HUKUM Berkurban dengan dana kolektif
Tanya : Ustadz sebagaimana yang sering kita saksikan, sebuah institusi, perusahaan atau sekolah terkadang mengerjakan ibadah Qurban. Mereka menyerahkan hewan Qurban kepada masjid atau panitia Qurban atas nama perusahaan/ institusi tersebut. Untuk sekolah misalnya, para siswa disekolah tersebut mengumpulkan sejumlah uang bersama-sama (patungan) kemudian dibelikan hewan Qurban. Bagaimana hukumnya tentang hal ini ? Apakah sah disebut Qurban, bila tidak sah statusnya apa ?
Jawaban Pertama dari Ust. M Shiddiq Al Jawi :
Kurban secara iuran (patungan) dalam istilah fiqih disebut dengan istilah “isytirak”, yaitu berserikatnya tujuh orang untuk mengumpulkan uang guna membeli sapi atau unta, lalu mereka menyembelihnya sebagai kurban dan masing-masing berhak atas sepertujuh dari kurban itu. (Hisamudin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al Udhhiyyah, hlm. 88).
Hukum kurban dengan cara iuran dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama, iuran tujuh orang untuk berkurban seekor sapi atau unta hukumnya boleh dan sah. Inilah pendapat jumhur ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah. Namun ulama Malikiyah tidak membolehkan dan tidak menganggap sah. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 8/398; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 4/438; Al Kasani, Bada`ius Shana`i’, 4/208; Bulghah As Salik, 1/287; Dikutip oleh Hisamudin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al Udhhiyyah, hlm. 89).
Jumhur ulama berdalil dengan hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, “Kami telah menyembelih kurban bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi waSallam pada tahun Perjanjian Hudaibiyah, seekor unta (badanah) untuk tujuh orang, dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR Muslim). Juga berdasarkan hadits Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata,”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi waSallam membolehkan berserikat seekor sapi untuk tujuh orang ketika beliau naik haji di antara kaum muslimin.” (HR Ahmad. Al Haitsami berkata dalam Majma’ Az Zawaid,’Perawi hadits ini orang-orang terpercaya’). Dalil-dalil ini dengan jelas menunjukkan bolehnya berkurban dengan iuran, yakni tujuh orang iuran untuk satu unta atau satu sapi. (Nada Abu Ahmad, Al Jami’ li Ahkam Al Udhhiyah, hlm. 12; Abu Abdurrahman Muhammad Al ‘Alaawi, Fiqh Al Udhhiyyah, hlm. 85).
Adapun ulama Malikiyah berdalil dengan hadits dari Ibnu Syihab Az Zuhri, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi waSallam tidak menyembelih kurban untuk anggota keluarganya, kecuali satu ekor sapi saja.” (HR Malik). Hadits ini menurut mereka menunjukkan tak boleh iuran untuk satu ekor sapi, sebab anggota keluarga beliau (para istri) tidak iuran untuk sapi itu. Namun Ibnu Abdil Barr berkata dalam kitabnya Al Istidzkar (15/185-186), bahwa hadits tersebut tidak sahih dari segi periwayatan (laa yashihhu min jihah an naql).
Dengan demikian, jelaslah pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan berkurban secara iuran, yakni iuran tujuh orang untuk berkurban seekor sapi atau unta. Sebab haditsnya sahih dan kandungannya telah diamalkan oleh para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi waSallam dengan sepengetahuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi waSallam. (Hisamudin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al Udhhiyyah, hlm. 90).
Kedua, iuran sejumlah orang untuk berkurban seekor kambing. Hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena tidak ada dalilnya baik dari Alquran maupun Sunnah. Imam Nawawi menegaskan bahwa kurban seekor kambing hanya sah dari satu orang saja, yakni tidak sah dari iuran sejumlah orang. (Al Majmu’, 8/399; Shahih Muslim bi Syarah An Nawawi, 13/109). Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin,”Berkurban seekor kambing yang dibeli secara bersama oleh dua orang atau lebih tidak sah. Sebab tidak ada dalilnya dari Alquran dan Sunnah.” (Muhammad bin Shalih Utsaimin, Ahkamul Udhhiyah wa Al Dzakah, hlm. 9).
Dengan demikian, jelaslah bahwa berkurban secara iuran yang dilakukan di sekolah-sekolah dari iuran para murid, tidak sah menurut syara’. Maka sembelihan yang ada tidak bernilai ibadah kurban, melainkan sembelihan biasa. Seharusnya sekolah mengubah cara kurbannya agar sesuai syara’, misalnya dengan mengimbau orang tua murid yang mampu untuk berkurban kambing di sekolah tersebut, sehingga satu ekor kambing merupakan kurban dari satu orang, bukan kurban dari iuran sejumlah orang. Wallahu a’lam (1)
Jawaban kedua : Ibadah Qurban termasuk salah satu dari sekian ibadah mahdhah (ritual), yang karena itu aturannya tidak boleh ditambah atau dikurangi sedikitpun, sebagaimana halnya ibadah mahdhah lainnya seperti shalat, zakat, haji dan lain-lain. Kalau toh kemudian ada semacam kreasi atau penambahan dalam sebuah ibadah mahdhah, maka itu hanya terkait masalah tekhnis ibadah.
Dalam ibadah Qurban diantara ketentuannya adalah seekor kambing hanya untuk Qurban satu orang, seekor sapi boleh menjadi hewan Qurban dari orang-orang yang berserikat hingga tujuh orang , dan satu unta sepuluh orang. Ketentuan ini selamanya akan tetap seperti ini, tidak boleh sedikitpun dirubah, dikurangi atau ditambah. Karena aturan ini digariskan oleh nas syariat yang jelas. Bila ada seseorang yang sengaja menyalahi aturannya, maka konsekuensinya bisa menyebabkan ibadah Qurbannya tidak sempurna bahkan tidak sah.
Maka kasus yang ditanyakan tentang Qurban yang dilakukan oleh instansi, lembaga, perusahaan atau pun sekolah-sekolah yang menyalahi ketentuan diatas, jelas jawabannya, statusnya bukan hewan Udhiyah (Qurban), melainkan sekedar sedekahan biasa. Ia tidak ubahnya seperti acara baksos, sedekah, atau acara pemberian santunan. Mungkin yang sedikit membedakannya adalah karena yang dibagi-bagikan daging dan waktunya ikut mendompleng hiruk pikuk hari raya Idul Adha.
Tentu saja ‘berqurban’ dengan model seperti ini tidak ada kaitannya sedikitpun dengan ibadah Qurban yang ditujukan untuk taqarrub ilaAllah. Sekali lagi ia sebuah acara yang wujudnya lain. Yang boleh jadi bila tetap dipaksakan dianggap dan dikait-kaitkan dengan ibadah Qurban, akan menjatuhkan pelakunya kepada bid’ah yang menyesatkan. Karena telah merubah, menambah atau membuat hal baru dalam syariat agama.
Apakah salah ? Salah sih tidak, karena sebenarnya ketika lembaga, perusahaan, atau khususnya sekolah-sekolah mengadakan patungan Qurban seperti itu, tentu dengan niatan dan tujuan yang baik. Paling tidak mereka hendak berbagi atau bertujuan mengajari anak didiknya untuk mengenal syariat Qurban sejak dini. Tentu saja, hal seperti ini memang patut diberikan apresiasi, namun bukan berarti tidak boleh untuk dikoreksi ataupun dikritisi. Apalagi tujuan koreksi tersebut, adalah untuk perbaikan dan kebaikan kita bersama.
Adakah solusi dalam hal ini ?
Ibadah Qurban adalah ibadah terbaik yang paling dicintai oleh Allah ta’ala, sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi waSallam beliau bersabda : Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban).” (HR. Tirmidzi)
Dan tentunya pula bersedekah membantu orang beramal dengan amalan terbaik, jauh lebih utama dibanding dengan sekedar sedekah bagi-bagi daging. Bahkan sebagian ulama mengatakan nilai sedekah yang jauh lebih besar namun tidak berwujud Qurban di bulan Dzulhijjah, tidak lebih dicintai oleh Allah dari Qurban itu sendiri. Sehingga amat merugi seorang muslim yang diberikan kemampuan lantas menyaia-nyiakan kesempatan setahun sekali untuk meraup pahala besar lewat hewan Qurban.
Sebenarnya masalah ini bukan tanpa solusi. Bila kita mau sedikit saja mensiasati masalah diatas, perusahaan, instansi, lembaga atau sekolah yang menyembelih hewan dan hanya bernilai sedekah biasa itu, bisa menjadikan sembelihannya tetap bernilai Udhiyah/Qurban.
Caranya adalah dengan menghadiahkan hewan atau dana hewan Qurban itu kepada individu tertentu. Kita ambil contoh, bila suatu perusahaan akan menyembelih 10 ekor sapi. Maka 10 ekor sapi itu bisa dihadiahkan sebagai Qurban kepada 70 karyawan yang dipandang memiliki dedikasi dan prestasi yang baik. Keuntungannya, perusahaan sebagai pihak yang memberi hadiah/sedekah tetap bisa menyelenggarakan pemotongan hewan dilingkungannya, dan karyawan yang menerima hadiah Qurban mendapat pahala berqurban. Plus dagingnya tetap bisa disantap dan dimakan bersama-sama sebagai daging yang penuh keberkahan.
Demikian setiap tahun, hadiah Qurban bisa digilir. Maka dengan cara ini perusahaan tetap bisa menyelenggarakan potong- memotong hewan, karyawan juga senang, karena merasa diperhatikan. Dan ini tentu akan memberikan sumbangan positif bagi kedua belah pihak.
Untuk sekolah, para siswa yang patungan dana bisa menghadiahkan dana Qurbannya kepada salah seorang guru. Tentu ini akan memberikan nilai lebih. Guru senang karena mendapatkan perhatikan para siswa, dan siswa-siswa tetap ikut senang karena tetap bisa kecipratan nikmatnya sate dan gulai daging Qurban. Atau bisa diberikan kepada Penjaga Sekolah yang sudah pasti beliau akan sangat bahagia sekali menerimanya.
Hanya saja yang perlu diingat. Sesuatu yang sudah dihadiahkan, maka ia menjadi hak sepenuhnya orang yang menerimanya. Kalau toh perusahaan atau sekolah berkeinginan agar hewan yang dihadiahkan itu disembelih dilingkungan mereka, paling jauh ia hanya bisa menghimbau. Karena hak itu sudah beralih menjadi milik orang-orang yang dihadiahkan. Terserah dia, mau berqurban dilingkungannya atau ditempat lain. (2)
sumber: http://kangudo.wordpress.com/2013/09/18/hukum-qurban-dengan-uang-iuran/
Assalamualaikum...maaf kak mau nanya, apakahhukumnya jika seorang muslim ingin berkurban,tetapi belum dana buat beli hewan kurban belum cukup, tetapi beliau sebelum terpenuhi niatny sudah menghadap sang ilahi?
ReplyDeletewassalamualaikum wr...wb..
silahkan mampir di website kami kak Aqiqah Jogja
Jika seseorang punya niat baik, dan keburu meninggal, maka ia sudah mendapatkan pahalanya, karena sebelum wafatnya itu dia sudah berniat, dan niat itu dicatat.
ReplyDelete