Mau tidak mau, ujian harus dihadapi, apapun hasilnya, itulah yang akan melatih ototmu.”
“Otot?”
“Ya, selain otot fisik, manusia punya otot psikologis. Sama halnya dengan otot fisik, jika tak pernah dilatih, otot psikologis tak akan pernah berkembang, itulah sebabnya kamu tumbang pada benturan pertama, otot psikologis kamu terlalu lemah Tut! Bukan masalahnya yang berat, tapi punggung psikologis kamu yang tak kuat menahan beban, baru terjatuh sekali, kamu sudah putus asa, padahal selain menciptakan jatuh, Tuhan pun menciptakan bangkit, dan manusia terjatuh agar bisa belajar bagaimana caranya bangkit”.

Tuti tertunduk, matanya berkaca-kaca,

“Darimana pun kamu kutip kata-kata itu, memang benar seperti itu adanya. Aku bisa memecahkan soal tersulit pelajaran matematika, aku juara, tapi itu tak menjamin aku berhasil dalam memecahkan persoalan hidup, aku rentan dan lemah, sebaliknya kamu kuat”
“Kamu salah, kalau aku kuat, aku tidak akan seperti yang kamu lihat siang hari tadi!”
“Maksudnya?” Tuti menatap wajah Ricki dengan penuh tanda Tanya.

Ricki mulai menceritakan kenapa ia menjadi seperti saat ini, mulai dari masalah ayahnya, keluarga sampai bagaimana ia menjadi remaja yang broken home.

“Karena itulah kenapa ketika melihat perubahanmu yang drastic, tiba-tiba aku menjadi teringat akan diriku sendiri, dan Tuhan telah menunjukanku kembali ke arah yang benar, tadi aku kecelakaan dan pingsan beberapa saat di rumah sakit.”
“Kamu kecelakaan?” Tuti tecengang kaget.
“Ya, aku tak sadarkan diri dan aku melihat sesuatu dalam mimpiku”
“Kamu mimpi apa?”

Ketika Ricki menceritakannya, air mata Tuti tiba-tiba berlinang. Ricki menatapnya seraya berkata,

“Tiga tahun aku mengalami masa kelam dan sekarang aku kembali, maka seharusnya mudah bagimu untuk kembali, karena kamu belum sempat terjatuh ke tempat jatuhku!”

Semenjak malam itu, Ricki dan Tuti saling menyemangati satu sama lain, cinta mereka tidak biasa, produktif dan merubah, mereka fokus dengan studinya masing-masing sampai akhirnya Tuhan memertemukan keduanya dalam ikatan suci mahligai cinta. Tuhan mengarunia keduanya dengan tiga putri yang cantik jelita, Ani, bunga dan si bungsu Rara.

***

Hari ini adalah hari berkabung bagi Ricki, begitulah bagi semua laki-laki pada umumnya, mereka tidak menangis kecuali karena dua hal, jika tidak karena isteri, pasti karena anaknya. Masa-masa indah itu telah berlalu, kawan hidup terbaik Ricki telah meninggal dunia.

“An, ayah mau cerita”
“Cerita apa yah, hmm.. pasti cerita itu lagi ya?”
“Gak masalah kan? Sebentar lagi kamu menikah dengan Erik, Rara mau kost di Jogja, Bunga masih betah di Jakarta, ayah tak punya kawan tuk berbagi cerita, jadi mumpung kamu ada disini”
“Ah ayah, emang Ani mau kemana? Ani akan selalu temani ayah disini”
“… Dalam mimpi itu, ayah melihat ibumu berteriak minta tolong, hampir saja ibumu di lahap api di bawah jurang itu kalau ayah tidak segera menarik tangannya. Ibu selamat, tapi kemudian ayah terperosok, jurangnya tiba-tiba longsor, jilatan api itu mengenai betis ayah, pedih sekali, seperti nyata. Ibumu tiba-tiba melemparkan tambang untuk ayah sehingga ayah pun bisa selamat, dan ayah terbangun, kaget bukan main saat melihat betis ayah benar-benar terbakar, ayah tidak tau apakah karena kecelakaan atau memang benar karena mimpi tersebut? Saat itulah untuk pertama kalinya setelah masa-masa kelam yang ayah lewati, ayah kembali menjadi seorang lelaki baik. Malam itu ayah berhasil menyelamatkan ibu dari Ryan dan pesta terlaknat Edi…”

Setelah Ani menikah, Ricki hidup sendiri cukup lama. Walaupun setiap seminggu sekali Ani menjenguknya, tetap saja Ricki merasa kesepian. Suatu hari, Ani pernah kehilangan ayahnya dari rumah. Semalaman Ani dan Erik terjaga menunggu ayahnya kembali, namun nihil, keduanya bolos kerja sampai dua hari hanya untuk menunggu sang ayah.

Rara dan Bunga terpaksa meninggalkan kuliah untuk sementara, ketiganya mencari Ricki sampai hampir sebulan. Akhirnya Ricki ditemukan dalam kondisi mengenaskan, pakaian kumal, wajah kusut dan rambutnya gimbal tak terurus.

Sejak kejadian itu, Ayah Ani semakin menjadi-jadi pikunnya, seperti orang linglung, kadang berbicara sendiri, kadang berteriak-teriak memanggil nama Tuti. Hal tersebut membuat Ani dan Erik khawatir, keduanya kemudian memutuskan untuk menemani Ricki. Kehadiran mereka ternyata cukup menghibur, Ricki mulai berbicara layaknya orang normal setelah sebelumnya hampir seperti orang tidak waras.

Sepulang kerja, Erik selalu mengajak Ayah Ani menonton sinetron atau drama Asia. Erik dan Ricki adalah mertua dan menantu yang klop, keduanya sama-sama suka drama fiksi, imajenasi dan tak masuk akal. Kebiasaan itu berlangsung cukup lama, sampai hari itu pun datang, tak diketahui apa sebabnya, Ricki ditemukan tergeletak pingsan, Ani menjerit histeris, dan keduanya kemudian membawa Ricki ke kamar tidur.

“An, aku harus kesana malam ini, ke rumah Edi..” Kata Ricki dalam igauan tidurnya.

Saat itulah untuk pertama kalinya Ani melihat sang ayah mengigau, dan hari-hari berikutnya, igauan itu tidak hanya dalam tidur, bahkan dalam kondisi terjaga, kerap kali ayah Ani berbicara melantur, bicaranya menunjukan seolah-olah baru kemarin ia menghabiskan masa muda, saat terbangun dari tidur, tiba-tiba ia berbicara tentang pesta kecil-kecilan Edi yang seharusnya diadakan malam ini, terkadang ia bertanya tentang keadaan ayah dan ibunya yang tentu sudah lama meninggal, namun yang paling sering ia tanyakan adalah Tuti, dimana dia, bagaimana keadaannya.

Gejala gangguan jiwa tersebut berlangsung cukup lama, dan puncaknya adalah ketika Ricki harus dibawa kerumah sakit saat ditemukan tengah tergeletak di depan WC dengan pelipis berlumuran darah.

Saat terbangun dari pingsannya, Ricki sama sekali tidak mengenal Ani dan kedua puteri lainnya, ia pun tak mengenal Sarah dan Andi, kedua cucunya. Ia berbicara yang lagi-lagi aneh, tentang masa muda, seharusnya dia tidak berada disini, sore ini akan ada pesta kecil-kecilan di rumah Edi.

Semua itu membuat Ani merasa sakit dan bersalah karena pernah meninggalkan ayahnya sendirian cukup lama. Ani yakin, mungkin perlakuan seperti itu masih berbekas bagi kejiwaan sang ayah.

Hari-hari Ani berikutnya semakin mendung, ayahnya terpaksa harus dikarantina di rumah sakit jiwa. Kasur empuk tak dapat membuat mata Ani terpejam, kenangan Ani dan ayahnya itu begitu indah untuk dilupakan. Ani ingin ayahnya kembali normal, ani ingin menjadi puteri terbaik baginya, dan itulah janji yang selalu ia katakan di depan sang ayah. Kenyataannya, saat ini Ani harus membuang dia ke rumah sakit jiwa.

Lima Bulan kemudian, Ani memaksa suaminya untuk membawa pulang Ricki, ayahnya. Keduanya menuju rumah sakit dan mendapati raut wajah sang ayah lebih ceria. Ani pikir semua telah kembali seperti sediakala, namun ternyata dugaan Ani meleset, lagi-lagi Ricki berbicara tentang masa muda, lagi-lagi ricki berbicara tentang pesta kecil-kecilan di rumah Edi, dan kali ini Ricki meyakinkan Ani bahwa ia tak berbohong, ia akan segera menunjukan seperti apa keajaiban terjadi pada dirinya, sang ayah mengaku kalau ia berasal dari masa lalu dan tengah terjebak di masa depan, sebentar lagi ia akan menunjukan bagaimana cara kembali ke masa lalu.

Dengan berat Ani memberi izin sang ayah untuk berkeliling taman sendirian, Erik dan Ani mengawasinya dari kejauhan. Ricki semakin menjauh, berbelok menuju ke persimpangan jalan dan melaju kencang bersama kursi rodanya. Tepat saat Ricki berada di tengah perempatan jalan, dari arah samping sebuah mobil sedan melesat dan mengakhiri sisa usia di tubuh rentanya

BRAKKK!!! Terpental, terpelanting, dan tak sadarkan diri.

Ani menjerit histeris, sesaat kemudian pingsan karena melihat tubuh ayahnya bersimbah darah.
Ani hanya bisa tertunduk lesu, badannya roboh seketika, tersimpuh di jalanan dengan tangan terkulai lemas. Keajaiban cara kembali ke masa lalu yang ayahnya janjikan tidak lain merupakan kegilaan berbahaya sang ayah. Tubuh remuk ayahnya bersimbah darah dan episode kehidupannya telah berakhir.

Andai masa muda kembali walau sehari saja, kan ku kabarkan kepada si muda apa yang tengah ia lakukan pada masa tuanya.
Sandy Legia
27 Agustus 2013

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment