Komentar Tentang Film 212
*FILM 212*
Barangkali ini bukan review, sekedar komentar setelah menonton film 212. Film ini sangat direkomendasikan terutama bagi mereka yang pernah terlibat langsung aksi 212. Film ini terinspirasi dari perjuangan saudara kita kaum muslimin dari Ciamis yang berjalan kaki sampai jakarta untuk memperjuangkan islam. Tidak peduli apa kata media yang mengumbar desas-desus bahwa aksi akan ditunggai tokoh politik, mereka tetap datang, memenuhi panggilan cinta terhadap Allah.
Walau dibuat dengan low budget, film ini mampu merangkum kejadian 212 dengan cerita yang sistematis dan apik. Jelas film ini tidak bisa dibandingkan dengan sinetron FTV sebagaimana yang dikatakan seorang penulis dalam sebuah website, karena beda segmen, dan beda tema. FTV kebanyakan bercerita tentang percintaan anak muda pada umumnya, sedangkan 212 mengangkat tema cinta pada hal yang lebih besar daripada hubungan dua sejoli. Hal ini tentu hanya diminati dan dipahami oleh mereka yang paham bahwa cinta punya makna yang jauh lebih luas, dan makna terluhur dari cinta ini adalah cinta kepada sang pencipta. Sekali lagi, ini hanya dipahami oleh mereka yang sadar bahwa keberadaan mereka di muka bumi ini karena cinta sang pencipta.
Berkaitan dengan hal itu pula film bercerita. Rahmat, tokoh sentral dalam film ini adalah seorang Jurnalis berideologi marxisme, dalam sudut pandangnya, aksi 212 yang digelar di monas merupakan aksi radikal kaum muslimin. Selain itu dia juga memandang, bahwa orang-orang yang terlibat aksi ini, mereka telah rela ditunggangi oleh kepentingan politik, ia beranggapan, momen sebesar ini pasti dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh politik untuk menjatuhkan rivalnya, yang pada akhirnya kejadian 1998 akan terulang, semuanya akan berakhir dengan isu pelengseran presiden. Semua ini kemudian dituangkan Rahmat ke dalam tulisan yang dimuat majalah tempat Rahmat kerja.
Tak disangka tulisan rahmat terbaca oleh keluarganya. Sikap dan cara pandang Rahmat dalam tulisannya ditentang oleh keluarganya sendiri, ada sosok Abrar sebagai saudaranya yang terang-terangan menentang Rahmat, bahkan tak segan memakai cara keras untuk menentangnya, berkali-kali Abrar menjudge Rahmat sebagai munafik, tak tanggung-tanggung, saat rahmat terjun di tengah aksi 212, Abrar pun sempat memprovokasi peserta aksi lain untuk memberi ancaman pada Rahmat, sehingga ada beberapa peserta aksi yang sempat memukulnya.
Rahmat juga ditentang oleh ayahnya sendiri yang merupakan salah seorang Kyai di Ciamis. Tak disangka bahwa seorang anak yang dulu dimasukan ke pesantren dan diharapkan menjadi orang baik, malah menjadi penentang dakwahnya sendiri. Seperti itulah Rahmat dalam pandangan ayahnya. Karena hal inilah Rahmat berfikir bahwa sang ayah tidak bangga terhadap anaknya, apalagi sang bapak terang-terangan di depan kawannya sesama kyai mengatakan bahwa “Percuma kalau punya anak tidak beguna untuk umat”, kira-kira seperti itu.
Menjelang aksi 212, ternyata ayah rahmat adalah pemimpin yang akan membawa jamaah dari Ciamis menuju monas. Sekalipun masih ada konflik antara Rahmat dan ayahnya, di dalam hati kecil, Rahmat masih sayang terhadap ayahnya, jadi ia tak sampai tega melepas ayahnya begitu saja menuju Jakarta dengan berjalan kaki. Berkali-kali Rahmat meminta ayahnya untuk membatalkan keinginannya untuk berjalan kaki ke Jakarta, Rahmat juga meyakinkan bahwa aksi itu ditunggangi oleh kepentingan politik, dan tentu yang lebih mengerikan dari itu, akan terjadi kerusuhan, namun sang ayah tak mendengarkan ocehan anaknya. Ayah Rahmat tetap berangkat bersama rombongan yang lain dengan berjalan kaki, sehingga Rahmat pun mau tak mau ikut menemani ayahnya.
Singkat cerita, saat ending semuanya terungkap, bahwa anggapan Rahmat terhadap ayahnya keliru. Mulanya Rahmat menganggap bahwa sang ayah tidak bangga terhadap dirinya, ternyata sebaliknya, dan ia pun menganggap bahwa sang ayah hanya ingin anaknya menjadi pendakwah seperti dirinya, pun keliru. Sang ayah mengatakan bahwa itu tidak perlu, dengan jadi jurnalis dan mengungkapkan informasi yang benar kepada publik, itu pun adalah dakwah.
Film ini bertemakan serius, tapi karena ada tokoh-tokoh seperti Adin, film pun menjadi terasa ringan. Guyonan-guyonan dan kelakuan konyolnya membuat hal yang serius menjadi terasa ringan. Adin sendiri adalah sahabat dekat Rahmat, namun berbeda dengan Rahmat, Adin bukan tipikal orang yang memusuhi agamanya (islam) sendiri, berkali-kali dengan candanya, Adin mengingatkan Rahmat agar ia tak menulis tulisan yang menyudutkan islam, Adin pun menyindir Rahmat terkait namanya yang islami, namun kelakuannya yang lebih mirip setan, tentu dengan gurauan. Adin adalah tokoh muslim taat yang nyentrik dengan penampilan dan gayanya yang amburadul, berbeda dengan Rahmat yang dari sekedar namanya pun seharusnya dia lah yang seharusnya muslim taat, tapi begitulah film ini bercerita, seolah ingin mengatakan bahwa _*“Tak ada yang tersisa dari keislaman umat islam saat ini, selain hanya nama yang islami saja”*_, namanya Rahmat, Muhammad, Yusuf, tapi kelakuan lebih mirip firaun ketimbang mirip namanya.
Semua detail dalam film ini sebenarnya menjelaskan sesuatu, Abrar dan beberpa tokoh aksi yang sempat memukul Rahmat dan berkata “Kamu munafik, muslim tapi menjatuhkan kaumnya sendiri, sekarang kamu lihat kekuatan kami!”. Awalnya saya bertanya-tanya, kepada perlu ada adegan kekerasan seperti ini? Akhirnya saya menyimpulkan bahwa inilah sisi obyektifnya film 212 ini, seolah ingin menjelaskan beberapa hal, pertama, umat islam bukanlah umat yang tinggal diam ketika dizalimi, ia akan fight back (melawan) dan ia akan bersatu jika semakin dizalimi, hal seperti ini penting, unjuk kekuatan penting, agar disegani, dan itu pula yang dilakukan Amerika dalam film bertema-tema perang atau fantasi seperti _Transformers_, di dalamnya menampilkan banyak peralatan tempur mereka, agar dunia tahu dan segan. Kedua, tidak dipungkiri, bahwa dalam setiap penganut agama selalu ada orang-orang anarkis di dalamnya, hal ini menunjukan perbedaan mendasar antara islam dan muslim, seringkali orang di luar islam, ketika berbicara tentang islam, kesulitan untuk membedakan islam dan muslim, sehingga apa yang dilakukan segelintir orang islam, dengan mudah dikatakan itulah islam.
Pada akhirnya menurut saya, film ini berhasil menggambarkan bahwa islam adalah _rahmatan lil ‘âlamin_, tanpa melupakan bahwa umat ini pun memiliki _izzah_ (harga diri), dia tidak rela diinjak dan dihina, umat ini akan melawan jika dizalimi. Umat ini umat penuh cinta, bahkan bahasa cinta sering umat ini ucapkan dalam kesehariannya, _“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”_. Hanya saja umat ini menjadi musuh abadi untuk semua bentuk kezaliman, dan begitulah Allah membimbing umat ini lewat firman-Nya:
_“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang *ZALIM*.”_ *(QS. Al-Mumtahanan: 8 – 9)*
Mantrap
ReplyDelete